Mohon tunggu...
Asep Imaduddin AR
Asep Imaduddin AR Mohon Tunggu... Guru - Berminat pada sejarah

Alumnus PP Darussalam Ciamis dan Sejarah UPI. Bergiat di Kolektif Riset Sejarah Indonesia. asepdudinov@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ainun Habibie, "Saya Menjahit Sendiri Baju Kantor dan Baju Sehari-hari”

24 Mei 2010   01:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:01 4306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tengah malam berita duka itu sampai, tepatnya pada dini hari pada Ahad 23 Mei 2010. Sesaat sebelum melanjutkan sidang tentang tata tertib pemilihan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2010-2014 pada arena Muktamar Pemuda Muhammadiyah XIV di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur, pimpinan sidang mengumumkan berita duka bahwa ibu Hasri Ainun Habibie telah wafat di Jerman, peserta muktamar yang berjumlah seribuan seraya mengucap innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.

Pagi harinya, salah satu koran nasional yang disebar secara gratis di arena muktamar menuliskan berita duka itu hampir setengah halaman koran. Hasrie Ainun Habibie atau ibu Ainun Habibie adalah-pasti moal bireuk deui-istri dari B.J Habibie, presiden Republik Indonesia ketiga yang menggantikan Soeharto pasca lengser keprabon akibat reformasi 1998. Hampir setengah abad Bu Ainun menemani pak Habibie, tepatnya 48 tahun.

Mereka menikah pada 12 Mei 1962 di Bandung setelah sebelumnya pada Bulan Maret 1962 melakukan pertunangan. Jadi, hanya sebulan setelah pertunangan, Bu Ainun dan pak Habibie bersepakat meresmikan hubungannya ke jenjang yang lebih serius yakni pernikahan. Saya tahu masalah ini karena pada saat menulis catatan untuk Kompasiana sedang membaca buku berjudul B.J Habibie: Mutiara dari Timur yang ditulis oleh Solichin Salam cetakan kedua tahun 1987. Inilah buku yang mula mula saya beli sekitar tahun 1993-an yang pada waktu itu saya sedang duduk di sekolah menengah pertama.

Ketika melihat buku tersebut di sebuah toko buku kecil di kota saya yang tergolong kecil pula, saya langsung menghadap ibu dan memohon agar dibelikan buku tersebut, bapak saya tak ada di rumah karena sedang bekerja di seberang pulau Sumatera di sebuah kota penghasil batu bara. Merengeklah saya ke ibu dan segeralah ibu membelikannya. Mengapa saya ngotot ingin membelinya? Tentulah generasi 90-an sudah mafhum bahwa pada waktu itu Habibie adalah seorang tokoh hebat di bidang pesawat terbang yang tak ada duanya. Tak sedikit kawan kawan di waktu kecil ketika ditanya mereka ingin jadi apa, dengan serta merta mereka menjawab, “Ingin seperti Habibie”. Maka tak salah jika A. Fuadi dalam novel Negeri 5 Menara menyangka bahwa Habibie adalah sebuah profesi.

Bu Ainun dalam buku yang saya baca tadi mengenang awal awal perkenalannya dengan BJ Habibie yang akrab dipanggil Rudy, “Kami kenal sejak kecil. Dia teman main kelereng kakak saya. Rumah kami berdekatan di Bandung. Di SLTA malah satu sekolah, hanya Rudy satu kelas lebih tinggi. Dia selalu jadi siswa paling kecil dan paling muda di kelas, begitu juga saya. Guru guru dan teman acapkali berkelakar menjodoh jodohkan kami. Yah, gadis mana yang suka diperolok demikian?”.

Namun takdir berkata lain, olok olok itu menjadi kenyataan di kemudian hari, dan terbukti mereka pun menikah. Pasca menikah, Bu Ainun dan Pak Habibie segera bergegas menuju Jerman guna melanjutkan pendidikan doktornya di Aachen setelah sebelumnya menggondol gelar insinyur dengan nilai cum laude rata rata 9.5. Tanggal 27 Juli 1965 Habibie meraih Doktor Ingenieur dengan disertasi bertajuk Bietrag zur Temperaturbeanspruchung der Orthotropen. Nilai rata rata yang dicapai oleh Habibie tentu saja summa cum laude rata rata 10.

Di awal awal kepindahan ke Jerman adalah masa masa sulit bagi pasangan muda ini. Habibie mesti membagi waktu antara kuliah dan bekerja. Gaji dari bekerjanya hanya 600 DM atau sekitar Rp. 180.000,- sebulan, itu pun mesti dipotong oleh sewa pavilyun yang tergolong mahal sebesar 300 DM. Dengan sisa 300 DM itulah mereka mesti mencukup cukupkan diri melakukan survive di negeri orang. Bu Ainun juga bekerja di salah satu rumah sakit anak dan tak jarang mesti “Saya menjahit sendiri baju kantor dan baju sehari hari”.

Dengan berterus terang-saya mengutipnya dari buku B.J Habibie: Mutiara dari Timur, Habibie menyebut istrinya ini sebagai “Isteri, pendamping, partner, kawan karib, penasihat, dan pemberi ilham”. Kata mutiara yang pernah diucapkan oleh Bu Ainun adalah “Kalau isteri banyak ngomel, rewel, dan cerewet, suami jadi tidak luwes bergaul. Akhirnya tidak bisa maju dalam pekerjaan. Sedapat mungkin suami harus bebas dari keruwetan rumah tangga agar bisa leluasa berpikir tentang pekerjaan”.

Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun