"Kata-kata adalah jembatan, tapi hati adalah landasan. Menulis bukan sekadar bercerita, tapi membangun kepercayaan." - Penulis
"Dear Diary, saya mampir lagi di 'ruang ini' sambil membawa secangkir kopi. Pagi menjelang siang ini saya membuka laptop, mencoba merangkai kata setelah kemarin merasa buntu. Tidak ada mood untuk menulis, masih shock. Tahu kenapa? Ini yang ingin saya ceritakan."
Sore kemarin, saya membuka Kompasiana seperti biasa. Ada rasa puas karena beberapa tulisan sebelumnya mendapatkan respons positif. Namun, tiba-tiba mata saya terpaku pada sebuah notifikasi: "Konten Anda yang berjudul 'Surat dari Presiden yang Tidak Diinginkan Elite' telah diturunkan."
Saat itu, saya terdiam, kaget bercampur bingung. Rasanya seperti melihat pintu yang saya buka dengan penuh semangat tiba-tiba tertutup begitu saja. Nelongso. Saya bertanya dalam hati, "Apa yang salah? Apakah saya tidak cukup hati-hati? Bukankah tulisan itu hanya refleksi fiksi tentang demokrasi?" Tapi, saya mencoba mengingatkan diri sendiri: aturan adalah aturan, dan saya harus memahaminya.
Saya tidak membiarkan perasaan itu menguasai terlalu lama. Setelah menenangkan diri, saya mulai memeriksa lagi bagian-bagian tulisan tersebut. Apakah ada kata-kata yang bisa disalahpahami? Apakah pesan saya terlalu provokatif bagi sebagian pembaca? Namun, di tengah kebingungan, ada dorongan dalam hati: "Jangan menyerah, coba sampaikan maksudmu dengan baik."
Tanpa menunggu lama, saya langsung mengajukan banding melalui form banding yang tersedia di chat. Poin yang saya sampaikan, "Ini adalah karya fiksi dengan tujuan inspiratif," tulis saya dalam penjelasan. "Bukan untuk memancing provokasi, melainkan untuk membuka refleksi." Saya menekan tombol kirim dengan perasaan campur aduk. Dalam hati, saya bergumam, "Semoga ini cukup jelas." Tapi rasa gelisah tetap saja menghantui. "Bagaimana jika mereka tetap menolak? Apa saya harus stop nulis? Masa iya?" pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepala.
Namun, prosesnya ternyata lebih cepat dari yang saya kira. Hanya beberapa jam kemudian, notifikasi baru muncul: "Konten Anda telah ditayangkan kembali."
Saya sempat bengong. "Serius nih?" batin saya. Rasanya seperti menarik napas panjang yang akhirnya bisa dihirup dengan lega. Saya tersenyum kecil, sambil berpikir, "Oke, ini pelajaran besar buat ke depannya."
Hari ini, saya melihat kejadian kemarin sebagai momen penting dalam perjalanan menulis saya. Tulisan adalah jembatan antara ide dan pembaca, dan saya harus memastikan jembatan itu kokoh, tidak menimbulkan salah paham, dan mampu membawa pesan yang bermanfaat. "Setiap penulis pernah salah langkah, tetapi mereka yang mau belajar akan terus bertumbuh," kata saya dalam hati. :)