Mohon tunggu...
Andreas Agung Pamungkas
Andreas Agung Pamungkas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional 2019, Universitas Sriwijaya

..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Cyber Diplomacy : Sebuah Strategi Menghadapi Cyber Conflicts

30 November 2021   11:30 Diperbarui: 30 November 2021   12:42 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Cyber space

Kemajuan internet menciptakan pengalaman interaksi yang mudah melalui jaringan. Dengan kata lain, individu dapat melakukan banyak aktivitas tanpa harus beranjak dari perangkat teknologi yang digunakannya. Kebiasaan ini semakin meningkat sejak terjadinya pandemi covid – 19, yang menyebabkan banyak aktivitas beralih ke ranah digital. Oleh karena itu, ranah siber atau cyber space dianggap sebagai ranah baru dalam kerangka interaksi politik internasional setelah darat, laut, udara dan luar angkasa (Craig & Valeriano, 2018).

Hal  tersebut menimbulkan dilema karena seperti banyak hal di dunia yang selalu memberikan dampak positif -sekaligus negatif, kemudahan ini juga membuka potensi ancaman kejahatan melalui dunia maya. Berbeda dengan ancaman dari segi tradisional (militer, dsb), yang cenderung memerlukan biaya, tenaga dan waktu lama, siber dianggap dapat menjadi alat baru yang menjanjikan serta mampu mengancam kedaulatan sebuah negara. 

Hal ini telah menjadi sasaran perhatian bagi para akademisi, khususnya para ahli hubungan internasional dikarenakan pelaku kejahatan siber lebih sulit diketahui dan proses pengidentifikasian pelaku yang berlapis - lapis. Selain itu, dalam beberapa kasus kejahatan siber, motif kejahatan pelaku masih menimbulkan ambiguitas terkait apakah berangkat demi kepentingan pribadi atau ada keterlibatan pemerintahan lain.

   

Mengenal Kejahatan di Cyber Space

Interaksi yang terjadi melalui cyber space memungkinkan antar individu berkomunikasi dengan menyamarkan identitas aslinya (anonymous). Kita tidak perlu merasa insecure saat berinteraksi dengan orang asing. Cukup memasang foto profil (dengan editing sedemikian rupa), kita dapat berinteraksi tanpa perlu merisaukan otentikasi diri. 

Ditambah, sifat interaksi via jaringan ini tidak dibatasi wilayah, maupun negara, sehingga kita tidak perlu repot – repot mengurus estimasi waktu, biaya, ataupun segala bentuk repot lainnya sekedar untuk berinteraksi dengan seseorang. Dengan kemajuan teknologi dan informasi ini, seseorang tentu dapat melakukan segala urusannya secara fleksibel. Hal ini mendorong perubahan pola hidup manusia bahkan ke segala aspek kehidupan seperti pendidikan, ekonomi, politik, budaya, serta aspek lainnya.

 Kemudahan – kemudahan dan segala fleksibilitas yang ada di internet ini kemudian juga turut memberikan inovasi pada bidang kejahatan. Kejahatan bentuk kuno yang terjadi di dunia fisik ikut mentransformasikan diri ke dalam cyber space. Pada awal perkembangannya, pelaku kejahatan di cyber space ini memanfaatkan ketiadaan hukum di wilayah yang menjadi sasaran kejahatannya dan hanya menyebabkan dampak ringan. Kemudian, dalam tahap perkembangannya muncul beberapa istilah yang digunakan untuk menyebutkan kejahatan di cyber space ini.

Hemat penulis, kejahatan tersebut adalah cyber attack, cyber crime, dan cyber warfare. Menurut (Tampubolon, 2019), terdapat perbedaan dalam pengklasifikasian istilah kejahatan ini.

Cyber Attack

Dalam beberapa dekade terakhir, istilah cyber attack bukan merupakan istilah asing. Cyber attack dapat didefinisikan sebagai bentuk serangan yang dilakukan di domain siber. Dengan kata lain, cyber attack ini menjadi metode/ cara yang digunakan untuk mengantarkan pelaku kejahatan dalam melakukan kejahatan cyber crime atau cyber warfare. Untuk melakukan cyber crime atau cyber warfare, pelaku kejahatan harus terlebih dahulu melakukan cyber attack.

Cyber Crime

Kejahatan cyber crime merupakan transformasi bentuk kejahatan konvensional (pencurian, penipuan, pornografi, dsb) ke ranah cyber space. Namun, terdapat pula cyber crime yang merupakan bentuk baru, dimana tidak terjadi di ranah fisik seperti spionase, sabotage, cracking, dan sebagainya.

Cyber Warfare

Sedangkan cyber warfare merupakan perkembangan dari cyber attack sekaligus cyber crime. Dapat diartikan bahwa cyber warfare ini merupakan bentuk transformasi dari perang konvensional ke perang di dalam cyber space. Istilah cyber crime dan cyber warfare tidak dapat dengan mudah dipisahkan, karena dalam kejahatan cyber warfare terdapat cyber crime. Kekhasan dari cyber warfare adalah adanya aksi – reaksi antar pelaku.

 Menurut (Perkovich & Levite, 2017) pada era siber ini, dapat dibayangkan bagaimana di dunia yang terdigitalisasi dan terjalin secara jaringan saat ini dapat menyebabkan gangguan besar – besaran melalui serangan siber dan tantangan serupa lainnya. Bentuk kejahatan di dunia siber ini kemudian berpotensi menyebabkan cyber conflict. Cyber conflict dapat didefinisikan sebagai penggunaan teknologi komputer dan lainnya dalam cyber space untuk tujuan jahat dan berbahaya dalam rangka memberikan dampak, mengubah atau memodifikasi interaksi diplomatik dan militer antara entitas (Valeriano & Maness, n.d).

Ada beberapa hal yang menjadikan serangan siber dapat berdampak besar terhadap keamanan suatu negara ataupun kawasan. Hal tersebut berupa celah alami yang menjadikan suatu serangan siber menjadi efektif. Secara umum efektifitas serangan siber ditunjang oleh means dan vulnerability (Setiyawan, n.d). Means dapat diartikan sebagai rentannya sumber daya manusia di suatu negara terhadap penguasaan teknologi, sehingga menyebabkan rendahnya kontrol keamanan siber di negara tersebut. 

Means juga diartikan sebagai sarana penunjang pelaku cyber crime untuk mendapatkan akses peralatan untuk menyerang. Kemudian vulnerability merupakan tingkat ketergantungan ekonomi dan militer suatu negara dalam menggunakan jaringan teknologi informasi maupun komunikasi. Semakin tinggi tingkat ketergantungan suatu negara, maka pada saat pelaku kejahatan melancarkan aksinya, gangguan yang akan ditimbulkan terhadap jaringan tentu akan mengganggu produktifitas negara tersebut.

Peran Negara dalam Meningkatkan Cyber Security

Cyber security dapat dimaknai sebagai usaha untuk menciptakan keamanan serta perdamaian interaksi di ranah cyberspace. Ancaman di ruang siber telah menggeser isu keamanan tradisional. 

Bahkan menurut Sekretaris Jenderal Persatuan Komunikasi Internasional (ITU) PBB yang bernama Dr. Hamadoun Toure ,memberikan peringatan terkait potensi ruang siber sebagai ranah perang dunia selanjutnya (Hamonangan & Assegaff, 2020). Oleh karena itu, sudah seharusnya negara meningkatkan cyber security guna melindungi kedaulatan dan kepentingan nasionalnya.

  Adapun menurut Global Security Index (GCI), ada 5 pilar yang dapat digunakan untuk menilai serta mengukur komitmen negara terhadap keamanan siber (Islami, 2017):

1.Legal (hukum), diukur dari keberadaan institusi yang legal dan framework mengenai keamanan siber

2.Technical, diukur berdasarkan keberadaan institusi secara teknis serta penerapan teknologi

3.Organizational, diukur berdasarkan koordinasi antara pembuat kebijakan dan pengembangan strategi terkait keamanan siber

4.Capacity Building, diukur berdasarkan penelitian-pengembangan, pendidikan-program pelatihan, profesional dan aparatur yang memiliki sertifikat.

5.Cooperation, diukur dari adanya partnership, bingkai kerjasama dan information sharing network (ITU, 2017).

Indonesia sendiri telah menerapkan berbagai kebijakan dan usaha-usaha terkait komitmennya dalam meningkatkan cyber security. Salah satunya dengan membentuk badan resmi yang berfokus pada penanganan terkait cyber space. Badan resmi tersebut adalah Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN) (Primawanti & Pangestu, n.d). Dimana BSSN dianggap sebagai tameng utama dalam menghadapi cyber conflict yang terjadi di Indonesia.

