Tahap normalitas manusia dalam menyikapi perbedaan menjadi penting, disamping dapat menimbulkan konflik dan krisis kemanusiaan ia juga menjadi sorotan sikap nasionalisme sebagai bentuk tumbuh-kembang kebersamaan. Seperti terjadi dalam perayaan Idul Adha di desa Gesing, Temanggung. Tidak ada pembagian daging qurban antar masyarakat lintas agama. Di desa tersebut terdapat 5 RT. Satu RT berisi umat Islam (RT dua) dan 4 RT lainnya berisi umat Kristen. Pun begitu tidak ada unsur kesengajaan pembagian wilayah berdasarkan agama, hanya saja dalam RT 2 mayoritas adalah masyarakat beragama Islam, dan 4 RT lainnya dimayoritasi oleh masyarakat Kristen.
Dalam kaca mata nasionalisme, negara, dalam hal ini seperti petugas kesehatan hewan maupun kepala RT/RW tidak dilibatkan, karena sudah menjadi adat dari dahulu bahwa yang menjadi pengelola qurban adalah sekumpulan pemuda yang telah ditunjuk masyarakat sebagai panitia pengelola hewan qurban tersebut.
Namun begitu, tidak ada pembagian daging qurban untuk masyarakat Kristen, dan ini sama sekali tidak menunjukkan sikap intoleransi dalam masyarakat desa Gesing. Justru hal uniknya adalah demikian, masyarakat Kristen desa Gesing sudah maklum jika itu menyangkut Iduladha, mereka tahu bahwa itu adalah kesunnahan yang dilakukan umat Islam.Â
Menurut hemat penulis, kondisi yang tercerminkan seperti di atas adalah bentuk toleransi umat Kristen tersendiri yang diwujudkan bermasyarakat melalui Iduladha. Kendati demikian, lebih lanjut Pak Sumarno (65), selaku mantan lurah sekaligus tokoh agama, menerangkan bahwa dari segi sosial kemasyarakatan tidak ada yang dapat mengalahkan mereka dengan baurnya masyarakat Islam-Kristen. Misalnya ada pembangunan masjid, hari raya Idul Fitri, nyadran, dan lain-lain yang berhubungan dengan tradisi antar agama selain idul adha, mereka antusias bahu-membahu dan saling membantu satu sama lain.
Selanjutnya diafirmasi oleh bapak Darno (55) sebagai masyarakat Kristen yang tinggal di desa Gesing, mengaku tidak ada unsur ataupun rasa terintimidasi sedikitpun terhadap kebijakan perayaan idul adha oleh masyarakat Islam tersebut, yang terpenting adalah kerukunan dan kerjasama tetap terjaga.
Salah satu kerukunan masyarakat terkait perayaan idul adha di desa Gesing tersebut, tercermin dalam suasana penyembelihan hewan qurban. Banyak anak-anak kecil yang ikut menonton dan riah dengan ikut merekam dengan smartphonemasing-masing. Mereka terlihat gembira bisa menyaksikan pemotongan kambing-kambing sekaligus pengkulitannya.
Adalah karena komparasi masyarakat Islam-Kristen berbanding tidak seimbang kuantitasnya, maka barang tentu secara norma bisa dipahami jika daging tidak sampai dibagi ke masyarakat Kristen. Andai saja daging qurban bisa mencukupi dibagikan ke masyarakat Kristen, maka pasti akan dibagikan, begitu ungkap bapak Sumarno. Agama tidak melarang ke ranah sosialita yang seperti itu, namun karena keadaan, sekali lagi terwujudlah ketoleransian yang seperti di atas.
Lain dari masyarakat desa Gesing, penulis melakukan pengamatan kedua di dusun Wirodono, kurang lebih sekitar 10 kilo meter dari Gesing, masih termasuk Kab. temanggung. Dalam dusun tersebut, sistem pengelolaan qurban sudah dikemas sangat apik. Penyembelihan qurban dijadikan satu tempat dan diatur oleh ketua RT masing-masing, sehingga aparatur negara di sini juga terlibat. Di lain sisi, masyarakat dusun Wirodono memang keseluruhan beragama Islam, namun terbagi menjadi NU dan Muhammadiyah. Relasi kekuasaan-rakyat tergambar jelas dalam dusun ini, berjalan teratur dan saling memahami satu sama lain.
Dalam memahami perbedaan dua desa tersebut, perlu dimengerti bahwa aspek adat istiadat menjadi pengaruh penting dalam membuat sebuah kebijakan. Semisal masyarakat Gesing yang menjadikan pemuda tanpa adanya keterlibatan kepala RT dalam panitia qurban. Berbeda dengan masyarakat dusun Wirodono, memang kepala RT menjadi panitia tetapi juga berasal dari tunjukan masyarakat. Hal ini sangat kental dipengaruhi oleh adat dan budaya masyarakat setempat.
Perspektif di atas menawarkan kepada kita tentang hidup rukun dan berdampingan satu sama lain, walau lintas agama sekalipun. Bahwa keberagaman memberikan manfaat yang besar terhadap kebersamaan. Wujud toleransi bukan hanya bisa dipandang melalui satu perspektif saja, semisal Islam yang mebagikan dianggap toleran dan yang tidak membagikan ke masyrakat Kristen dianggap intoleran. Namun berkaca pada fakta yang ada di desa Gesing, justru wujud toleransi digambarkan oleh masyarakat Kristen sendiri yang mengerti dan paham betul tentang idul adha sebagaimana disunnahkan dalam Islam dan koridor pembagiannya yang dimengerti dalam konteks masyarakat Gesing. (AP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H