Keselamatan dan keamanan kerja menjadi salah satu faktor yang perlu mendapatkan perhatian kita bersama, khususnya yang berkaitan dengan penerbangan. Accident maupun incident yang terjadi pada penerbangan menjadi berita yang mendunia karena berkaitan dengan pelayanan publik secara internasional.
Banyak teori para ahli yang menjelaskan tentang terjadinya suatu kecelakan ataupun insiden pada dunia penerbangan. Hawkin (1993) dengan teori SHELL (Software, hardware, Environment, Liveware dan Liveware) secara jelas menyatakan bahwa ada lima faktor yang mengakibatkan terjadinya Kecelakaan. Demikian juga Reason (1992) dengan Teori Swiss Cheese Model-nya yang menyatakan bahwa suatu kecelakaan terjadi karena sudah terkondisikan akan terjadi celaka. Penelitan Supriyadi (2016) juga memperkuat teori tersebut dengan menyimpulkan bahwa keselamatan terbang berhubungan dengan implementasi kebijakan publik dan airmanship.
Berkaitan dengan terjadinya beberapa insiden yang terjadi akhir-akhir ini seperti terbakarnya genset di Bandara Soekarno-Hatta, tumpahnya bahan bakar avtur di Bandara Sultan Hasanuddin, dan insiden hampir bertabrakannya dua pesawat di Bandara Soekarno-Hatta, perlu dianalisis secara objektif untuk menghindari kejadian yang sama pada masa mendatang. Penulis akan menganalisis kejadian tersebut dari aspek implementasi kebijakan dan airmanship.
Implementasi Kebijakan
Kebijakan tentang keselamatan penerbangan telah banyak diatur dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, maupun Keputusan Menteri. Yang menjadi pertanyaan adalah, “Apakah implementasi dari kebijakan tersebut belum optimal” atau “Apakah kebijakan tersebut tidak dapat diimplementasikan”. Dengan adanya insiden di atas, maka penulis dapat memastikan ada aturan atau kebijakan yang telah dilanggar. Penulis bukan mencari siapa yang salah dalam insiden tersebut tetapi menganalisis secara ilmiah mengapa insiden tersebut terjadi.
Ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab terjadinya insiden tersebut jika dianalisis dari aspek kebijakan yaitu:
- Kemungkinan adanya pelanggaran atau kelalaian terhadap Standard Operating Procedures (SOP) yang dilaksanakan oleh insan penerbangan. Jika hal ini terjadi maka perlu diberikan sanksi yang tegas sebagai peringatan untuk insan penerbangan.
- Kemungkinan adanya SOPyang belum diketahui oleh insan penerbangan dengan perubahan teknologi atau peralatan pendukung penerbangan. Jika hal ini terjadi maka perlu dilakukan peningkatan kemampuan dan kompetensi dari sumber daya manusianya.
- Kemungkinan adanya SOP yang tidak sesuai lagi dengan kondisi penerbangan untuk saat karena perkembangan ilmu dan teknologi penerbangan. Selama ini SOP tersebut dilaksanakan tetapi belum terjadi insiden karena faktor keberuntungan saja. Jika hal ini yang terjadi maka perlu dilakukan evaluasi terhadap SOP yang ada.
Airmanship
Airmanship merupakan jiwa yang harus dimiliki oleh seluruh insan penerbangan. Jiwa atau karakter tersebut harus sudah tertanam mulai dari tingkat pendidikan sampai dengan insan penerbangan bekerja di dunia penerbangan. Jiwa atau karakter tersebut kadang-kadang dianggap sebagai sesuatu yang abstrak tetapi dapat dirasakan.
Teori tentang airmanship sangat jelas disampaikan oleh Kern(1997)yang terdiri dari Cornerstone(Discipline), Foundation (Skill and Proficiency), Pilar of Knowledge (Self, Team, Aircraft, Environment, Risk, and Mission),danCapstone Outcome (Situational awareness andJudgment). Craig(1992)menyatakan bahwa airmanship harus dimiliki oleh insan penerbangan supaya proses penerbangan berjalan dengan baik.
Gambar Bangunan Airmanship (Kern, 1997)