Mohon tunggu...
Asep Imaduddin AR
Asep Imaduddin AR Mohon Tunggu... Guru - Berminat pada sejarah

Alumnus PP Darussalam Ciamis dan Sejarah UPI. Bergiat di Kolektif Riset Sejarah Indonesia. asepdudinov@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dalam Perangkap Neo-Kolonialisme

2 Juni 2010   05:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:48 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_156205" align="alignleft" width="246" caption="sumber: planetcadangan.blogspot.com"][/caption] Era kolonialisme fisik telah lama berlalu nun jauh puluhan tahun silam. Bendera kolonial tak lagi berkibar, garis garis peta penunjuk daerah penghasil rempah rempah tak lagi dihamparkan. Pasukan perang bersenjata tak lagi kelihatan batang hidungnya, semuanya telah berlalu. Dan itu adalah masa lalu yang tak pernah bisa diubah. Masa itu, romantisme darah dan kekecewaan silih berganti di panggung dunia timur dan barat. Barat dan timur pernah saling mengalahkan. Timur yang identik dengan Islam pernah digdaya di barat dengan imperium khilafah Islam, kali lain-dan kita harus sadar sampai saat ini-barat yang memimpin peradaban dunia. Inilah realitas hari ini, realitas yang mestinya menjadi tantangan umat Islam agar bangkit di masa depan dan merebut kembali kejayaan imperium Islam Barat dan timur adalah penamaan geografi imajinatif hasil prakarsa barat dengan gerbongnya bernama orientalis. Mereka mengkaji timur tidak dengan perspektif netral layaknya seorang sarjana walau mereka sarjana, tetapi dengan prejudice dan prasangka negatif yang mendahului otak kepala sang orientalis, sehingga kajian yang dihasilkan dengan objek ketimuran menjadi bias. Seorang sarjana asal Palestina yang simpatik dengan Islam, Edward W Said, mendedahkan dan membongkar seluk beluk para orientalis dalam bukunya yang telah menjadi klasik yakni Orientalisme. Inilah saat ketika era kolonialisme telah berganti baju menjadi neo kolonialisme. Ia tidak lagi direpresentasikan dengan popor senjata dan bau mesiu tapi ia dihadirkan dalam bentuk hegemoni ilmu pengetahuan. Neo kolonialisme tidak harus ada dalam wilayah geografi fisik yang nyata, ia bisa dikontrol dari jauh melewati sekat sekat negara bernama teknologi, food (makanan), fun (hiburan), fashion (mode) dan lain sebagainya. Tanpa sadar, negara negara dunia ketiga dan developed countries mengalami penjajahan jilid kedua. Frantz Fanon, seorang ahli poskolonial, pernah mengatakan bahwa “Kolonialisme tidak puas sekedar menggenggam kepala penduduk yang dijajahnya dan menguras semua isinya. Dengan logika yang dibalik, kolonialisme justru tertuju pada masa lalu penduduk yang dijajah, lalu mendistorsi, mengutak atik, dan menghancurkannya, Hasil kerja pengguguran nilai sejarah pra kolonial mengambil makna dialektisnya sekarang ini (Ahmad Baso, 2005:51). Dari Frantz Fanon kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kolonialisme klasik (fisik) akan senantiasa diikuti oleh kolonialisme kontemporer (ideologi, budaya, dll). Faktanya tampak sangat nyata hingga hari ini. Negara negara Islam yang “diberi” kemerdekaan oleh pihak barat yang pernah menjajahnya terlihat masih tertatih tatih dalam mengisi kemerdekaannya, sehingga kita bisa mengatakan bahwa kemerdekaan yang diperolehnya hanya bersifat semu semata. Negara negara Islam tersebut belum sepenuhnya merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Mereka masih berkutat dalam menyelesaikan persoalan persoalan intenal yang sering menghabiskan energi semisal konflik konflik sipil, pertikaian perebutan wilayah, korupsi dan lain sebagainya [caption id="attachment_156222" align="aligncenter" width="152" caption="sumber: kompasianer ifan anwar"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun