Literature is an expression of life, and you cannot eradicate politics from life (Mario Vargas Llosa)
Walau tak ada hierarki penghargaan sastra, diakui atau tidak,meraih Nobel Sastra adalah sebuah pencapaian tertinggi di bidang literasi saat ini. Beberapa sastrawan besar pernah menggapainya seperti Prudhomme, Hamsun, Bernard Shaw, Camus, Quasimodo, Pasternak, Neruda, Marquez, Nadine Gordimer, Derek Walcott, Pamuk, dan lain lain.
Bukan hanya dari segi hadiah uang yang konon mencapai 10 juta kronor Swedia (atau sekitar Rp. 12 miliar) namun juga dari segi kewibawaannya sebagai salah satu penghargaan sastra bergengsi di dunia. Gaungnya yang kuat dan integritas penyeleksian yang terbilang ketat menambah kharisma Nobel Sastra.
Ia adalah sebuah prestasi dan sekaligus prestise bagi seorang sastrawan yang dianugerahi Nobel Prize for Literature oleh The Royal Swedish Academy of Sciences, lembaga yang mempunyai otoritas memilih pemenang Nobel.
Nobelis Sastra adalah mereka yang melakukan kerja kerja yang luar biasa pada ranah kesusasteraan. Tak mudah begitu saja walau hanya sekedar menjadi kandidat peraih nobel.
Beberapa kali seorang sastrawan kawakan Indonesia dan juga penulis prolifik bertema kemanusiaan, (alm) Pramoedya Ananta Toer, menjadi kandidat kuatperaih Nobel Sastra, namun sayang, hingga ajal menutup akhir hidupnya, ia tak pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi pemenang Nobel Sastra. Walau begitu, tak kurang dunia memujinya sebagai salah satu penulis prosa nomor wahid yang pernah hidup di Indonesia, sebuah negeri yang sempat mengerkahnya dalam aktivitas di tempat “purba”: penjara Buru.
Ya, dapat dikatakan, bagi sebagian pihak, raihan Nobel Sastra adalah klimaks dari deretan perjuangan, kesungguhan, konsistensi, eksistensi, dan sebuncah “keras kepala” yang mesti dimiliki oleh sastrawan peraih Nobel tersebut. Karena tak jarang seorang sastrawan mesti berhadapan dengan kekuasaan otoriter yang memberangus kebebasan di negeri yang sungguh sungguh dicintainya.
Menyitir Kundera, “Perjuangan terhadap kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa”. Dan seorang sastrawan tangguh mestilah mengabaikan rasa ngeri dari kuasa negara totaliter yang mungkin sajatiba tiba menerkamnya. Padahal sungguh aneh, kekuasaan senjata takut dengan kekuatan pena.
Tugas sastrawan hanya menulis seperti pernah diucapkan oleh Gabriel Garcia Marquez-Nobelis Sastra 1982-bahwa, “Tugas seorang penulis adalah menulis dengan sebaik baiknya”. Dengan cara seperti itulah sebenarnya ia sedang menjalankan darma baktinya pada bangsa.
“Menulis dengan sebaik baiknya” itulah agaknya yang sudah, sedang, dan akan selalu dilakukan oleh Mario Vargas Llosa, penulis produktif asal Peru-kini warga negara Spanyol-yang pada tahun 2010 ini diganjar oleh Komite Nobel Swedia sebagai Kampiun Nobel Sastra.
Peraih Nobel Sastra dua dasa warsa terakhir didominasi oleh penulis penulis Eropa berselingan dengan Orhan Pamuk (Turki, 2006), John Maxwell Coetzee (Afsel, 2003), Gao Xingjian (Cina-Perancis, 2000), Kenzaburo Oe (Jepang, 1994), Toni Morisson (AS, 1993), dan Nadine Gordimer (Afsel, 1991). Maka tak heran jika Nobelis Sastra dua dasa warsa ini adalah eropa sentris.
Dominasi penulis Eropa memang tak bisa dielakkan, karena mereka mempunyai tradisi baca-tulis yang cukup panjang, seperti yang ditunjukkan melalui peradaban Yunani dan Romawi.
Llosa berhasil memecah kebekuan diantara deretan peraih Nobel Sastra dua dasa warsa terakhir.
Llosa adalah kelahiran Peru, Amerika Latin, dan Octavio Paz adalah sastrawan dari Meksiko yang meraih Nobel Sastra pada tahun 1990. Jauh sebelum itu adalah Garcia Marquez dari Kolombia yang meraihnya pada 1982, Pablo Neruda dari Chili yang meraih Nobel pada 1971, dan Gabriela Mistral idem ditto Chili pada 1945.
Bumi Amerika Latin memang tak hanya dipenuhi-seperti digambarkan oleh Marquez-, “Lelaki berkumis dengan gitar dan bedil” atau menurut Llosa sendiri sebagai “tanah yang hanya dipenuhi para diktator, revolusi, dan bencana alam”, seperti terimajinasikan dalam film Desperado dan Bandidas yang dibintangi oleh Antonio Banderas. Namun, lanjut Llosa, “Kini kita tahu bahwa Amerika Latin juga punya artis, musisi, pelukis, filosof, dan juga novelis”.
Mistral, Neruda, Marquez, Paz, Cortazar, Fuentes, dan Llosa adalah eksemplar dari sastrawan Amerika Latin tersebut. Bahkan, beberapa diantaranya meraih Nobel.
Komite Nobel Swedia lewat sekretarisnya, Peter Englund, mempunyai alasan kuat kenapa Mario Vargas Llosa ditetapkan sebagai Nobelis Sastra tahun ini. Ia adalah seorang penulis dengan “kemampuan pemetaan struktur kekuasaan dan penggambaran tajam atas perlawanan, pemberontakan, dan kekalahan, seseorang”. Sungguh tak mudah menulis dengan cara ini karena diperlukan keberanian optimal dan berlapis.
Ia secara jenial mengkisahkan dan mengurai secara detail dalam karya karya sastranya, utamanya dalam novel. Mungkin inilah kombinasi antara wartawan cum sastrawan.
Dunia jurnalistik yang mengedepankan fakta dan kelugasan agaknya sedikit banyak mempengaruhi gaya tulisannya yang cenderung terbuka dan tanpa tedeng aling aling. Di Indonesia, dalam batas batas tertentu kita mengenal Seno Gumira Ajidarma dengan buku fiksi berbasis fakta: Saksi Mata, ketika ia mencoba menuliskan kembali-dengan genre sastra tentunya-kekerasan yang pernah terjadi di wilayah Timor Leste di akhir Orde Baru tumbang.
Contoh paling ekstrim dari karya Llosa dengan semangat “menggedor” kebekuan adalah ketika ia memulai debut karirnya di dunia kepenulisan internasioanl. Ia, pada usia yang masih muda, 27 tahun, meluncurkan novelnya berjudul La Ciudad y Los Perros (1963) yang pada tahun 1966 diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi The Time of The Hero.
Novel yang berbasis pengalaman pribadinya ketika menjadi kadet di Akademi Militer Leoncio Prado ini, tak dinyana disambut oleh kekejian “intelektual” yang dilakukan oleh para opsir di Akademi Militer tersebut. Perbuatan “tak beradab” itu adalah pembakaran terhadap seribuan novel debutan Llosa di depan khalayak umum. Itulah kali pertama Llosa mendapatkan sambutan “hangat” atas karyanya itu.
Mario Vargas Llosa memang tak ingin menjadi patung, sebagaimana pernah dan tak bergerak ke mana mana alias mengandalkan imajinasi semata. Basis seseorang menjadi penulis adalah realitas yang terus dinamis dengan warna yang tak selalu hitam dan putih.
Ia dengan kesadarannya sendiri memasuki dunia jurnalistik yang membawanya pada berbagai khazanah kehidupan yang sejatinya memang beragam. Dengan begitu ia tak terkurung pada sempitnya pikiran dan pergaulan.
Pada titik inilah kita bisa memahami bahwa alur kehidupan Llosa pernah diinterupsi oleh kegiatan politik manakala pada tahun 1990, ia menjadi calon Presiden Peru mewakili partai partai beraliran konservatif FREDEMO. Llosa berhadapan dengan Alberto Fujimori. Namun sayang, ia dikalahkan oleh Fujimori. Kecewa dengan pemerintah otoriter Fujimori, ia pun pindah ke Spnyol.
***
Mario Vargas Llosa lahir dari pasangan kelas menengah Ernesto Vargas Maldonado dan Dora Llosa Ureta pada tanggal 28 Maret 1936 di kota kecil Arequipa Peru.
Menghabiskan masa kecil di kota kelahirannya Arequipa dan Chocabamba di Boliviabersama ibu dan kakeknya karena orang tuanya berpisah. Lantas pindah ke Piura mengikuti jejak kakeknya yang ditunjuk sebagai pegawai pemerintahan.
Masa kecil yang tak menyenangkan karena orang tuanya bercerai tak berlangsung lama. Keduanya kembali bersatu dan memutuskan membangun keluarga kecilnya tinggal di Lima, ibu kota Peru.
Llosa pernah mengecap pendidikan di Akademi Militer Leoncio Prado pada usia yang masih belia, kemudian dilanjutkan di Colegio Nacional San Miguel de Piura. Ia kemudian mengambil studi literatur dan hukum pada Universitas San Marcos dan lulus pada 1957.
Sejak usia muda ia telah berkenalan dengan jurnalistik, sebuah dunia yang kemudian sempat ditekuninya bertahun tahun dan membawa pengaruh dalam tulisan tulisannya. Ia sempat menjadi pewarta di La Industria, menjadi ko editor di Jurnal Cuadernos de Conversacion and Literatura, jurnalis bidang kriminal di La Cronica dan di Radio Pan Americana.
Melihat keadaan di Peru yang tak begitu menjanjikan untuk meniti karir kepenulisan, ia, setelah meluncurkan kumpulan cerita pendeknya yang bertajuk Los Jefes-seturut pengakuannya ia menyukai Faulkner namun meniru gaya Hemingway-pada tahun 1959 segera pindah ke Eropa, tepatnya Perancis. Ia menjadi guru Bahasa Spanyol, jurnalis di AFP dan Radio Télévision Française pada awal awal tahun 1960-an.
Ia kemudian terkenal dengan karya karyanya seperti The Time of The Hero, The Green House, Conversation in the Cathedral, Aunt Julia and the Scriptwriter, The War of the End of the World, The Real Life of Alejandro Mayta, The Feast of The Goat, dan lain lain.
Tak hanya itu, sejak 1970-an hingga kini ia mengajar di beberapa universitas di Amerika dan Eropa.
Penulis yang pernah berseteru dengan Gunter Grass dan Gabriel Garcia Marquez-kabarnya sempat baku pukul-ini tak hanya meraih Nobel, ia juga diganjar beberapa penghargaan sastra yang meneguhkan namanya dalam peta sastra dunia, antara lain, Leopoldo Alas Prize (1959), Rómulo Gallegos Prize (1967), National Critics' Prize (1967), Peruvian National Prize (1967), Critics' Annual Prize for Theatre (1981), Prince of Asturias Prize (1986) dan Miguel de Cervantes Prize (1994).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H