Hari ini genap dua tahun kau pergi dari dunia ini. Langit pun masih berduka, menumpahkan segala rasa yang dulu kau tinggalkan. Pun bumi masih terlihat lara, dengan rumput ilalang yang kini kering kerontang. Tanah mu masih saja basah, setiap hari hujan pun datang. Di atas kertas yang sudah usang, membekas kecup bibirmu yang telah lama pudar. Tinta-tinta yang merangkai kata kini perlahan tak lagi jelas terlihat.Â
Ra, kutuliskan sajak ini untukmu di bawah cahaya rembulan. Walau terkadang malam mengusik pori-poriku. Mencoba menggoda penaku yang mulai merangkai kata-kata, bercampur keringat dari kening. Mata pun tak sanggup lagi menahan segala gejolak hati yang kian sepi. Pun rindu yang menyeruak dalam kalbu.Â
Ra, izinkanlah kusimpan sajak ini di atas pembaringan terakhirmu. Biarkan nisan yang menulis namamu menjadi saksi bisu. Pun kamboja yang berguguran tahu isi hatiku. Ya, aku tahu rumahmu tak lagi megah, bergelimpangan harta. Kini, kau hanya diam tanpa pernah tahu apa yang terjadi. Di sini, hatiku sepi. Menahan beribu jarum yang tertancam. Perih, ngilu. Hingga bibir pun terasa kaku tuk berucap.
"Selamat jalan, Ra. Semoga sajak yang kutuliskan doadoa bisa menenangkan dirimu di alam sana." tulisku pada secarik kertas yang telah berdebu.Â
.
Cianjur, 25 April 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H