Aku adalah daun yang ditiup waktu,
Terombang-ambing di antara jarak dan bayanganmu.
Namun, akar harapan ini tetap tertanam
Dalam tanah cinta yang tak mengenal gersang.
Jarak hanyalah lorong sunyi
Tempat rindu berbisik dalam gelap.
Ia menguji pijakan kita,
Tapi tak pernah mampu meruntuhkan langkah.
Aku mendengar gema dari kejauhan,
Seperti detak jam yang tak pernah berhenti.
Setiap detiknya membawa bisikan:
"Tunggu... kita sedang menuju temu."
Langit malam menjadi surat tanpa kata,
Dengan bulan sebagai tintanya,
Dan bintang sebagai tanda baca.
Aku menuliskan namamu di angkasa,
Menantikan saatnya kita membaca pesan ini bersama.
Rindu itu seperti sungai yang mengalir,
Ia tahu ke mana akhirnya bermuara.
Dan aku, seperti air yang bersabar,
Menunggu saat jatuh ke laut pelukanmu.
Kita adalah dua sisi cermin,
Yang saling memantulkan bayangan,
Meski dipisahkan oleh dinding waktu.
Namun, suatu saat nanti,
Cermin ini akan hancur,
Dan kita akan menjadi satu bayangan yang utuh.
Harapan ini adalah jembatan,
Yang dibangun dari doa dan keyakinan.
Tak peduli berapa kali badai mencoba menghancurkannya,
Aku tahu, jembatan ini akan membawa kita pulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H