SEJAK kasus pertama COVID-19 ditemukan pada awal Maret 2020 lalu, dampak sangat luar bisa terasa bagi dunia pendidikan kita. Kegiatan belajar mengajar di sekolah tidak berjalan normal dan terpaksa dilakukan dengan cara virtual. Bahkan, sebagian sekolah di wilayah terpencil yang tidak terdapat akses internet, sebagian mereka tidak bisa melakukan kegiatan belajar mengajar.
Pandemi COVID-19 yang hampir setahun di Tanah Air ini, memang sangat berdampak cukup besar juga pada sektor pendidikan. Banyak pihak menilai jika ketidaksigapan dan ketidakmampuan dalam menata pendidikan di era pandemi saat ini, dianggap sangat berbahaya.
Yang sangat dikhawatirkan saat ini adalah hilangnya generasi unggul Indonesia lantaran ketidakmampuan dalam menanganinya. Banyak para pakar menyatakan jika akibat sistem pendidikan yang tidak siap dan tidak sigap dalam menghadapi pandemi COVID-19, membuat Indonesia akan lost generation.
Istilah lost generation awalnya ditujukan untuk kelompok sosial yang mengalami kebingungan dan kehilangan arah pada awal pasca Perang Dunia I. Sekarang, istilah ini, kerap terdengar digunakan di masa pandemi COVID-19.
Alasan utama adalah jika pendidikan anak-anak yang sedang tumbuh kembang tidak terfasilitasi dengan baik, fenomena 'lost generation' benar-benar akan menjadi kenyataan. Sejumlah efek negatif alias dampak buruk yang dapat terjadi ketika siswa terlalu lama belajar secara daring (online) di rumah. Salah satunya, siswa dapat putus sekolah karena pembelajaran daring dianggap tidak maksimal.
Dampak negatif lainnya adalah pencapaian belajar siswa menurun karena pembelajaran jarak jauh tidak optimal dalam pencapaian belajar siswa. Saat ini terjadi kesenjangan kualitas antara yang punya akses ke teknologi dan yang tidak makin besar. PJJ secara daring, jelas menghadirkan persoalan bagi peserta didik. Selain soal jaringan internet, tidak sedikit peserta didik dari keluarga miskin juga belum memiliki ponsel atau laptop.
Bukankah, pemerintah telah memproyeksikan program menyongsong generasi emas 2045. Peta jalan menuju terwujudnya generasi emas tepat pada saat bangsa Indonesia merayakan hari ulang tahun kemerdekaan (HUT) ke-100 RI yang tengah dirancang. Pada 2045 itulah negeri tercinta akan menikmati bonus demografi. Generasi emas usia produktif yang berkarakter, berkompeten, dan berliterasi tinggi berlimpah.
Fenomenanya jika tantangan sosial ekonomi masih menjadi ancaman bagaimana potensi generasi muda dari "bonus" ini justru tidak termanfaatkan. Kekecewaan dan keterpinggiran karena tingginya ketimpangan ekonomi, minimnya kesempatan kerja, rendahnya kualitas pendidikan dan daya saing, bisa memberikan tekanan psikologis yang mendorong mereka membebani struktur masyarakat dengan rendahnya produktivitas dan tingginya konsumsi (Harmadi 2015, Hayes & Setyonaluri, 2015).
Seakan ingin menjawab tantangan ini, pemerintah pun telah mengevaluasi dan menerbitkan panduan tentang PTM. Namun, karena pandemi COVID-19 belum menunjukkan tanda-tanda melandai, semua pihak harus menempatkan kesehatan dan keselamatan jiwa peserta didik menjadi prioritas.
Kondisi nyata jelas berbeda ketika sekolah dilakukan dengan pembelajaran tatap muka, dan bersamaan dengan efektivitas PPKM skala mikro sampai dengan tanggal 22 Februari mendatang maka harus dievaluasi pula dampak dari lemahnya sektor pendidikan. Sebab, jelas mengakibatkan anak-anak terancam dan masih ada yang tidak mendapatkan fasilitas dan layanan pendidikan dengan baik.