[caption id="attachment_222375" align="alignleft" width="265" caption="sumber: ruthloismark.wordpress.com"][/caption]
Teks itu pendek dan ringkas saja. Tak seperti Declaration of Independence yang canggih dari logika silogisme. Maklum saja, naskah kemerdekaan milik Amerika itu antara lain “direcoki” oleh orang orang hebat macam Benjamin Franklin, Thomas Jefferson, dan lain lain.
Namun, teks proklamasi kita itu tak kalah hebat dan bahkan mungkin lebih hebat karena-walau ditulis buru buru dan terkesan tergesa-sanggup merangkum point menyatakan kemerdekaan sebuah bangsa yang kenyang dikolonisasi oleh beberapa negara dan sekaligus bagaimana penyelesaian masalah setelahnya. Bacalah teks itu, saya sendiri tak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka yang mendengarkan Soekarno membacakan proklamasi. Mungkin merinding sambil bahagia. Entahlah
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal2 jang mengenai kekoeasaan d.l.l, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnya”.
Begitulah teks ringkas proklamasi kemerdekaan yang ditandatangani Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Ringkas dan amat singkat, namun dengan itu nasib sebuah bangsa telah berubah. Berubah seratus delapan puluh derajat menjadi bangsa yang-meminjam istilah Tan Malaka-merdeka 100%. Oh..ya, sekedar informasi (kalau keliru silakan dikoreksi), kertas naskah proklamasi coretan tangan Soekarno sempat dibuang ke tempat sampah oleh Sayuti Melik-suami SK Trimurti-setelah mengetiknya. Untungnya, seorang wartawan bernama B.M Diah segera memungutnya dan menyimpannya. Ia baru menyerahkan naskah bersejarah itu ke Arsip Nasional pada tahun 1990-an.
Segera setelah pembacaan itu, mantra proklamasi segera menyebar ke seluruh penjuru nusantara. Tak serempak memang, karena terkendala alat komunikasi dan transportasi yang masih terbatasa saat itu. Yang jelas, kemerdekaan telah menjadi bahasa baru yang digaung-gemakan oleh para pemimpin di istana dan rakyat serta pemuda di desa desa dan kota kota. Barang siapa yang tak terinfeksi arus revolusi kemerdekaan maka ia akan digilas oleh revolusi itu.
Rosihan Anwar, seorang wartawan tiga jaman, dalam bukunya Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan 1909-1966 menulis bahwa “Aksi mengambil alih jawatan jawatan publik seperti kereta api, telepon, pembangkit listrik, yang dimotori oleh pemuda sudah berlangsung. Jepang mulai mengosongkan gedung gedung yang sebelumnya menjadi pusat pusat kekuasaan mereka. Dimana mana ditempelkan oleh rakyat “Milik Repoeblik”. Suasana revolusioner mulai muncul dan meluas”.
Masyarakat terdikotomikan menjadi mereka yang pro republiken dan anti republiken. Suasana penuh dengan kecemasan dan kecurigaan yang sangat tinggi. Dimana mana terjadi penggeladahan dan pemeriksaan oleh para pemuda yang terkena arus revolusi tanpa syarat. Sikap sikap tradisional yang menghalangi jalannya revolusi akan disikat habis oleh penghakiman anti republiken. Sedikit saja menonjolkan simbol penjajahan, tak ayal ia akan “disiapkan”. Itulah jaman bersiap. Tak hanya menimpa rakyat jelata bahkan seorang residen Jakarta, yang di kemudian hari menjadi Gubernur Jawa Barat, Sewaka, hampir menjadi korban pembunuhan sia sia.
Sewaka pernah hampir dibunuh oleh rakyat karena dianggap mata mata Belanda, untunglah seorang pemimpin lokal masih mengenalinya sehingga ia bisa lolos momen yang sangat genting itu. Otto Iskandar Di Nata tak seberuntung Sewaka.
Otto, seorang menak Sunda, aktivis Paguyuban Pasundan dan pernah menjadi ketua Ikatan Gerakan Badan di Bandung pada jaman Jepang kabarnya menjadi korban para pemuda revolusioner yang menghabisinya di daerah Banten. Jasadnya tak diketemukan. Jabatannya sebagai menteri negara di awal awal revolusi tak pernah diembannya. Hanya pusaranya “Si Jalak Harupat” yang masih bisa dilihat di daerah Lembang, Bandung Barat.
Di Sumatera, seorang penyair kenamaan angkatan 1930-an, Teungku Amir Hamzah menjadi korban keganasan persatuan perjuangan hanya karena ia adalah termasuk keluarga kesultanan Langkat. Semuanya atas nama revolusi yang terlalu lebay.
Maka Idrus, penulis Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma tak salah ketika mengkritik perilaku perilaku tersebut dalam bukunya itu. Di salah satu tulisannya, Idrus bercerita bahwa seorang ibu dipukuli oleh beberapa pemuda revolusi hanya karena si ibu tersebut memakai selendang merah, baju putih, dan slop sepatu biru yang identik dengan bendera Belanda. Idrus menyebut bahwa patriot patriot Indonesia itu adalah hanya sekumpulan koboi.
Nyatanya, di jaman sekarang sweeping masih berlangsung dalam situasi dan konteks yang berbeda. Benar kata seorang intelektual Arief Budiman, bahwa kemerdekaan memang membutuhkan sebuah pertanggungjawaban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H