Namun tidak lama saat penulisan essay ini, beberapa situs pemerintahan Indonesia mengalami peretasan. Peretasan ini diduga terjadi pada Rabu tanggal 20 Oktober 2021 (CNN Indonesia, 2021). Badan institusi siber dan sandi negara (BSSN) serta situs kepolisian Republik Indonesia berhasil diretas oleh hacker yang berasal dari Brazil. 

Selain itu, 5 sub domain web badan pengkajian dan pengenalan teknologi (BPPT) juga diretas. Peretasan BSSN tersebut kemudian dibalas oleh hacker asal Indonesia, yang meretas balik beberapa situs pemerintahan Brazil (Zuhad, 2021). Tindakan ini tentu berpotensi memicu cyber conflict dan mengganggu hubungan diplomatik kedua negara. Walaupun motif masing-masing pelaku masih kabur, Indonesia memerlukan langkah tegas dalam merespons kasus ini.

Peningkatan Cyber Security Secara Self-Help Tidak Cukup

Pada sub-bab sebelumnya, penulis telah memberikan informasi mengenai pilar meningkatkan cyber security. Peningkatan keamanan siber melalui pilar legal, technical, organizational, dan capacity building memerlukan waktu yang lebih lama dibanding cooperation. Sedangkan, urgensi kasus siber yang dibiarkan terlalu lama dapat memicu perang siber karena dapat dilakukan oleh negara maupun aktor non negara. 

Motivasi rasa nasionalisme akan memicu setiap aktor untuk melakukan peretasan balasan terhadap lawan. Ditambah, menurut Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSRec Pratama Persadha, setiap data dalam dunia keamanan siber tidak pernah berada dalam status 100 persen aman (CNN Indonesia, 2021). Beliau menambahkan bahwa situs penting setingkat FBI dan NASA juga pernah diretas.

Cyber Diplomacy Sebagai Strategi yang Ditawarkan dalam Studi HI

Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan cyber security suatu negara, sebaiknya diiringi dengan meningkatkan pelaksanaan cyber diplomacy. Adapun pengertian cyber diplomacy adalah pembangunan kemitraan strategis secara multilateral untuk meningkatkan tindakan kolektif dan kerjasama melawan ancaman bersama di domain siber (Painter, 2018). Sederhananya, diplomasi siber ini dapat dimaknai sebagai penggunaan fungsi diplomasi untuk mewujudkan kepentingan di dalam jaringan (Barrinha & Renard, 2017). Sekilas cyber diplomacy mirip dengan cyber digital, namun sebenarnya kedua terminologi ini memiliki perbedaan. Berbeda dengan cyber diplomacy, cyber digital dapat dimaknai sebagai penggunaan instrumen digital untuk melakukan diplomasi (Attatfa, 2020).

Penggunaan cyber diplomacy untuk mengatasi ancaman di ruang siber dapat dilihat dari 2 fungsi utamanya (Hamonangan & Assegaff, 2020). Pertama, sebagai alat komunikasi untuk membangun norma bersama. Kedua, sebagai upaya meminimalkan gesekan di cyber space. Terdapat banyak capaian cyber diplomacy yang pernah diperoleh Indonesia. 

Satu diantaranya adalah kontak poin (point of contacts). Kontak poin diusulkan untuk mempermudah komunikasi antar negara (khususnya di ASEAN) yang juga menghadapi isu cyber security (Primawanti & Pangestu, n.d). Gagasan mengenai kontak poin ini telah diterima serta disepakati, yang kemudian dituangkan dalam dokumen ASEAN Regional Forum Workplan on Security of and in the Use of Information and Communications Technologies (ICT’s).

Kontak poin ini pernah meredam ketegangan di ranah cyber space antara Indonesia dan Australia. Saat itu, Indonesia pernah hendak mengeksekusi mati pengedar narkoba yang berasal dari Australia. Australia yang merasa keberatan atas vonis tersebut kemudian melakukan serangan siber kepada beberapa situs resmi milik Indonesia. Hal ini kemudian direspons Indonesia dengan melakukan peretasan balik terhadap situs resmi milik Australia. Aksi ini serupa dengan kasus Indonesia – Brazil saat ini. Namun saat itu, cyber conflict antara Indonesia dan Australia, yang hampir mengakibatkan cyber warfare berhasil diredam melalui kontak poin.

Berdasarkan capaian yang diperoleh melalui strategi cyber diplomacy, penerapan diplomasi ini dirasa cocok untuk mengatasi ketegangan antara Indonesia-Brazil. 

