Sejumlah praktisi hukum dan pegiat hak asasi menusia menilai putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang membebaskan dua guru Jakarta Intercultural School (JIS) wajar. Hal ini juga semakin memperkuat adanya rekayasa besar di balik tuduhan adanya kekerasan seksual di sekolah tersebut.
Keputusan PT Jakarta ini semakin memperkuat fakta bahwa kasus kekerasan seksual di JIS tidak terbukti. Sebelumnya dua guru JIS. Neil Bantleman dan Ferdinant Tjong, dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak kekerasan seksual oleh Pengadilan Singapura. Sementara Pengadilan Negeri Jakarta juga menolak gugatan perdata ibu siswa pelapor kasus ini kepada JIS senilai Rp 1,6 triliun.
Ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Choirul Huda mengatakan, putusan pengadilan tinggi harus dihormati. Hal ini menunjukkan, proses hukum masih berjalan. Bahwa pengadilan tinggi memiliki kewenangan dan harus berani melakukan koreksi jika keputusan lembaga di bawahnya salah. "Keputusan pengadilan tinggi dalam kasus dua guru JIS penting untuk menguji kebenaran dan keadilan dalam kasus ini. Apa yang telah diputuskan oleh PT bukan sesuatu yang luar biasa, karena keputusan PN tidak selalu benar. Inilah pentingnya keberadaan pengadilan tinggi dan MA bagi pencari keadilan jika hak-haknya diabaikan oleh PN," kata Choirul Huda.
Sementara itu, pegiat HAM dari Human Rights Watch, Andreas Harsono menilai keputusan PT membebaskan dua guru JIS, berbeda dengan putusan PN Jakarta Selatan, hal tersebut tentu telah melalui kajian mendalam. Apalagi sejak awal kasus ini mencuat banyak sekali kejanggalan dan indikasi rekayasa sangat kuat.
"Pengadilan Tinggi secara hukum hanya melihat apakah metode kerja pengadilan negeri sudah berjalan baik. Saya kira mereka tak berkesimpulan PN Jakarta Selatan mengadili Kasus JIS dengan baik sehingga banding tersebut dikabulkan. Jangan lupa juga ada hasil keputusan pengadilan Singapura yang tak menemukan terjadi kekerasan seksual pada si anak," katanya.
Bahkan, lanjut Andreas, dua guru JIS dan juga para pekerja kebersihan PT ISS telah dihakimi sebelum pengadilan berlangsung melalui opini publik yang luar biasa. Sementara banyak fakta yang muncul di pengadilan setelahnya, justru membantah asumsi-asumsi yang telah dibangun penyidik ketika kasus ini muncul. "Ini persoalan hukum. Kalau memang tak terjadi kekerasan mengapa harus menghukum orang bersalah," ujarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H