Mohon tunggu...
Asep Imaduddin AR
Asep Imaduddin AR Mohon Tunggu... Guru - Berminat pada sejarah

Alumnus PP Darussalam Ciamis dan Sejarah UPI. Bergiat di Kolektif Riset Sejarah Indonesia. asepdudinov@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature

Citarum Itu Feminin

4 Mei 2011   06:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:05 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Mungkin Tuhan telah bosan, melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa dosa (Ebiet G. Ade)

Puncak puncak kebudayaan kuno di dunia selalu berawal dari peradaban sungai. Nil di Mesir, Eufrat dan Tigris di Mesopotamia, Indus dan Gangga di India, Sungai Kuning di Cina.

Perjalanan panjang peradaban peradaban sungai tersebut semuanya dicatat dengan tinta emas sejarah. Kini, jika kita membuka buku pelajaran sejarah untuk SMA Kelas X semester pertama dan bab kesatu, maka yang dipelajari pertama kali adalah peradaban peradaban sungai di atas tadi.

Sebagian warisannya masih bisa kita saksikan hingga sekarang. Mohenjo Daro, Harappa, Piramida, Spinx. Walau sebagian sudah dimakan arus jaman yang tak kuat menahan serbuan alam: panas dan hujan.

Yang masih berdiri kokoh, seakan ingin menunjukkan “kepongahan” terhadap perilaku manusia masa kini yang sewenang wenang terhadap sungai, terhadap air, yang jelas jelas merupakan kebutuhan paling vital bagi seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi, tak terkecuali manusia.

Air air yang mengalir dari hulu hingga ke hilir sejatinya telah membawa pemaknaan yang berarti bagi kemajuan kualitas hidup manusia. Termasuk di Indonesia.

Beberapa fosil manusia Indonesia kuno seperti Pithecanthropus Erectus, Meganthropus Paleo Javanicus, Homo Soloensis, dan lain lain ditemukan tak jauh jauh dari aliran sungai yang mengalir di sepanjang Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Tentu saja ini tak mengherankan karena kehidupan manusia di periode periode awal sangat bergantung pada sungai sebagai tempat mata pencaharian dan bantaran sungai sebagai tempat tinggal.

Disitulah mereka bertahan hidup, berkembang biak, beranak pinak, dan mengembangkan kualitas kehidupan. Dari masa berburu dan mengumpulkan makanan menuju masa bercocok tanam dan kemudian berkembang pada jaman logam.

Mereka-dengan kearifan yang sederhana-tak lupa bahwa sungai telah memberikan keberkahan dan memberikan manfaat besar bagi kehidupan selanjutnya.

Ironisnya, kearifan terhadap air dan sungai itu tak kita warisi pada saat ini dan di sini. Di tempat kita lahir, tumbuh, berkembang dari kanak kanak hingga dewasa.

Sebagian besar sungai sungai yang mengalir di Pulau Jawa-pulau terpadat di Indonesia-tak memenuhi standar kualitas kesehatan. Menurut Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Indonesia-sebagaimana dikutip Oleh majalah Madina Februari 2008-ketersediaan air per kapita di Pulau Jawa hanya sekitar 1750 meter kubik per tahun pada tahun 2000, jauh di bawah standar kecukupan minimal 2000 meter kubik per kapita per tahun. Jumlah tersebut diperkirakan akan menurun hingga 1200 meter kubik per kapita per tahun pada 2020.

Tak hanya air bersih yang kian langka, sebanyak 76,2% dari 52 sungai di Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi tercemar berat oleh limbah organik dan amonium, seperti pencemaran tinja pada sungai yang bisa menyebabkan diare.

Data Departemen Pekerjaan Umum-saya masih mengutipnya dari Madina Februari 2008-menunjukkan sekitar 100 juta jiwa penduduk Indonesia mengalami kesulitan air dan sekitar 70% penduduk masih meminum air yang tercemar.

Sebagai contoh, Sungai Ciliwung yang mengalir menuju Ibu Kota Jakarta selalu dituding menjadi biang banjir dan penyebab buruknya sanitasi masyarakat di bantaran Kali Ciliwung. Karena, disitulah aktivitas manusia yang berinteraksi dengan air dilakukan. Yamencuci baju, ya cuci tangan, ya buang air, ya mandi, ya wudhu, dan hal lainnya. Sudah barang tentu, “Ciliwung Untuk Segalanya dan Semuanya” menemukan pembenarannya.

Maka jangan salahkan jika kemudian Ciliwung menunjukkan kuasanya. Airnya menerabas hingga batas pemukiman mewah. Sampahnya menumpuk seakan tak hendak pergi karena volume sampah over maksimum. Dan ini tentu saja menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai, hingga kini. Sejak jaman Bang Ali sampai Bang Foke.

Idem ditto dengan Citarum, salah satu sungai besar yang menjadi ikon Jawa Barat. Ya, Citarum adalah salah satu maskot Tanah Sunda Tatar Parahyangan sebagaimana Ciliwung bagi Batavia (kini Jakarta).

Aliran Sungai Citarum yang panjangnya sekira 269 km-berhulu di daerah Gunung Wayang dan bermuara di Karawang-melewati 12 Kabupaten dan Kota di Jawa Barat: Kab Bandung, Bandung Barat, Cianjur, Purwakarta, Karawang, Subang, Indramayu, Sumedang, Kota Bekasi, Kota Bandung, dan Cimahi. Mengaliri areal irigasi kurang lebih 420.000 hektar dan menghasilkan tenaga listrik 1400 megawatt. Tentu saja data ini tak saya karang karang sendiri. Saya menemukannya pada sebuah laman yang aktif terhadap konservasi citarum yang beralamat di www.citarum.org.

Ini berarti hampir 50% kabupaten/kota di Jawa Barat ikut teraliri oleh Sungai Citarum, dan berarti pula ada banyak masyarakat yang bersentuhan dengan Sungai Citarum. Baik yang beraktivitas positif terhadap Citarum maupun yang mencemarkan Citarum. Sayangnya, mereka yang beraktivitas mengkonservasi dari hal hal yang merusak secara langsung maupun tak langsung, tak sebanding dengan mereka mencemarkan Citarum baik dengan sengaja maupun tak sengaja.

Dalam Citarum Fact Sheet yang dirilis oleh www.citarum.org pada 22 Maret 2010 menyebutkan bahwa kondisi Citarum sudah pada taraf memprihatinkan, dengan indikator sebagai berikut, diantaranya adalah:

Pertama, Pencemaran. Kualitas air sungai di Jawa Barat, termasuk Citarum menunjukkan mutu yang sangat buruk alias tidak layak. Air Citarum telah tercemari koli tinja dan zat zat berbahaya lainnya yang disebabkan oleh banyaknya air limbah yang masuk pada aliran Sungai Citarum, yakni limbah industri, domestik, rumah sakit, peternakan, pertanian, dan sebagainya. Dengan pengukuran kualitas air, kondisi Citarum sudah masuk pada tingkat pencemaran berat.

Kedua, Penurunan air tanah yang terjadi secara drastis di cekungan Bandung. Ketiga, Kerusakan kawasan pesisir. Keempat, Kebutuhan dan Ketersediaan air yang tak seimbang.

Kelima, terjadinya banjir di sebagian Jawa Barat yang semakin meningkat khususnya daerah daerah rendah dan yang berada di hilir Sungai Citarum. Keenam, limbah yang mencemari Citarum, khususnya limbah domestik yang diperkirakan mencapai 60%. Ketujuh, kondisi waduk yang harus diawasi secara ketat karena adanya ancaman logam berat yang membahayakan. Dan terakhir adalah kondisi hutan yang juga rusak. Jika hutan rusak tentu saja akan menumbulkan ketidakseimbangan ekologi.

Faktanya bahwa Citarum memang sudah kadung begini akibat ulah tangan tangan yang tak bertanggung jawab. Padahal, jika air sudah tercemar dalam batas yang sudah tak bisa ditoleransi maka hal itu sama saja akan memusnahkan peradaban manusia. Minimal, mereka yang berada dekat dengan sekitar sungai tersebut.

Realitas Citarum yang menggambarkan keprihatinan itu bukan lantas mengendurkan semangat untuk tak melanjutkan penyelamatan Citarum. Ini mutlak dilakukan bukan hanya untuk sekarang dan generasi saat ini melainkan demi waktu yang akan datang sekaligus generasi masa depan yang akan mewarisi bumi. Sebagaimana sering terucap-dalam konteks yang lebih luas-bahwa bumi bukanlah warisan nenek moyang kita melainkan titipan anak cucu kita nanti.

Citarum yang Feminin

Vandana Shiva, seorang fisikawan dan aktivis Gerakan Chipko di India, dalam bukunya Bebas dari Pembangunan mengemukakan konsep bahwa alam adalah sebagai prinsip yang feminin. Ini berarti bahwa-tulis Shiva-“Alam sebagai ekspresi kreatif dari prinsip feminin terletak di dalam kontinuitas ontologis dengan manusia “diatas” manusia. Secara ontologis manusia dan alam itu tidak terpisah, demikian pula antara laki laki dan perempuan”.

Dengan demikian bahwa alam dan manusia tak bisa dipisahkan. Keduanya saling membutuhkan dan tak boleh menjadikan alam sebagai sesuatu yang berhak dieksploitasi, termasuk di dalamnya gunung, hutan, air, dan sungai.

Jonathon Porritt mengusulkan-sebagaimana ditulis Yasraf dalam Dunia yang Berlari-perlu dikembangkan “kesadaran planet” di dalam masyarakat global. Tumbuhnya kesadaran planet tersebut sangat bergantung pada kemampuan kita menemukan kembali mata rantai kita dengan bumi, yaitu memandangnya dengan sikap simpati, ketimbang sekedar mengeksploitasinya.

Jika itu terjadi maka tak dapat terhindarkan apa yang disebut sebagai krisis ekologi yang pada dasarnya-menurut Shiva-adalah kematian prinsip feminin secara simbolis.

Apabila dilekatkan pada Citarum, maka perlakukanlah Citarum sebagai sesuatu yang feminin, bukan sesuatu yang bersifat maskulin.

Hal yang feminin tentu beda dalam tata cara perlakukan. Penuh kelembutan, kasih sayang, dan rasa aman yang ditimbulkan. Sehingga, Citarum dapat kembali memberikan kesegaran dan rasa nyaman bagi penghuni penghuninya. Bukan menjadi tanda bahaya yang mengerikan. Entah itu banjir maupun pencemaran limbah yang semakin massif.

Secara tak sengaja saya membaca surat kabar lokal di tempat kerja kemarin.Tergolek begitu saja di meja kerja ruang tata usaha. Kebetulan isinya berkenaan dengan Citarum. Di situ disebutkan bagaimana warga warga yang dilewati Citarum yang berada di Kabupaten Bandung mesti melewati malamnya dengan berjaga jaga agar rumahnya tak kebanjiran dengan mengandalkan pesan berantai lewat SMS. Bukankah ini menandakan Citarum sebagai tanda bahaya?

Mau tak mau memang diperlukansinergi yang kuat, komitmen yang berkenambungan dan berkelanjutan antara pemerintah daerah di tingkat propinsi, kabupaten/kota, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat pada umumnya dalam merehabilitasi kembali Citarum sebagai sungai yang layak, bersih, dan aman.

Ini tentu tidak mudah. Perlu dukungan dana yang cukup besar dan usaha yang terus menerus.

Secara sederhana bahwa penyelamatan Citarum hendaknya beranjak dari 3 M, yakni membersihkan, menjaga, dan mengelola.

Fase membersihkan bukan difahami sebatas membersihkan sampah yang terlihat secara kasat mata, melainkan membersihkan dan mencegah agar limbah tak bertambah pada Citarum. Limbah yang sudah kadung larut disaring dan dibersihkan sedemikian rupa.

Fase menjaga dilakukan setelah kegiatan membersihkan selesai. Menjaga juga berarti mencegah supaya volume kerusakan tak semakin parah dan yang sudah bersih dijaga mutu airnya.

Terakhir yakni mengelola. Dan yang berarti pula memberdayakan Citarum untuk kepentingan yang lebih luas. Setidak tidaknya dapat memberikan kesejahteraan-jangan hanya difahami finansial-bagi warga yang berada dekat dengan Citarum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun