Belum satu purnama Rosihan Anwar wafat. Ia memang wartawan hebat, sejati dan tulen, bukan wartawan jadi jadi-an yang hanya mengejar amplop dengan memeras dan menakut nakuti.
Sejarawan Taufik Abdullah menyebutnya sebagai wartawan lima jaman, sejak Jepang menerjang nusantara hingga akhir hayatnya di masa presiden SBY. Walau ia tak punya surat kabar lagi yang dikelolanya pasca Pedoman di tahun 1974, ia tak pernah berhenti menulis sampai wafatnya pada 14 April lalu.
Terbiasa menulis dengan mesin ketik karena ada iramanya, walau akhir akhir ini mencoba memakai komputer atas desakan anak anaknya.
Rosihan Anwar-lahir pada 10 Mei 1922 di Kubang Nan Dua Sumatera Barat-menjadi jurnalis bukan disengaja. Mulanya ia hendak mengikuti pendidikan jaksa kilat yang dilaksanakan oleh pemerintahan militer Jepang selama enam bulan. Jaman perang segalanya serba cepat serba kilat.
Takdir tak dapat ditolak, ia bertemu dengan Dr. Abu Hanifah yang kala itu bekerja di CBZ (kini RSCM) dan mengabarkan bahwa koran Asia Raja sedang membuka lowongan wartawan.
Ia mendaftar dengan segera, mungkin karena butuh pekerjaan, yang saat itu secara umum kehidupan memang serba sulit. Tawaran itu tak ditampiknya. Jadilah ia bermarkas di Asia Raja sebagai jurnalis hingga Jepang takluk pada sekutu.
Setelah proklamasi ia segera bergabung dengan B.M. Diah mendirikan surat kabar Merdeka di Jakarta sebagai corong koran republik yang baru seumur jagung. Ia jadi redaktur dan mengalami masa masa penting di masa Indonesia masih merangkak.
Beberapa pengalamannya ia tuturkan dalam tulisan tulisan yang berserakan di media massa. Tak heran jika Rosihan kerap kali disebut sebagai “Catatan Kaki Sejarah Indonesia”. Sebagian tulisan tulisannya itu kemudian terkumpul dalam Sejarah Kecil: Petite Histoire Indonesia yang terdiri dari empat buku. Buku ke satu hingga buku ke empat.
Menarik. Kesan yang saya peroleh ketika membaca keempat buku ini. Tuturannya ringan dengan bahasa yang lincah namun tak mengurangi substansi makna tulisan. Meminjam tagline TEMPO, tulisan Rosihan “enak dibaca dan perlu”.
Sejarah tak lagi kering jika Rosihan Anwar yang menulis. Banyak cerita menarik yang baru saya ketahui setelah membaca empat buku ini. Tak tercantumkan dalam sejarah versi negara.
Empat buku ini tak saya beli sekaligus. Dicicil. Pertama, hanya beli buku ke dua dan buku ke tiga. Saya tak bisa menjelaskan kenapa yang dibeli pertama jilid ke dua dan ke tiga. Alasan praktisnya tentu dana yang tak memenuhi saku, mesti berbagi dengan kebutuhan lain.