Jauh berbeda dengan kasus tuduhan kekerasan seksual di JIS, yang sejak awal sudah terjadi tekanan opini publik yang menjadikan para tersangkanya divonis salah, bahkan sebelum mereka disidangkan. Hampir setiap hari, media massa membombardir para tersangka baik para pekerja kebersihan maupun para guru.
Ironisnya, fakta-fakta yang membantah bahwa kasus kekerasan itu tak pernah terjadi malah dijungkirbalikan oleh kekuasaan dan arogansi oknum pengadilan. Dari keterangan ahli forensik, psikolog hingga ahli medis yang memeriksa korban MAK hingga RS Singapura di tolak mentah-mentah dengan alasan yang tak masuk akal.
Karena itu, pada akhirnya publik justeru mempertanyakan independensi hakim yang memvonis bersalah para tersangka. Sebab faktanya, banyak ditemukan kejanggalan dalam kasus JIS yang itu sudah diungkapkan di ruangan sidang. Mulai dari tewasnya Azwar di sel tahanan penyidik, Afrisca yang dituduh menyodomi hingga naiknya nilai gugatan hingga sebesar 125 juta USD.
Lebih aneh lagi, belakangan dalam sidang gugatan perdata malah ditemukan fakta salah satu surat medis yang menguatkan tuduhan terjadinya sodomi adalah surat ‘bodong’ alias palsu. Artinya, alat bukti yang digunakan sebagai dasar memvonis para tersangka, justeru adalah alat bukti yang palsu. Terlebih pasca menangani kasus JIS ini, ada kenaikan pangkat pada beberapa personel hakim yang menangani kasus tersebut tak lama sesudahnya.
Patut dipertanyakan, ada apa sebenarnya dibalik kehebohan dan kontroversi kasus JIS ini. Begitu mudahnya kebenaran dijungkirbalikan oleh tuduhan-tuduhan tanpa bukti dan fakta. Namun kita berharap, keadilan Majelis Hakim di PN Jakarta Utara ini dapat menjadi contoh bahwa masih ada penegak hukum yang melihat kebenaran dari sudut fakta dan bukti, bukan oleh tekanan publik apalagi iming-iming jabatan dan kekayaan duniawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H