[caption id="attachment_151627" align="alignleft" width="259" caption="sumber: www.sekolahmotivasi.wordpress.com"][/caption] “Wij sluiten nu. Vaarwel, tot betere tijden. Leve de Koningin!” (“Kami tutup sekarang. Selamat berpisah, sampai berjumpa di saat yang lebih baik. Hidup Sri Ratu”). Kalimat tersebut diucapkan oleh Bert Garthoff, seorang penyiar Radio NIROM Bandung (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij) pada siaran hari terakhirnya, Minggu, tertanggal 8 Maret 1942 pukul 11 malam. Malam terakhir Garthoff untuk bercuap-cuap dan malam terakhir bagi NIROM untuk segera menggulung kabel antena dan peralatan siaran. Sebuah pertemuan besar memaksanya berhenti mengudara. Ada alasan bagi Garthoff untuk mengucapkan kata-kata perpisahan, karena pada siang harinya di tempat yang tak jauh dari Bandung, tepatnya di Kalijati Subang terjadi penandatanganan penyerahan kekuasaan dari Jenderal Ter Poorten mewakili pemerintah kolonial Belanda kepada Letnan Jendral Hitoshi Imamura mewakili pemerintah Jepang. Momentum itu mengakhiri masa efektif penguasaan kolonialis Belanda berganti dengan pemerintahan militer fasis Jepang, tetapi tetap dengan satu tema: Penjajahan. Pemerintah militer Jepang tidak saja memerintahkan saikerei dan romusha, tetapi juga mengharamkan penggunaan Bahasa Belanda. Buku-buku, koran-koran dan segala media yang menggunakan Bahasa Belanda segera dimusnahkan, diberangus, dan dijauhkan dari masyarakat. Seolah-olah segala yang berbau Belanda adalah semacam virus yang mesti dijauhi dan menyebarkan “penyakit”. Tak terkecuali di Bandung. Nama-nama jalan di Bandung yang digunakan pada masa kolonial segera diganti oleh Jepang. Eksotika Parijs van Java kehilangan aroma nostalgia. Bandung menjadi tak lagi sedap dipandang. Bandung menjadi gersang. Ya. Kota Bandung yang sangat eksotik, teratur, dan rapi berubah nuansa secara drastis. Walaupun sama-sama penjajah, kita mesti mengakui bahwa sumbangan kolonial Belanda terhadap Bandung lebih berarti dan bermanfaat daripada Jepang. Stasiun Kereta Api Bandung, Technischee Hogere School (sekarang ITB), SMA 3 dan 5, SMP 2 dan 5, Kantor Polwiltabes Bandung, Villa Isola, Gedung Sate, Museum Geologi, Pabrik Kina Kimia Farma, Observatorium Boschaa, Gedung Merdeka, Institut Pasteur, dan lain sebagainya adalah sebagian peninggalan Belanda yang masih kita rasakan hingga kini. Tentu, yang tak akan kita lupakan adalah sebutan sohor bagi Bandung yakni Parijs van Java. Alangkah bangganya Bandung (dulu) disejajarkan dengan Paris sebuah kota yang eksotik, romantis, dan indah di daratan Eropa yang jaraknya ribuan kilometer dari Bandung. Dan orang-orang tua dahulu boleh berbangga bahwa untuk menikmati suasana Paris tak usah ke Eropa, cukuplah ke Bandung, Paris-nya Jawa. Maka tak usah heran jika keindahan Bandung pada jaman itu diidentikan dengan sebutan Bandung “Kota Kembang”. Sebutan ini awalnya berasal dari istilah stads van bloemen, penyebutan Belanda untuk kota Bandung, walaupun tentu saja penyebutan kota kembang ini memunculkan arti yang beragam. Namun Bandung tetaplah Bandung, sebuah kota yang selalu menjadi prioritas para penggede Belanda untuk pesiar dan rekreasi. Dan bandung menyediakannya. Mau kongkow-kongkow di Moison Bogerijon Bragaweg, yang sekarang bernama Jalan Braga atau sekadar dansa-dansi di Societit Concordia, sekarang bernama Gedung Merdeka yang pernah digunakan untuk Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 yang lalu. Gedung Merdeka terletak di jalan Asia-Afrika yang dulu bernama Grotepostweg. Pada jalan ini pulalah terletak tugu nol kilometernya Bandung dimana Daendels pernah menancapkan tongkatnya dan mengatakan bahwa jika ia kembali lagi kesini maka daerah ini sudah harus menjadi kota. Oh ya. Dulu, gedung Societit Concordia ini memang tak bisa dimasuki sembarang orang, hanya Belanda totok-lah dan orang-orang pribumi yang dinaturalisasi-lah yang bisa memasukinya. Tidak hanya di Societit Concordia, malahan di sebuah taman di dekat SMA 3 Bandung yang sekarang terkenal dengan Taman Lalu Lintas pun dikenakan peraturan yang serupa, tak boleh dimasuki oleh pribumi dan sejenisnya. Bahkan lebih sarkas, di kedua tempat ini terpampang pengumuman berbahasa Belanda yang berbunyi “Verboden vor honden en inlander” yang artinya adalah “terlarang untuk anjing dan pribumi”. Aneh, pribumi yang seharusnya menjadi tuan di negeri sendiri malah terasing dan disamakan derajatnya dengan anjing. Penjajahan memang melahirkan diskriminasi dan sikap rasialis. “Melihat” Bandung jaman baheula memang sungguh mengasyikan. Salah satunya adalah melalui buku. Buku-buku paling otoritatif dalam melihat Bandung tempo dulu, tentulah buku-buku karangan Haryoto Kunto (alm) yang dikenal dengan kuncen Bandung. Buku-bukunya seperti Bandung Tempo Dulu dan Ramadhan di Priangan merupakan sebagian hasil karyanya yang mengupas Bandung baheula. Selain karangan Haryoto Kunto, terdapat juga buku bergenre novel berjudul Parijs Van Java yang ditulis oleh sastrawan senior Remy Silado. Novel ini mengambil setting Kota Bandung tahun 1920-an. Settingnya yang kuat seolah-olah membawa kita melalui “mesin waktu” novel ini membayangkan Bandung yang asri dan tak semerawut. Didalamnya kita akan menemukan nama-nama jalan pada masa kolonial yang saat ini masih kita gunakan, tentunya dengan nama yang berbeda. Dulu, Jalan Wastukencana yang kita kenal sekarang bernama Engelbert Van Bevervoordeweg, naik ke atas bertemu dengan Jalan Merdeka yang dulu bernama schoolweg. Ke arah timur kita akan menemukan Jalan Sunda yang dulu bernama Oosteindweg. Jalan Aceh yang dulu bernama Kampemenstraat, Jalan Cilaki yang dulu bernama Noord de Keyzerlaan, lalu Sabangweg yang sekarang dikenal dengan Jalan Sabang. Jalan R. E. Martadinata yang sekarang dipenuhi dengan Factory Outlet (FO) dan tempat makan, dulu bernama Riouwstraat. Dari Jalan Cilaki bertemu dengan Gedung Sate yang terletak di Jalan Diponegoro. Gedung Sate tempo dulu adalah kantor Departemen Verker en Waterstraat atau semacam kantor Departemen Pekerjaan Umum sekarang. Sedangkan Jalan Diponegoro bernama Wilhelminaboulevard. Ke arah selatan kita akan menemukan Jalan Lembong yang dulu bernama hospitalweg, lalu Jalan Tamblong yang dulu bernama Tamblongweg, Jalan Kepatihan yang dulu disebut Kepatihanweg dan Jalan Naripan yang dulu bernama Naripan. Ke arah barat dari Naripanweg bertemu dengan Jalan Banceuy yang dulu dulu bernama Bantjeujweg. Soekarno, proklamator Indonesia pernah menghuni penjara Banceuy beberapa lama. Namun sayang, penjara bersejarah itu tak lagi nampak. Lalu, Jalan Otto Iskandardinata yang sekarang terkenal dengan Pasar Baru Trade Center dan kemacetannya itu dulu bernama Pangeran Soemedangsweg. Kembali lagi ke atas kita kan menemukan Jalan Sukajadi yang dulu bernama Bronbeekweg, lalu Jalan Hegarmanah yang dulu disebut Dennelust hoofdweg dan seputaran Jalan Ciumbuleuit yang dulu bernama Berg en Dalsweg, dimana terletak Universitas Parahyangan yang terkenal itu. Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pada awal didirikan bernama Technisee Hogere School (THS) yang terletak di Jalan Ganeca sekarang, dulu dinamai Hoogeschoolweg. Di kampus Ganesa inilah, Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama menyelesaikan gelar kesarjanaannya dalam bidang teknik sipil dan meraih gelar insinyur. Dalam kata-kata Soekarno, Bandung disebutnya sebagai passport to a white world sebagaimana tertera dalam salah satu bab bukunya yang berjudul An Autobiography as Told to Cindy Adams. Akankah Bandung kembali asri dan tak menampakkan kesemrawutannya lagi sebagaimana nuansa Parijs van Java tempo dulu? *Bandunger 1999-2005
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H