Â
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah membebaskan guru jis dari dakwaan kekerasan seksual yang dituduhkan kepada guru JIS, Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong. Keputusan itu sontak mendapatkan Pro dan Kontra dari kalangan Pihak.
Tentu saja ini merupakan kabar gembira untuk Keluarga, kerabat dan juga para aktivis yang menilai bahwa kasus JIS ini sebenarnya adalah rekayasa semata, demikian menurut kuasa hukumnya Hotman Paris Hutapea.
"Salah satu bukti kebohongan yang dimaksud adalah pada BAP (berita acara pemeriksaan) awal, ibu korban tanda tangan bahwa anaknya tidak pernah disodomi," ujar Hotman.
Selain itu masih ada bukti lain yang diungkap Hotman yakni adanya permainan oknum dokter RS Pondok Indah. "Dokter yang tanda tangan hasil visum bukan yang periksa. Hasil visum sebelumnya adalah rekayasa dan saya sudah melaporkan hal tersebut ke Mabes Polri," tegasnya.
Kini, Kejaksaan Tinggi Jakarta mulai menyiapkan amunisi pasca pembebaskan dua guru JIS. Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, M Adi Toegarisman, mengatakan sudah mengajukan kasasi atas pembebasan tersebut. Pengajuan kasasi dan memori kasasi didasari sejumlah pertimbangan.
Dia menjelaskan, jaksa telah menyerahkan memori kasasi pada 2 September 2015 lalu. Meski tak dijelaskan apa pertimbangannya. Namun, Pakar Hukum Chairul Huda justeru menilai putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang membebaskan dua guru JIS sangat bagus,
"Jika Pengadilan Tinggi berpendapat tidak terbukti dan karenanya dibebaskan, maka itulah keputusan yang berkekuatan hukum tetap," ujar Chairul.
"Pada dasarnya putusan bebas tidak ada upaya hukum biasanya, menurut KUHAP dan menurut saya ini bebas murni, sehingga tidak bisa di kasasi," sambungnya.
Mantan Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Ramelan menegaskan, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang membebaskan dua guru Jakarta Internasional School (JIS) Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong, bahwa bukti yang digunakan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, sangat lemah dan sangat dipaksakan.
"Bila putusannya membebaskan terdakwa, hal itu menunjukan kalau pembuktian (di pengadilan pertama-red) tidak jelas, tidak sesuai ketentuan, dan lemah," kata Ramelan, di Jakarta, Selasa (25/8/2015).