Mohon tunggu...
Asep Supriyadi
Asep Supriyadi Mohon Tunggu... Dosen - * Dosen STAI Al-Azhary Cianjur

* Dosen STAI Al-Azhary Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rekondisi Diri Pasca Puasa hingga Rekonsiliasi Fitrah Politik

4 Juni 2019   11:07 Diperbarui: 4 Juni 2019   11:29 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kesuksesan seseorang dalam belajar dapat diukur dari sejauh mana ia mencapai tujuannya. Demikian juga dengan puasa.  Kesuksesan berpuasa dapat diindikasikan dari sejauh mana mencapai tujuan puasa yakni ketakwaan. Hal itu termaktub dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah [2]: 183 yang artinya "hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan juga pada orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa"  

Puasa tidak hanya sekedar menahan haus dan lapar. Hakikat puasa adalah agar manusia bisa menahan diri dari berbagai perbuatan negatif. Hal itu sebagaimana kita sadari bahwa puasa secara bahasa adalah imsak yang berarti menahan diri. Menahan diri dari perbuatan negatif adalah esensi puasa.  Nabi Muhammad SAW mengingatkan agar puasa dilakukan dengan totalitas. Beliau bersabda yang artinya: "Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga." (HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir).

Rekondisi diri

Idealnya puasa mampu merekondisi diri; mengembalikan diri pada kesucian;  mengembalikan diri pada fitrahnya; mengembalikan diri pada tuntunan ideal. Sehingga, bila itu terjadi, maka akan tercipta manusia dengan kodisi baru, iedul fitri (manusia yang kembali pada kesucian). Sudahkan itu terjadi? Jawabannya kembali pada diri masing-masing.   

Ada beberapa indikasi suksesnya puasa bila ditinjau dari ketakwaan. Orang yang bertakwa memiliki ciri-ciri sebagaiman yang termaktub dalam Q.S. Ali Imran ayat 134-136: (1) Menafkahkan (hartanya), baik di saat lapang maupun sempit; (2) menahan amarahnya; (3) Memaafkan (kesalahan) orang; (4) Jika berbuat salah, segera mereka ingat akan Allah dan memohon ampun; (5) Tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. 

Indikator orang bertakwa juga termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah [2]:1-5. Orang bertakwa memiliki ciri sebagai berikut: (1) Pedomannya Adalah Al-Quran; (2) Beriman dengan Hal Ghaib, seperti percaya adanya malaikat, surga dan neraka dan hari akhir (3) menyempurnakan dan menegakkan shalat; (4) menafkahkan sebagain rizkinya (5) mengimani seluruh apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan apa yang diturunkan kepada rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad SAW; (6) yakin dengan keberadaan hari akhir. Tanda-tanda lain dari orang bertakwa juga adalah: Berdzikir manakala ditimpa kebimbangan (Q.S. Al-A'raf 201); Membawa kebenaran dan membenarkannya (Q.S. Az-Zumar: 33);

Dari ayat-ayat tersebut, orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang komitmen memperbaiki hubungan dirinya dengan dirinya, dengan Allah dan dengan sosialnya. Saya sebut dengan istilah 3D of Takwa (3 Dimensi Ketakwaan).

  • Dimensi 1 (Dirinya dengan Dirinya)
  • Menahan amarahnya;
  • Tidak terus menerus dalam berbuat dosa; 
  • Pedomannya Adalah Al-Quran;
  • Beriman dengan hal Ghaib, seperti percaya adanya malaikat, surga, neraka dan hari akhir;
  • Mengimani seluruh apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan apa yang diturunkan kepada rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad SAW; 
  • Yakin dengan keberadaan hari akhir;
  • Berdzikir manakala ditimpa kebimbangan;
  • Membawa kebenaran dan membenarkannya.
  • Dimensi 2 (Dirinya dengan Tuhannya)
  • Menyempurnakan dan menegakkan shalat;
  • Jika berbuat salah, segera mereka ingat akan Allah dan memohon ampun.
  • Dimensi 3 (Dirinya dengan Sosialnya)
  • Menafkahkan (hartanya), baik di saat lapang maupun sempit;
  • Memaafkan (kesalahan) orang.

Dengan puasa, kita berharap semoga kita mampu merekondisi diri menyesuaikan dengan indikator ketakwaan yang telah disebutkan. Pada hari lebaran ada budaya saling memaafkan. Orang yang melakukan kesalahan meminta maaf kepada orang yang didzalim nya. Demikian juga bagi orang yang di dzalim, pemaafan merupakan manifestasi dari ketakwaan. Sebagaimana telah disebutkan dalam Q.S. Ali Imaran ayat 134. Dengan demikian, terjadilah maaf-maafan. Orang sunda bilang silih lubaran. 

Rasulullah SAW bersabda: "Orang yang pernah menzhalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari dimana tidak ada dinar dan dirham. Karena jika orang tersebut memiliki amal shalih, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezhalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal shalih, maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zhalimi" (HR. Bukhari no.2449). Dari hadits diatas nampak bahwa kalau kita mempunyai kesalahan pada orang lain hendaknya kita meminta maaf sebelum permintaan maaf tidak berlaku.

Rekonsiliasi Fitrah Politik

Demikian juga dengan kehidupan politik saat ini. Pra dan Pasca Pemilu, pemberitaan di media, khusunya di media sosial masih menunjukan pernyataan-pernyataan nyinyir, menjelekan lawan politik dan fanatik berlebihan. Ini menunjukan masih adanya dendam, iri, hasud diantara sesama. Padahal itu semua dilarang oleh agama. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Waspadalah terhadap hasud (iri dan dengki), sesungguhnya hasud mengikis pahala-pahala sebagaimana api memakan kayu" (HR. Abu Dawud). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun