Mohon tunggu...
Asep Imaduddin AR
Asep Imaduddin AR Mohon Tunggu... Guru - Berminat pada sejarah

Alumnus PP Darussalam Ciamis dan Sejarah UPI. Bergiat di Kolektif Riset Sejarah Indonesia. asepdudinov@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ikhtiar Membangun Indonesia dari Desa

26 November 2014   07:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:49 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Judul Buku: Revolusi Dari Desa, Saatnya dalam Pembangunan

Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat

Penulis: Dr. Yansen TP, M. Si

Penerbit: Elex Media Komputindo

Cetakan: Pertama, 2014

Halaman: 224 Halaman

Desa adalah beranda Indonesia yang sesungguhnya. Desa merupakan komunitas masyarakat yang terhimpun didalamnya aspek sosial, budaya, politik, dan ekonomi dalam skala yang paling mikro. Melihat desa berarti melihat Indonesia dari jarak dekat dengan segala problematika yang melingkupinya. Lebih dari itu sebenarnya, desa merupakan penopang akan kokohnya “tubuh” yang bernama Indonesia. Tanpa desa yang kuat, makmur, dan berdiri di atas kaki sendiri, maka negeri Indonesia hanya akan menjadi onggokan daging tak berdaya. Lumpuh nan layu. Apalah artinya jika sebuah negara yang secara geografis terbilang besar, namun tak memperhatikan entitas desa secara serius?

Padahal jauh sebelumnya, ihwal ini persis seperti yang pernah diungkapkan oleh dua pendiri bangsa ini, Muhammad Yamin dan Soepomo, bahwa desa itu laksana kaki, jika kaki lumpuh maka tubuh tidak maksimal. Sebuah perkataan yang masih relevan, bahkan jauh setelah puluhan tahun Indonesia merdeka.

Ya, kenyataan tentang pembangunan di desa masih dikatakan ironis. Sebagian besar desayang ada di bumi Indonesia masih belum diperhatikan dengan seksama atau malah mungkin terlupakan oleh negara. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan, lebih cenderung memperhatikan “Kota” yang boleh jadi lebih menguntungkan secara finansial dan padat dengan modal modal untuk ongkos pembangunan. Desa masih dianggap sebelah mata, hanya pelengkap dalam birokrasi dan administrasi semata.

Maka tak heran, menurut Marwan Ja’far-Menteri Desa, Transmigrasi, dan Pembangunan Daerah Tertinggal Kabinet Kerja-dalam sebuah acara talk show di salah satu televisi swasta mengatakan bahwa terdapat kurang lebih 74 ribu desa di Indonesia dan 32 ribu diantaranya merupaka desa tertinggal. 70% desa tertinggal tersebut terdapat di Indonesia bagian timur. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin jauh dari pusat, dengan kata lain jauh dari Jakarta maka desa menjadi tak berdaya. Paradigma lama pembangunan di desa hanyalah basa basi semata demi proyek belaka.

Apa yang terjadi kemudian adalah bahwa pembangunan di desa seperti jalan di tempat. Bangun sana bangun sini tanpa perencanaan yang matang dan akhirnya mubadzir. Padahal, gelontoran dana dari pusat bisa jadi sangatlah besar dari berbagai kementerian untuk alokasi yang bermacam-macam. Mungkin disinilah penyebabnya, karena anggaran yang sporadis, bersifat top down, dan tanpa memperhatikan kekhasan desa masing masing, maka anggaran yang besar itu seperti tak ada gunanya. Nilai kesinambungan pembangunan desanya hilang.

Nah, dengan adanya Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 ini desa diberi kesempatan untuk mengembangkan diri secara optimal. Semangat dari undang-undang ini pada dasarnya adalah mengkonsolidasikan semua pranata yang berkaitan dengan desa untuk bergerak dalam satu tujuan membangun desa. Silang sengkarut dan tumpah tindih birokrasi serta anggaran yang selama ini sudah berlangsung bisa diminimalisasi demi desa yang mandiri dan berdaya. Bertindak sangkil dan mangkus mesti dilakukan agar pembangunan di desa tak menjadi sia-sia.

Tujuannya tak hanya agar kesenjangan desa dan kota semakin kecil, melainkan antara desa yang satu dengan desa yang lain tak terjadi kecemburuan pembangunan. Karena banyak sekali desa yang makmur, namun tak sedikit desa tetangganya masih tertinggal. Jika situasi ini terus dibiarkan, maka dikhawatirkan konflik-konflik sosial akan mudah tersulut dan menjadi “bensin” yang gampang terbakar.

Selain itu desa harus berpartisipasi terhadap apa yang dimaui oleh desa tersebut, bukan lagi ditentukan oleh “Jakarta” apa yang mesti dilakukan dari pusat. Sehingga desa tak lagi menjadi objek kebijakan, melainkan ia ikut berperan dalam subjek kebijakan. Termasuk dalam penganggaran desa sendiri yang mesti adil sesuai dengan kebutuhannya. Desa harus bisa menentukan apa yang dibutuhkannya, bukan apa yang diinginkannya. Yang pada ujungnya adalah terwujudnya desa yang berdikari, desa yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri.

Dalam konteks yang lebih lokal, ternyata percontohan desa yang diberi kepercayaan sebagai subjek kebijakan sudah dilakukan, jauh sebelum UU Desa disahkan. Ini dilakukan di Malinau, sebuah kabupaten di Provinsi Kalimantan Utara di bawah pimpinan Bupati Dr. Yansen TP, M. Si. Malinau merupakan kabupaten terluas di Kalimantan Utara dengan luas hampir 40 ribu kilometer persegi.

Melalui Gerakan Desa Membangun (GERDEMA) yang dicetuskan oleh pak bupati, ia ingin membuktikan bahwa desa jika diberikan keleluasaan untuk membangun, tentunya dengan arahan-arahan yang positif bisa memberdayakan dirinya sendiri. Maka sejak bulan Januari 2012, seluruh desa di Malinau melaksanakan Gerdema dan sejauh ini hasilnya menggembirakan. Awalnya gagasan ini diliputi oleh keraguan, namun tekad bupati yang “keras kepala” agar ide ini segera terwujud, sekarang bisa merasakan hasilnya.

Secara konseptual dan sistematis, pengalaman lapangan di Malinau yang dilakukan oleh Dr. Yansen TP, M. Si dituangkan dalam sebuah buku dengan judul yang cukup provokatif yakni Revolusi dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat. Ini semacam gagasan yang tak hanya berkutat dalam teori namun telah dipraktekkan secara nyata. Dan hasilnya dipersembahkan dalam bentuk naskah buku yang bisa dijadikan panduan secara umum, yang mungkin saja hendak dilaksanakan di daerah-daerah lain.

Penulis buku ini secara akademik dan ilmiah memulainya dengan menggugat konsepsi pembangunan yang telah dilakukan selama ini oleh pemerintah. Ia menilai bahwa ada yang keliru dengan apa yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat khususnya yang berada di desa desa. Negara, dengan kuasa yang besar ditangannya selalu saja melakukan kesalahan yang sama dan berulang-ulang terhadap pembangunan yang dilakukannya. Sehingga hasil yang diharapkan selalu tak optimal. Dan masyarakatlah akhirnya yang kerap kali menjadi korban pembangunan tersebut.

Model, strategi, dan pendekatan yang dilakukan oleh negara kepada masyarakat hampir selalu tak menyentuh aspek dari problematika rakyat, dan juga pemerintah tak mampu mengelola berbagai kekuatan yang ada di masyarakat itu sendiri. Yang pada akhirnya, ketika pembangunan itu timpang karena tak berpihak pada rakyat, maka beban yang ditanggung oleh pemerintah bukannya semakin berkurang, malah semakin berat dan rumit. Ditambah lagi dengan bobot politis yang besar akibat kontestasi politik yang cukup sering seperti Pemilihan legislatif, presiden, dan legislatif.

Padahal, sejak dulu hingga kini, isu-isu pembangunan masyarakat selalu berkutat di masalah kemiskinan, pengangguran, infrastruktur, sumber daya manusia dan informasi. Dan ironisnya, negara tak jarang menganggap bahwa masyarakat-lah yang tak mau berubah walaupun sudah diberi “kue” pembangunan. Masyarakat selalu dipersalahkan.

Nyatanya, seringkali yang terjadi adalah kebijakan-kebijakan yang tidak tepat sasaran dan tepat guna. “Seragamisasi” kebijakan merupakan fenomena yang sering terjadi. Semua hal diperlakukan sama dengan kebijakan besar yang didiktekan dengan massif. Tentu ini kekeliruan yang harus diperbaiki. Ada kearifan-kearifan lokal di setiap komunitas masyarakat. Sehingga masing-masing mempunyai identitas-identitas khusus yang tak mungkin bisa dipersamakan. Belum lagi ada ungkapan satir yang menggambarkan bahwa setiap ganti pemerintahan, maka kebijakan pun akan berganti.

Penulis buku ini dengan tajam mengkritik bahwa upaya membangun yang dilakukan tidak lebih hanya sekadar dinamika organisasi. Hanya mencerminkan upaya dan kerja keras dalam memperkuat kedudukan pemerintah untuk menjalankan kewajibannya. Pemerintah hanya menampakkan “kesan” memiliki tanggung jawab yang besar kepada rakyat dan hanya bersikap memelihara kewibawaannya dalam menjalankan tugas mulia untuk membangun masyarakatnya. Sedangkan urusan hasil? Itu nomor sekian.

Agar apa yang dilakukan oleh pemerintah tak menjadi sia-sia maka pastilah ada hal yang mesti diubah. Ada yang mengubahnya secara perlahan-lahan, sering disebut reformasi. Ada yang ingin mengubahnya secara“revolusioner.” Dalam konteks ini, perubahan cepat yang ditawarkan oleh penulis buku ini yang sekaligus merupakan Bupati Malinau adalah gagasan baru, berani, dan implementatif.

Saya kira, seseorang yang memberikan sesuatu yang baru dan berbeda dengan para pendahulunya dengan tetap bertujuan kesejahteraan masyarakat yang paling utama, maka ia adalah tipe seorang pemimpin. Kalau hanya mampu memberikan yang biasa biasa saja tanpa adanya terobosan, maka orang itu hanya selevel dengan seorang manager, bukan pemimpin.

Terobosan atas gugatan konsep pembangunan yang menurut penulis buku ini tak sepenuhnya benar adalah dengan memunculkan paradigma pembangunan yang berpusat pada sumber daya manusia dan paradigma pembangunan partisipatif. Setelah sebelumnya paradigma pertumbuhan dan paradigma pemerataan ternyata gagal memanusiakan manusia. Dalam paradigma terdahulu, masyarakat hanya menjadi objek belaka. Dijadikan target tanpa melihat aspek aspek potensial yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Apa yang terjadi bukan tumbuh dan merata, malahan ketimpangan yang dirasakan.

Dengan dua paradigma yang baru ini (sumber daya manusia dan partisipatif) maka pendekatan pembangunan ditekankan pada pentingnya inisiatif, kreativitas, dan inovasi yang berpijak pada kebutuhan masyarakat. Sifat dari pendekatan ini adalah bottom up bukan lagi top down yang selama ini berlangsung. Atas dasar pendekatan logika pembangunan inilah, selaku Bupati Malinau beliau menggagas Gerakan Desa Membangun atau yang lebih populer sebagai GERDEMA.

Ide GERDEMA merupakan kebijakan inovatif dengan masyarakat desa sebagai pusat. Mereka diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk mengelola desanya. Tentu dengan pembinaan dan pembentukan kemampuannya secara bertahap. Bukan dilepas begitu saja. Dengan konsep ini maka pembangunan yang diharapkan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya akan tercapai. Perubahan pun saya kira akan terasa signifikan, karena dalam diri masyarakat tersebut dengan sendirinya akan terbangun sikap dari masyarakat oleh masyarakat untuk masyarakat.

Semua yang dilakukan beserta risiko yang kelak akan dihadapinya dihitung bersama, dengan satu komitmen bahwa semua perangkat desa dan masyarakatnya akan melakukannya dengan sungguh-sungguh dan bertekad bahwa apa yang dilakukannya itu hanyalah semata-mata untuk kesejahteraan rakyat, lain tidak. Jika tak sesuai dengan cita-cita luhur tersebut, maka itu saja dengan pengkhianatan atas esensi dari GERDEMA yakni gerakan itu berasal dari rakyat, gerakan itu dilakukan oleh rakyat, dan gerakan tersebut menghasilkan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat desa.

Ada hal menarik yang diungkapkan oleh penulis buku ini sekaligus pencetus GERDEMA. Ia menyatakan bahwa kepemimpinan menjadi syarat mutlak keberhasilan pelaksanaan GERDEMA. Tanpa kepemimpinan yang tepat, GERDEMA tidak akan berjalan maksimal. Menarik karena ujung tombak dari GERDEMA ini adalah pemimpin tingkat lokal yang berasal dari warga masyarakat. Dengan gerakan ini tentu butuh pemimpin-pemimpin desa yang berkualitas mumpuni, bukan pemimpin yang bermutu abal-abal. Dan terlebih lagi iaharus mampu menggerakkan masyarakat desa dengan kultur beragam.

Kuncinya ada pada keteladanan. Teladan dalam hal apapun. Keteladanan yang ambrol dari seorang pemimpin, maka masyarakat tak akan lagi percaya. Apalagi masyarakat desa yang masih kental dengan hirarki patron klien. Nilai-nilai kebaikan yang ditularkan oleh seorang pemimpin akan berdampak positif bagi penguatan karakter masyarakat dalam GERDEMA ini.

Jika hal ini secara bersamaan dan berkesinambungan maka akan terwujud pada indikator capaian GERDEMA yang terdiri atas 13 nilai ideal yakni tumbuh dinamis partisipasi masyarakat yang tulus, berkomitmen dan bersih dalam penyelenggaraan pemerintahan desa; Tumbuh dan berkembangnya demokrasi di desa; Tumbuh dinamisnya kepemimpinan di desa; Terwujudnya Transparansi di desa; Terwujudnya efisiensi di desa; Terwujudnya efektivitas di desa; Terbangunnya budaya swadaya di desa; Tumbuhnya prinsip pemberdayaan di desa; Terbangunnya budaya dan keberpihakan pada kelompok masyarakat yang tidak mampu secara sosial dan ekonomi; Tumbuhnya budaya dan perilaku inovatif di desa; Tumbuhnya sektor produksi di desa; terbangunnya perilaku bertanggung jawab dari para pemangku kepentingan dan masyarakat desa; Dan terwujudnya prinsip dan nilai keadilan dalam masyarakat desa.

Dan pada akhirnya model dari GERDEMA ini adalah ingin menghadirkan sebuah pemerintahan yang mampu berdinamika secara luas dan dalam serta memiliki korelasi dan koherensi kerja yang tinggi dan kuat dalam menjalankan pemerintahan untuk melayani kepentingan masyarakat yang lebih luas. Hasil-hasil pembangunan mesti dinikmati segala lapisan tanpa membeda-bedakan status sosial masyarakat. Birokrasi fokus melayani, dan masyarakat ikut berpartisipasi serta mengawasi.

Kekuatan buku ini terletak pada gagasan yang ditawarkan oleh Dr. Yansen TP. M. Si tentang GERDEMA dijelaskan mulai dari keberaniannya untuk mendefinisi ulang tentang apa arti pembangunan. Ia tak segan-segan membeberkan kegagalan apa yang pernah dicapai dengan paradigma lama tersebut. Tak berhenti hanya disitu, ia kemudian memberikan solusi atas problematika yang dihadapi desa.

Selain itu, dalam buku ini secara sosiologis ia memberikan secara tahap demi tahap apa yang harus disiapkan, apa yang harus dilakukan, dan capaian apa yang akan diperoleh dari GERDEMA. Pendeknya, ia memberikan panduan komplit dari A sampai Z tentang implementasi GERDEMA di Kabupaten Malinau yang ia pimpin.

Catatan kecilnya, karena lokasi percontohan GERDEMA ini sangat spesifik yaitu di Malinau Kalimantan Utara, maka apabila konsep ini hendak diadopsi di tempat lain, hendaknya memperhatikan nilai-nilai sosial budaya setempat. Karena keberhasilan GERDEMA tak hanya melibatkan perangkat pemerintahan semata, melainkan juga ditunjang oleh kontribusi masyarakat yang juga sangat dominan.

GERDEMA yang dicanangkan pertama kali di Malinau oleh Bupati Dr. Yansen TP, M. Si merupakan sebuah ikhtiar cerdas dalam sebuah upaya membangun Indonesia dari pinggiran, dari desa. Ini seperti meneguhkan bahwa ikut berpartisipasi dalam kehidupan bangsa tak mesti muluk-muluk mengerjakan sesuatu yang dirasa wah. Kita bisa memulainya dari desa tempat kita tinggal.

Desa sebagai ciri khas Indonesia yang asli tak boleh lagi dipandang sebelah mata, karena membangun desa secara sungguh-sungguh merupakan bagian dari apa yang pernah diucapkan oleh Bung Karno bahwa sebagai bangsa mesti berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Jika negara telah mampu berdikari, maka wibawa negara akan tegak dan tak mudah didikte oleh bangsa lain. Dari desa kita membangun Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun