TANAH AIR DAN TRADISI MUDIK
Mudik atau pulang kampung, bisa menjadi wajib hukumnya. Jika hal ini dilakukan untuk menemui kedua orang tua, di kampung halaman nun jauh disana untuk sungkem atau silaturahim. Kedua orang tua tidak cukup hanya diberi materi dari jarak jauh untuk menyenangkan dan menopang keseharian mereka. Mereka butuh kehangatan, kebanggan, dan " bakti' anak-anaknya kepada mereka. Maka menjadi keharusan jika seandainya, seorang anak yang jarang pulang bahkan hanya setahun sekali menemui orang tua tercinta. Mudik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah 1. (berlayar, pergi) ke udik ( hulu sungai, pedalaman) 2. Pulang kampung halaman. Mudik atau pulang kampung sudah menjadi tradisi, dan 'mendarah-daging' pada sebagian masyarakat di indonesia. Fenomena silaturahmi, sebagian orang menulis silaturahim, dengan segala dinamika yang terdapat di dalamnya, yang dilakukan kaum urban-kota, tidak menghalangi niat suci mereka, untuk melaksanakannya. Bahkan rela bermacet-ria di jalanan hingga belasan jam. Sudah menjadi dinamika kehidupan, seperti siklus tahunan yang tak pernah lekang oleh zaman dan tak bosan untuk kita amati dari waktu ke waktu.
Bahkan disuatu daerah, ada seorang yang meninggal dunia di perjalanan mudik karena kelelahan. Untuk masalah ini, penulis berpendapat, sudah takdir. Waktunya sudah tiba, tanpa ada seorangpun yang akan  tahu, bahwa seorang pemudik, dalam perjalanan bisa meninggal. Ini harus menjadi catatan, semua stake holder yang terkait dengan urusan mudik.  Mengapa setiap kali mudik selalu terjadi kemacetan. Sejatinya perbaikan dan pelayanan terhadap masyarakat, khususnya pengguna jalan lebih ditingkatkan. Minimal bisa meminimalisir kemacetan yang kerap terjadi saat mudik, kalau belum bisa mengatasi secara komprehensif. Saya kurang paham apakah hal ini juga sudah menjadi ciri khas, bahwa mudik adalah identik denga macet atau bukan? Bahkan tetangga saya pernah bilang  ; bagaimana ya rasanya mudik, karena  istrinya masih satu kampung dengannya. Rumahnya hanya terhalang beberapa rumah tetangga. Makanya dia sangat ingin merasakan rasanya mudik. Ini unik dan aneh. Mudik menimbulkan kepenasaran bagi sebagian orang yang belum mengalami. Lika-liku dan  dinamika perjalanan yang penuh nuansa keagamaan, kebersamaan telah menghadirkan warna lain yang sulit diungkapkan dengan kata kata. Penulis pernah merasakan, perjalanan mudik " jadi-jadian". Karena perjalanan hanya menuju ke rumah kakak perempuan yang berada di Kota  Sukabumi. Subhanalloh, benar-benar perjalanan mudik itu nikmat. Bahkan dalam keadaan macet sekalipun. Alhasil pulang dari sukabumi, dengan kendaraan mobil, yang seharusnya ditempuh dalam waktu 6 jam saja, kamu lalui sekeluarga dengan waktu tempuh 12 jam. Perjalanan 12 jam ini setara dengan jarak antara Tasikmalaya -Jawa Timur jika memakai moda transportasi Kereta Api.
Ditinjau dari perspektif ekonomi, tradisi mudik menjadi salah satu alternatif-musiman pemerataan ekonomi. Â Muamalah yang digerakkan langsung oleh sesama masyarakat indonesia. Setiap orang yang pulang kampung, menjadi perantara penyebaran uang di kampung halaman masing-masing, di seluruh pelosok tanah air. Orang kota mengantri di loket penukaran uang baru, untuk oleh-oleh dibagikan bagi sanak saudara di kampung halaman mereka. Barang bawaan kardus berisi pakaian baru, makanan, kue dan yang lainnya, siap didistribusikan bagi mereka para kaum anshar atau penduduk kampung. Para muhajirin, orang-orang yang mudik, dengan wajah berseri dan sumringah campur dengan wajah kelelehan, tak menyurutkan mereka untuk bertemu-kangen dengan sanak saudara yang dirindukan. Amat menyenangkan dan penuh nuansa spiritual-ilahiyah yang menakjubakan.
Arus mudik yang rutin setiap tahun ini, sesuatu hal besar yang tak bisa dipandang sebelah mata. Hitung-hitungannya bagian menteri keuangan dan statistika. Secara hitungan kasar, jika seseorang membawa uang 2 juta samapi 5 juta rupiah per orang saja, kemudian ia berdayakan dan dibelanjakan, atau dibagikan bagi masyarakat dilingkungan dimana ia tinggal, sungguh merupakan menjadi penopang kekuatan yang menjadi penggerak ekonomi yang dahsyat bagi kehidupan terutama di perkampungan. Sehingga teman saya ada yang berseloroh; seandainya Iedul fitri datang tiap bulan.  Ini mustahil, tamanni ; khayalan yang tak mungkin terwujud. Saya maklum teman saya hanya bercanda. Tapi mungkin ia menganalisis dari kedahsyatan efek mudik tersebut. Berbaurnya para pemudik, sebagai kaum muhajirin atau para pemudaik, dan pribumi   sebagai kaum anshar atau pribumi, begitu khas, sulit dilukiskan dengan kalimat yang sepadan dengan keunikan mudik itu sendiri.
Maka boleh jadi, Â mungkin inilah salah satu yang mendasari, kenapa masyarakat kita begitu kuatnya keinginan untuk mudik atau pulang kampung. Selain cinta tanah air, cinta kampung halaman, rupanya rindu suasana lingkungan dimana kita dilahirkan, juga bersilaturahim, kepada mereka yang masih ahidup. Berziarah ke kuburan sanak saudara yang sudah meninggal. Orang tua, ayah dan ibu kita, adalah tujuan utama ziarah ke kampung halaman, jika mereka masih ada. Kalaupun sudah meninggal dunia.Berdo'a sekeluarga bagi mereka secara berjama'ah adalah nuansa keagamaan yang amat berharga dan sakral yang boleh jadi hanya terjadi setahun sekali.
Akhirnya penulis berasumsi, mudiklah selagi masih punya kampung halaman. Jika orang-orang yang terdekat kita sudah pergi mendahului kita, maka kerabat dan handai taulan kita, tetangga kita, masih merindukan kita, yang selama ini jarang bertemu dengan mereka. Rona kebahagiaan akan terpancar pada wajah-wajah kaum pribumi, yang sudah lama kita tinggalkan yang sejatinya kita juga bagian dari mereka, hanya beda tempat mencari nafkah dan kehidupan, mereka tetap merindukan kehadiran kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H