Di Indonesia, koperasi merupakan organisasi bisnis yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan bersama diantara anggotanya. Undang-undang Perkoperasian nomor 25 tahun 1992, menyatakan bahwa Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum Koperasi, dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus Gerakan Ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
Kebutuhan bersama, dibidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi. Dengan demikian, kedududukan anggota sangat strategis dalam pengembangan masyarakat Koperasi. Anggota selanjutnya memilih dan menunjuk pengelola dan pengawas yang akan menjalankan aktivitas Koperasi.
Status khusus tersebut merupakan identitas Koperasi dimana anggota memiliki identitas ganda atau prinsip ganda anggota (dual identity). Apabila identitas ganda dari anggota Koperasi tersebut hilang, maka hilang pula ciri perusahaannya sebagai Koperasi.
Oleh sebab itu, dalam Koperasi berlaku prinsip-prinsip : a) rapat anggota merupakan kekuasaan tertinggi dari Koperasi, b) satu anggota satu hak suara tanpa melihat besar kecilnya kontribusi modal masing-masing dalam Koperasi; c) manajemen Koperasi bersifat terbuka serta dilengkapi dengan prinsip-prinsip Koperasi.Â
Namun demikian, para pakar dan pengamat Koperasi mengungkapkan bahwa meskipun Koperasi memiliki landasan hukum yang kuat, Koperasi seringkali dijadikan objek pembangunan dan dipolitisasi. Sehingga pada akhirnya prinsip-prinsip Koperasi tidak pernah dilaksanakan secara murni dan konsekuen sesuai jatidiri Koperasi yang diakui secara universal
Di sisi lain, pergeseran paradigma Koperasi dari yang tradisional berbasis melayani anggota menjadi Koperasi yang melayani komunitas yang lebih luas atau yang diistilahkan dengan Koperasi pihak ketiga (Third Party Cooperatives), kini menjadi fenomena yang terdapat di sejumlah negara sebagaimana ditulis oleh Hatak, Lang & Roessl (2015 : 4).Â
Penelitian yang dilakukan oleh Lang & Roessl (2011) di Austria dan Jerman, Lorendahl (1996) di Swedia, dan Sommerville (2007) di Inggris, menunjukkan bahwa fenomena Koperasi pihak ketiga kini semakin berkembang sekaligus menunjukkan terwujudnya keuntungan ekonomi, sosial, serta psikologis untuk penduduk lokal dari meningkatnya peluang interaksi sosial serta tindakan sukarela dan peluang kerja dalam skala yang kecil.Â
Fenomena ini memang dapat menjadi peluang dan tantangan bagi Koperasi, khususnya dalam memberikan pelayanan kepada anggota sekaligus berkontribusi dalam penciptaan kehidupan komunitas atau masyarakat yang lebih baik.Â
Hatak, Lang & Roessl (2015 : 5) berargumen bahwa Koperasi pihak ketiga merupakan representasi hibrida antara Koperasi tradisional dengan organisasi non profit yang dikombinasikan dalam bentuk organisasi.
Berbagai pendekatan teoretis sosial-ekonomi tentang Koperasi biasanya menggarisbawahi dua konsep krusial dalam rangka memahami organisasi Koperasi. Hatak, Lang & Rossel (2015 : 5) sebagaimana mengutip Draheim (1952), Nilsson & Hendrikse (2011), Toennies (1963), Valentinov (2004) berpendapat bahwa di satu sisi Koperasi berkaitan erat dengan kepercayaan sebagai mekanisme, sementara di sisi lain Koperasi sering didefinisikan sebagai organisasi yang membangun modal sosial. Kedua konsep di atas sesungguhnya beresonansi kepada output yang sama yakni, loyalitas anggota Koperasi maupun, pengguna jasa Koperasi secara lebih luas.Â
Dalam konteks Koperasi di Indonesia, masih banyak Koperasi yang belum mampu melayani kebutuhan anggotanya sehingga berdampak pada rendahnya loyalitas anggota, serta beralihnya anggota Koperasi ke lembaga ekonomi lain untuk memenuhi kebutuhannya.Â