Jalan Panjang Sebuah Perundingan
Kata Dongi itu diambil dari nama buah dengeng, buah masam yang pohonnya banyak tumbuh di hutan-hutan wilayah Luwu Timur. Menurut sejarah masyarakat Dongi, moyang mereka dahulu bertempat tinggal di sekitar hutan yang bayak di tumbuhi pohon dongi, dan mereka melakukan kehidupan sistim bercocok tanam.
[caption id="" align="alignnone" width="599" caption="Keindahan Danau Matano, Sorowako (Sumber foto: http://thomalili.files.wordpress.com/2007/08/pantai-ide1.jpg)"][/caption]
Suku Dongi merupakan anak suku dari Karonsi`e. Tanah dan wilayah asal masyarakat adat Karonsi`e, adalah Witamorini, yang terletak di sebelah Barat laut Wasuponda sekitar 10 km dari Sorowako. Dalam perjalanannya tanah Witamorini ini diubah namanya menjadi tanah Karonsi`E . Witamorini dalam bahasa setempat, berasal dari dua suku kata, yaitu Wita dan Morini, yang berarti tanah yang damai nan subur. Sedangkan Karonsi`e juga berasal dari dua suku kata, yaitu Karo yang berarti Utama dan Si`e yang berarti Lumbung (yang berarti Lumbung Utama).
Pada masa kejayaan adat Karonsi’e, masyarakat tidak pernah kekurangan pangan. Hal ini karena ditunjang tanah tempat tinggal mereka yang terkenal subur. Bagi masyarakat Dongi, keberadaan lahan sebagai tempat bercocok tanam sangatlah penting bagi mereka. Sebab sumber kehidupan utama mereka yakni dengan bertani dan berkebun.
Hal itu juga berdampak ketika lahan leluhur mereka telah dikuasai oleh perusahaan tambang PT Inco. Mereka menilai, penguasaan lahan leluhur mereka itu adalah bentuk pengambil alihan sepihak, yang mengancam kehidupan mereka.
Namun, hal itu ditepis oleh PT Inco. Menurut manajemen perusahaan tersebut, penguasaan lahan di Sorowako merupakan bentuk tindak lanjut dari Kontrak karya PT Inco dengan Pemerintah pada tahun 1968. Pihaknya juga mengaku telah melakukan kerja sama secara informal dengan masyarakat Dongi dan Pemda Luwu Timur untuk mencari menyelesaikan masalah soal lahan tersebut dengan asas saling menguntungkan.
Bahkan, telah terjalin kesepakatan membentuk sebuah tim khusus untuk menyelesaikan masalah klaim tanah bersejarah tersebut dengan melibatkan perwakilan dari PT Inco, masyarakat Dongi dan pemerintah daerah sesuai dengan keputusan Bupati Luwu Timur Nomor 112.A Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian Permasalahan Masyarakat Dongi dengan PT Inco.
Perundingan pun dilakukan, namun berujung pada perpecahan masyarakat Dongi dalam mencapai kesepakatan bersama. Di satu sisi, ada kelompok masyarakat Dongi berkeras untuk tetap menguasai lahan mereka yang ada di Kampung Baru, sementara di sisi lain, ada juga yang sepakat dengan relokasi.
Dalam perundingan, akhirnya disepakati untuk dilakukan relokasi ke lahan baru di Desa Ledu-Ledu, Kecamatan Wasuponda. Kesepakatan ini ditolak oleh sebagian warga yang bersikeras untuk menetap di tanah yang dinilai bersejarah itu.
Werima, salah seorang warga Dongi mengatakan dirinya akan tetap mempertahankan tanah leluhur mereka di Kampung Baru itu. Menurutnya, pihaknya bukan mempermasalahkan persoalan ganti rugi lahan atau relokasi, melainkan yang diharapkan adalah pihak PT Inco bisa menghargai kearifan-kearifan lokal dari masyarakat adat terlebih potensi yang bisa di kembangkan seperti pertanian, perternakan, dan perkebunan.
Ralmi Laduri, salah seorang warga Dongi yang sepakat untuk pindah ke lokasi baru menuturkan saat ini sudah ada sekitar 20 kepala keluarga yang tinggal di lahan baru itu. Menurutnya, pilihan untuk tinggal di lahan baru karena merupakan kesepakatan bersama sesuai hasil perundingan antara warga, PT Inco dengan Pemerintah. ()
Baca Bagian Satu DISINI
Baca artikel serupa DISINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H