Khaerun Nisa. 34 tahun. Ibu rumah tangga dengan dua anak yang masih balita. Tinggal di perumahan. Suatu pagi ia uring uringan mendapati air yang terdapat dalam bak kamar mandinya keruh. Padahal, pagi itu ia sedang terburu buru untuk menjerang air, memandikan kedua anaknya-Alfath dan Havel-serta menyiapkan air hangat untuk suaminya yang akan segera bergegas pergi ke tempat kerja. Apa daya, rencana yang telah disusunnya berantakan gara gara air keruh yang tak bisa dipakai untuk mandi dan apalagi minum.
Air nan bersih lagi sehat memang bukan persoalan sepele. Air bersih adalah urat nadi kehidupan manusia untuk memperpanjang nafas kehidupannya. Tanpa air bersih sekaligus sehat saya kira manusia tak akan bisa bertahan lama. Kalau tak salah, saya pernah mendengar adanya pepatah “brengsek” yang tak boleh dilaksanakan. Bunyinya, “Barangsiapa ingin menghancurkan penduduk kota, hancurkan atau racunlah sumber airnya.”
Menurut riset, manusia mungkin saja masih bisa bertahan selama dua minggu untuk tak makan, tetapi ia sepertinya tak mungkin untuk bertahan jika saja selama tiga hari saja ia tak minum. Jelas, ia kekurangan cairan yang amat diperlukan oleh tubuh. Manusia tak bisa sembarang minum. Air yang kotor dan tak sehat akan fatal akibatnya dan mengancam kesehatannya. Tak usah jauh jauh, fenomena seperti ini sering kita saksikan. Di saat saat yang normal atau bahkan ketika sejumlah bencana menerjang.
Masih segar dalam ingatan bagaimana di hampir setiap bencana alam yang melanda rakyat Indonesia seperti Tsunami Aceh, Merapi Jawa Tengah, dan Sinabung Sumatera Utara misalnya, para pengungsi selalu mengeluhkan ketiadaan air bersih, baik untuk keperluan konsumsi minum maupun untuk mandi dan mencuci. Tak jarang dalam suasana seperti itu banyak orang yang terkena penyakit berkaitan dengan ketaktersediaan air bersih yang sehat. Semisal diare, mencret mencret dan muntaber. Balita dan anak anak biasanya menjadi korban yang rawan.
Susan Blackburn dalam bukunya yang berjudul Jakarta 400 Tahun mencatat bahwa pada awal abad ke-20 ketika Jakarta masih bernama Batavia, persediaan air yang tercemar di kota tersebut menyebabkan wabah diare yang sangat membahayakan bagi anak anak. Bahkan, sebuah survei pekuburan Islam di Batavia pada 1910-1911 menunjukkan bahwa seperempat dari jenazah yang dimakamkan meninggal dalam usia kurang dari 1 tahun.
Ketersediaan air bersih adalah pokok persoalan yang mesti dipecahkan. Sejak dulu bahkan sampai sekarang. Hal ini juga menjadi sesuatu yang dipikirkan oleh Ali Sadikin, Gubernur Jakarta yang sangat legendaris itu. Ia memimpin kota metropolitan selama 11 tahun, sejak 1966-1977.
Ali Sadikin seperti yang diungkap dalam Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi yang ditulis oleh Ramadhan K. H berucap bahwa ia lebih banyak mengeluarkan pikiran dan tenaganya mengenai pemecahan masalah air minum dibandingkan dengan mengatasi persoalan listrik, gas, dan telepon. Ia berujar, “ Masa mereka harus minum air kotor yang diangkat dari sumur yang cetek? Masa mereka harus mengeluarkan uang banyak untuk membeli air yang notabene dari pengusaha yang mendapat air dari PAM!”
Ali juga menilai bahwa masalahnya tak hanya menaikkan produksi air minum saja, tetapi penyediaan jaringan distribusi air dari pusat produksi menuju langganan. Pipa pipa telah berumur sekitar 50 tahun. Banyak yang sudah bocor. Akibatnya tekanan air berkurang. Di samping itu, diameter pipa tak sesuai lagi dengan volume dan jarak pemakaian air minum secara keseluruhan. Ali Sadikin menegaskan bahwa program penyediaan air minum harus merupakan prioritas utama di kota kota.
Sayangnya, Ciliwung yang dulu pernah menjadi sumber air untuk warga Jakarta, sudah lama tak bisa diandalkan. Kali Ciliwung sudah sangat tercemar dan tak layak.
Dalam Intisari edisi khusus Desember 2012 disebutkan bahwa telah terjadi penurunan kualitas air di Kali Ciliwung. Kini status mutu air Ciliwung mendapati nilai E atau sudah tercemar berat. “Air” di kali Ciliwung tidak dapat lagi digolongkan sebagai air. Temuan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada 2007, sumber utama pencemaran Ciliwung, baik di hulu maupun di hilir, memang berasal dari permukiman. Hal ini dibuktikan dengan suatu penelitian yang mampu menunjukkan tingginya kadar biological oxygen demand (BOD) di masing masing lokasi yaitu 39% dan 85%.
Ada dua hal berbeda yang dialami oleh mereka yang tinggal di kota dengan mereka yang tinggal di desa dalam konteks tersedianya air yang sehat. Mereka yang di kota hampir selalu berkutat bagaimana mendapatkan air bersih, sementara mereka yang tinggal di desa atau di kota kecil yang notabene dekat dengan sumber air bersih terkendala dengan bagaimana menyalurkan air bersih itu bisa sampai ke tempat tinggalnya.
Ini misalnya tercermin dari kasus yang pernah dialami oleh sebuah Kampung Nyalindung di Kabupaten Subang. Sebagaimana dikutip dari laman tintahijau.com, bahwa kampung yang berada di pegunungan ini-sampai tahun 2013-bukan kesulitan untuk mendapatkan air namun air yang tersedia tidak bersih dan kurang layak untuk digunakan. Semua aktivitas-mencuci, buang air, mandi, air untuk minum dan masak-dilakukan terpusat pada sumber air yang sama sehingga terjadilah pencemaran.
Air bersih yang ada di pegunungan tak bisa sampai karena kurangnya infrastruktur dan sarana untuk mendistribusikan air bersih tersebut ke rumah rumah di lingkungan masyarakat. Jika ini dibiarkan, rasanya semacam ironi yang cukup menohok, bahwa di tengah melimpahnya air di sekitarnya, ternyata air bersih tak cukup sampai karena ketiadaan sarana. Untunglah, sebuah perusahaan air yang besar bekerja sama dengan sejumlah lembaga swadaya mendengar keluhan warga ini. Sekarang, pompa pompa siap mengalirkan air bersih ke rumah rumah.
Mungkin suasana batin seperti inilah yang dulu pernah dirasakan oleh Mak Eroh-peraih Kalpataru 1988-ketika selama dua tahun dari 1985 sampai 1987 berjuang membuat saluran air bersih agar mengalir ke kampungnya di Tasikmalaya. Dengan berbekal linggis dan balincong, Mak Eroh merayapi tebing tebing yang cadas untuk pembuatan saluran air. Di awal, konon, Mak Eroh hanya menjadi bahan cemoohan. Setelah usahanya sedikit demi sedikit berhasil, barulah warga lainnya ikut membantu.
Kebutuhan air yang bersih dan sehat akan senantiasa menjadi problema abadi. Tantangan ke depan tak ringan. Tak di kota. Tak di desa. Keduanya sama sama menghadapi permasalahan itu. Jika tak segera mendapat solusi yang mudah dan murah, niscaya yang akan menjadi korban adalah generasi generasi masa depan.
Perlu ada sinergi antara pemerintah, swasta, komunitas, individu kreatif dan masyarakat yang harus ikut tergerak untuk memecahkan bagaimana air bersih itu mudah dan murah untuk didapatkan tanpa ada diskriminasi dan ketaktersediaan infrastruktur.
Pertama, bahwa pemerintah mengoptimalkan regulasi tentang air untuk kemakmuran, kesejahteraan, dan kesehatan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Kemauan politik yang keras dan berorientasi pada rakyat akan berdampak signifikan bagi tumbuhnya generasi generasi yang peduli pada kesehatan di sekelilingnya.
Kedua, pihak swasta secara pro aktif dapat memfasilitasi daerah daerah yang masih kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Dengan Dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang besar, saya kira hal tersebut akan tak terlalu sulit dilakukan. Di salah satu advertorial yang tayang di televisi, saya pernah melihat sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha air minum membantu warga warga-kalau tak salah-Timor Tengah Selatan yang masih sulit untuk mendapatkan air bersih. Dan saya kira hal itu peru di tiru oleh perusahan perusahaan lain.
Ketiga, bahwa komunitas yang peduli pada lingkungan dapat menginventarisasi dan menginisiasi wilayah yang rawan air bersih untuk sesegera mungkin bisa mengakses air bersih dengan mudah.
Keempat, individu kreatif dengan sokongan pemerintah dan swasta bisa memproduksi secara massal alat pembersih air yang tadinya tak layak minum menjadi layak minum. Saya pernah menyaksikan di televisi, seorang dosen dari sebuah institut yang terkenal, membuat alat sederhana yang bisa mengubah air yang tadinya keruh dan berbau menjadi dapat diminum dan memenuhi standar kesehatan. Saya kira ini layak untuk disebarluaskan.
Kelima, masyarakat pun dengan kesadarannya sendiri, dapat mendayagunakan kemampuannya dalam memenuhi ketersediaan air bersih di lingkungan terdekatnya. Nilai nilai gotong royong mesti diejawantahkan-salah satunya-dalam hal peduli dan sadar akan kesehatan, baik untuk dirinya sendiri maupun masyarakat yang lebih luas.
Air yang sehat memang untuk semua, bukan?
Sumber Bacaan
Majalah Intisari Desember 2012
Susan Blackburn. Jakarta 400 Tahun. Masup Jakarta. Jakarta. Juni 2012
Ramadhan K. H. Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi. Ufuk. Jakarta. Juni 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H