Belum ada penelitianyang menunjukkan secara pasti, bahwa kekuatan daya nalar dan refleksi setiap orang memiliki persamaan. Namun ada pepatah lama, keberadaan seseorang itu berdasarkan apa yang ia makan atau ia baca. Bahkan ajaibnya lagi bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki perbedaan yang cukup beragam. Selain dapat dilihat dari sidik jari yang memiliki identitasnya tersendiri, genetitas setiap orang pun memiliki ciri khasnya tersendiri yang berbeda dengan satu sama lainnya. Akan tetapi yang mempersamakan setiap orang pada umumnya tentu saja pada panca indera dua mata, dua telinga, hidung, mulut, dan indera perasaan lainnya sebagai alat komunikasi tercanggih yang hanya ditemukan pada mahluk yang bernama manusia. Dengan keseluruhan alat biologis yang sempurna tersebut, dan atas dasar timbal balik komunikasi ilmu pengetahuan secara intensif, selektif, dan konsisten, maka unggulnya kualitas sumber daya manusia pun dapat diukur secara dini. Ada yang unggul dan cenderung intensif menekuni seni, maka lahirlah sastrawan dan para arrangemen yang mampu membaca dan jeli memadukan kekuatan ‘notasi-notasi‘ yang berserakan dimana-mana menjadi sebuah kekuatan hingga menjadi sebuah orkesta yang nyaman didengar, dilihat, dan dirasakan. Ada yang unggul dan cenderung intensif mengolah daya nalar, maka lahirlah berbagai teori yang dapat menjelaskan berbagai fenomana alam dan fenomena sosial yang sedikit banyak dapat membantu peta pemikiran yang biasa digunakan oleh para cendekiawan atau religious intellectual.
Fenomena cover both side, atau pola keseimbangan, yang hanya dapat ditemukan dalam dunia pers, alam semesta, pun ternyata dapat diketemukan dalam dunia kemanusiaan. Bahwa hidup harus seimbang antara kemampuan mempergunakan daya nalar (think) dan kemampuan mempergunakan daya rasa (feel), adalah sebuah keniscayaan dan kenyataan yang sudah semestinya harus terus diasah sedemikian rupa hingga terbentuk insan-insan yang bukan hanya saja unggul dalam cara berfikir, namun juga unggul dalam mendayagunakan perasaan (empati) dalam memahami ‘komposisi rasa’ dunia internal (dunia dalam) maupun dalam memahami dunia eksternal (dunia luar) yang masing-masing memiliki dimensi dan tingkatan pemahamannya tersendiri.
Ketidakseimbangan, meskipun tidak selamanya selalu memunculkan gejolak internal eksternal, namun yang lebih mengkhawatirkan adalah, manakala kesadaran untuk meningkatkan, menjaga, dan mengevaluasi kelebihan dan kekurangan aktivitas di berbagai jenjang kehidupan secara tertib dan teratur, sudah tidak lagi menjadi suatu hal yang penting. Tingkat pemahaman seseorang pada umumnya cenderung relative fluktuatif naik turun. Untuk membentuk masa depan yang diinginkan, memang perlu terus belajar dari pengalaman, membaca terus situasi terkini, dan perlahan-lahan bangun kembali menyambut hari esok dengan penuh do’a dan kerja keras, baik mulai dari lingkungan terdekat hingga lingkungan yang lebih luas lagi. [dbs]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H