Oleh karena itu dalam kasus ini, baik pemerintah Indonesia maupun Brazil harus melakukan dialog dan menciptakan atmosfer damai di kedua negara. Hal ini bertujuan untuk membentuk sentimen persahabatan antara masyarakat agar menghentikan peretasan yang dapat mencoreng kedaulatan masing-masing negara. Tidak hanya dalam kasus ini, penerapan cyber diplomacy sebaiknya dilakukan setiap negara guna menghadapi atau mencegah potensi cyber conflict dalam ranah cyber space.

*Tulisan ini bersifat opini pribadi dalam kerangka mata kuliah Kajian Strategi dalam Ilmu Hubungan Internasional. Segala bentuk kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan mungkin masih terdapat pada tulisan. Oleh karena itu, penulis meminta maaf apabila masih ditemukan banyak kekurangan. Penulis juga berharap agar pembaca dapat memberikan kemakluman atas dasar proses pembelajaran pribadi. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat. –ASAP

Referensi

Attatfa, A. e. (2020). Cyber Diplomacy: A Systematic Literature Review. Procedia Computer Science 176 , 60-69.

Barrinha, A., & Renard, T. (2017). Cyber-diplomacy: the making of an international society in the digital age. Global Affairs Vol.3 , 353-364.

CNN Indonesia. (2021, Oktober 25). Pengamat Kritik BSSN: Harusnya Jadi Institusi Paling Aman. Retrieved November 30, 2021, from cnnindonesia.com: https://www.google.com/amp/s/www.cnnindonesia.com/teknologi/20211025182553-185-712179/pengamat-kritik-bssn-harusnya-jadi-institusi-paling-aman/amp

CNN Indonesia. (2021, Oktober 26). Sittus BSSN Diduga Sudah Diretas Hampir Sepekan. Retrieved November 30, 2021, from cnnindonesia.com: https://www.google.com/amp/s/www.cnnindonesia.com/teknologi/20211026073327-185-712307/situs-bssn-diduga-sudah-diretas-hampir-sepekan/amp

Craig, A., & Valeriano, B. (2018). Realism and Cyber Conflict: Security in the Digital Age. E- International Relations. ISSN 2053-8626 , 1-11.

Hamonangan, I., & Assegaff, Z. (2020). Cyber Diplomacy: Menuju Masyarakat Internasional Yang Damai di Era Digital. Padjadjaran Journal of International Relations Vol 1 No 3 , 311-332.

Islami, M. J. (2017). TANTANGAN DALAM IMPLEMENTASI STRATEGI KEAMANAN SIBER NASIONAL INDONESIA DITINJAU DARI PENILAIAN GLOBAL CYBERSECURITY INDEX. Jurnal Masyarakat Telematika dan Informasi Volume: 8 No 2 , 137-144.

ITU. (2017). Global CyberSecurity Index 2017. International Telecommunication Unit .

Painter, C. (2018, Juni). Diplomacy in Cyberspace. Retrieved November 30, 2021, from afsa.org: https://afsa.org/diplomacy-cyberspace

Perkovich, G., & Levite, A. E. (2017). Understanding Cyber Conflict: Fourteen Analogies. Washington D.C: Georgetown University Press.

Primawanti, H., & Pangestu, S. (n.d). Diplomasi Siber Indonesia Dalam Meningkatkan Keamanan Siber Melalui Association Of South East Asian Nation (ASEAN) Regional Forum. 1-15.

Setiyawan, A. (n.d). Penguatan Kerjasama Cyber Defense ASEAN Guna Menghadapi Ancaman Cyberwar. Proseding Call For Paper ISBN: 978-602-19681-6-1 , 322- 332.

Tampubolon, K. E. (2019). Perbedaan Cyber Attack, Cybercrime, dan Cyber Warfare. Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2 , 539-554.

Valeriano, B., & Maness, R. C. (n.d). What Do We Know about Cyber Conflict? Scope, Impact, and Restraint in Cyberspace. Chicago: University of Glasgow and University of Illinois.

Zuhad, A. (2021, Oktober 26). Perang Hacker Indonesia vs Brazil, Pengamat Ingatkan Jangan Dianggap Remeh. Retrieved November 30, 2021, from kompas.tv: https://www.kompas.tv/amp/article/225364/videos/perang-hacker-indonesia-vs-brazil-pengamat-ingatkan-jangan-dianggap-remeh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun