[caption id="attachment_151947" align="alignleft" width="210" caption="www.amartapura.com"][/caption]
Rumah Kaca adalah salah satu roman dari Tetralogi Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Ia adalah sekuel terakhir setelah Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah. Roman yang dikarang Pram selalu memberikan cita rasa perlawanan atas ketidakadilan. Pram pernah berseru bahwa ia tak akan mati sebelum orde baru berakhir. Sebuah orde dimana ia dibenamkan oleh pusaran kuasa yang membenci dirinya.
Tetralogi bisa dibaca terpisah tetapi juga merupakan satu rangkaian kesatuan di kala membibitnya impian nasionalisme menuju Indonesia yang dicita citakan.
Jika di tiga buku pertama sang pencerita berpusat pada tokoh si aku bernama Minke, maka pada Rumah Kaca, sang pencerita si aku beralih pada sosok seorang Komisaris Polisi yang kemudian pensiun, lalu menjadi pejabat di Algemenee Secretarie, bernama Jacques Pangemanann-dengan dua n-yang karena keahliannya di bidang kearsipan ditugaskan untuk mengawasi gerak gerik Raden Mas Minke.
Pangemanann tak menampik bahwa ia mengagumi Minke. Ketika Minke meninggal, Ia turut mengiringinya dari kejauhan. Ia adalah pemuja rahasia Minke, sang pemula yang disinonimkan dengan Raden Mas Tirto Adhie Soerjo di panggung sejarah kenyataan.
Dalam setiap buku buku yang ditulis oleh Pram, selalu saja terdapat frase frase memikat yang seringkali dikutip untuk menambah “wibawa gagah perkasa” sebuah tulisan, utamanya oleh para penulis muda.
Di bawah ini beberapa quotes yang terdapat dalam Rumah Kaca
Tidak ada manusia suci di atas dunia ini. Setiap orang pernah melakukan kesalahan, kekeliruan, dan kejahatan (hal 10)
Menumpas kejahatan dari muka bumi, betapapun kecil adalah kebajikan (hal 72)
Seorang tanpa prinsip adalah sehina hina orang, manusia setengik tengiknya (hal 99)
Jadilah orang orang yang berhati murni, berprinsip, berpribadi (hal 99)