Beduk yang berdiri di teras masjid Jami itu sebenarnya sudah berumur tua. Ia disangga oleh empat kayu kokoh yang mulai dimakan rayap. Sealur dengan lingkaran beduknya yang mulai bolong dan dimakan rayap di sekeliling diameternya. Tak diketahui pasti siapa dan kapan pastinya beduk ini dibuat. Menurut cerita adalah hasil karya Kakek. Seumur yang Ahmad ingat, beduk ini sudah ada di mesjid ini. Sejak ia masih duduk di MI kelas 2. Diameternya tak kurang dari 2 meteran. Sehingga kalau ada anak yang duduk melingkar, akan cukup. Sehingga kadang-kadang beduk ini menjadi tempat favorit main petak umpet. Bila melihat ukurannya, berarti pohon untuk bahan beduk ini bukan main besarnya. Ketika ditanyakan kepada kakek, dari bahan kayu apa terbuat Beduk ini? Ternyata jawabannya dari kayu jati asli. Kayu papan atas yang punya keawetannya telah disepakati oleh para tukang kayu dan kaum awam dalam masalah perkayuan sekalipun.
Pantas saja, usianya masih bertahan hingga berpuluh-puluh tahun.Â
Masjid-masjid zaman sekarang jarang yang melengkapi perangkat masjidnya dengan beduk. Hanya di masjid-masjid tertentu yang menyimpan beduk sebagai perlengkapan'alat' komunikasi dan rangkaian 'ritual' keagamaan dalam prosesi Sholat juma'at.Â
Kembali ke bedug legendaris di masjid Al-Khairiyah.Â
Dari beberapa kejadian tak masuk akal,. hingga anak-anak pengajian yang iseng menabuh beduk ini. Beduk ini tetap menjadi ikon dan semaraknya ' suasana' religius di kampung ini. Apalagi di bulan Ramadhan. Memasuki malam takbiran biasanya kulit beduk ini diganti dengan yang baru. Karena biasanya pas satu tahun, kulitnya sudah robek-robek dibeberapa bagian.
Nyaris tak pernah istirahat beduk legenda ini bekerja, jiika sampai pada masa takbiran, baik Iedul Fitri atau 'Iedul Adha. beduk ini punya daya ' pesona' yang kuat. Punya daya tarik tersendiri yang menjadikan banyak orang penasaran untuk mencoba menabuhnya. Hingga banyak orang yang ngantri ingin 'beraksi ' dengan gaya pukulannya. Bahkan bisa berlanjut sampai waktu subuh, hingga sebelum azan berkumandang.
Kini, beduk itu telah tak ada ditempatnya lagi. Tinggal kenangan. Sayang, dulu belum ada banyak yang punya alat poto. Tukang Poto amatir sangat terbatas dan lakunkeras saat itu. Belum booming alat canggih, semacam hand phone seperti sekarang. Keberadaannya tak terdokumentasikan secara visual. Hanya dapat dibayangkan dan mengilustrasikan  bentuknya dengan ingatan, jika.merindukkan keberadaannya.
Seiring renovasi masjid yang arsitektur bangunannya sudah berubah bentuk jadi kekinian. Beduk itu, kini sudah menjadi sebuah kenangan tak terlupakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI