"Ya... nggak papa Pak, hehe."
"Sudahlah Le, kamu harus belajar untuk merelakan. Sampai kapan ibumu akan merahasiakannya?"
"Merahasiakan apa maksudnya Pak Jo-"
Bruk! Perahu yang sedari tadi berombang-ambing tiba-tiba berhenti dengan kasar. Saya kebingungan, begitu pula Pak Joko. Namun beberapa saat kemudian, angin darat berhembus dengan sangat kencang dan melepaskan perahu kami dari jeratan aneh tadi. Pak Joko tidak terlihat panik, jadi tak kutemukan alasan untuk merasa demikian. Aneh, kakiku terasa dingin.
Pak Joko berdiri dan mengambil jala yang sudah ia siapkan tadi. Kami berdua melempar jaring lebar itu ke lautan yang luas. Rasanya seperti ada yang menjanggal, kaki ini terasa sangat basah. Penasaran, saya melihat ke bawah. Air-air menggenangi badan perahu, tidak terlalu tinggi, namun tidak wajar.
"Pak, kok di sini banyak air?"
"Ya jelas lah Le, wong ini laut."
"Bukan Pak, maksud saya di lantai perahu."
Pak Joko melihat ke bawah, dan nampak kaget. "Le, kayaknya perahunya bocor!"
"Lho kok bisa Pak?!"
Lubang yang awalnya hampir tak terlihat menghasilkan bunyi krek yang pelan, air laut semakin menggenang. Perahu yang kami tumpangi perlahan-lahan karam. Pak Joko menyuruh saya untuk melompat dari perahu dan berenang.