"Maaf Bu, apapun yang terjadi, jangan percaya dengan ucapanku," adalah kalimat yang ingin kusampaikan kepada ibuku apabila waktu dapat terulang kembali. Kembali ke dua tahun yang lalu, di mana awal perubahanku muncul, membuatku menjadi insan yang lebih baik.
***
Hari itu hari Jumat. Hari di mana kami, sebagai siswa sekolah ini, pulang lebih siang dibandingkan hari-hari lainnya. Cuaca yang panas membuatku ingin segera pulang. Terlebih lagi, pelajaran matematika yang sulit dipahami ini membuat otakku setengah terlelap.
Tiba-tiba, teman sebangkuku, Mai, berbisik, "Eh Va, gimana kalo besok kita nonton di bioskop? Bareng Claris sama Nia juga!"
"Bioskop...? Aku nggak tau dibolehin atau enggak sama Ibuku," balasku mengantuk.
"Ayolah! Bilang aja mau kerja kelompok, pasti dibolehin. Percaya deh!"
"Iya juga ya. Oke, kucoba nanti."
Mai kembali menatap layer ponselnya, memilih film apa yang seru untuk ditonton besok. Aku mengintipnya, beberapa film yang tayang di bioskop bulan ini tampak tak ramah untuk anak seumuran kami. Jujur saja, aku tidak suka menonton film-film roman picisan seperti itu. Tapi aku akan mengikuti pilihan mereka saja.
Tak lama kemudian, ponselku terdengar ramai. Banyak sekali notifikasi bermasukan. Aku menyalakan ponselku dan melihat bahwa Mai baru saja membuat group chat beranggotakan aku, Mai, Claris, dan Nia, yang digunakan untuk membahas rencana menonton bioskop esok hari. Mereka terlihat asyik sekali berbincang-bincang di group chat.
Aku hanya membaca saja. Tampaknya, film yang mereka pilih adalah film romansa berjudul "Andaikan Aku". Aku tak tahu film apa itu, tapi kusetujui saja.
***
Malam, pukul 07:09. Ibuku baru saja pulang dari kantornya. Aku sedikit gugup, aku akan berbohong kepadanya. Meskipun sudah sering kulakukan---berbohong, aku tetap merasa gugup setiap kali aku akan berbohong kepada ibuku.
"Bu, besok Ava ada k-kerja kelompok," ucapku, sedikit gagap.
"Di mana?" jawab Ibu.
"Di rumah Mai, Bu."
"Rumah Mai? Rumahnya sedikit jauh kan? Besok Ibu antar saja ya. Sampai jam berapa?"
Gawat. Aku tidak tahu kami akan menonton sampai jam berapa.
"Em... Jam t-tiga," ucapku panik.
"Nanti Ibu jemput sekitar jam tiga lewat sepuluh, ya."
***
Jam tiga lewat sepuluh. Jam tiga lewat sepuluh. Otakku dihantui oleh kalimat itu. Ketika kusadari, mobil Ibu telah berhenti di depan rumah Mai. Aku berpamitan dengan Ibu dan memasuki rumah Mai. Claris dan Nia sudah berada di sana, menunggu kedatanganku.
"Ava! Ini, tiketnya sudah kupesankan," ucap Mai, menjejali wajahku dengan layar ponselnya. "Nanti kau bayar uang cash-nya ke aku aja!"
"Oh... oke. Ini kita ke bioskop naik apa?" tanyaku.
"Naik Grab, ini baru kupesankan," balas Nia.
"Kira-kira kita pulang jam berapa?"
"Filmnya mulai jam setengah dua, durasinya sekitar dua jam. Jadi paling cepat kita keluar dari bioskop jam setengah empat."
Gawat. Dengan cepat kurogoh tasku, mencari ponsel untuk cepat-cepat menghubungi ibuku. Aku tak dapat menemukan ponselku di mana-mana. Di saat itulah aku baru ingat bahwa aku lupa membawa ponselku. Dengan putus asa aku bertanya, "Apa boleh aku keluar sebelum filmnya selesai?"
"Hm, boleh sih, tapi nanti kau balik ke rumah Mai naik apa? Lagi pula kenapa mau keluar duluan?" Claris bertanya balik.
"Ah... Nanti aku jalan kaki saja. Aku... terlanjur bilang ke ibuku kalau 'kerja kelompok' kita selesai jam tiga."
"Yakin mau pulang jalan kaki? Jarak dari bioskop ke rumahku lumayan jauh, lho," ucap Mai, terlihat mengkhawatirkanku.
"Iya, tidak apa."
***
Selama film berjalan, aku tak dapat menikmatinya sama sekali. Aku sangat cemas, andai saja aku tidak berbohong dan menolak ajakan Mai untuk menonton bioskop. Andai saja aku meminta izin secara langsung. Namun tak ada gunanya berandai-andai, tak akan ada yang berubah.
Jam tiga kurang lima belas menit, aku mengisyaratkan kepada teman-temanku bahwa aku akan pulang. Mereka mengangguk dalam kegelapan. Dengan derap kaki yang kupelankan, aku berjalan keluar dari bioskop, hanya untuk melihat derasnya hujan yang mengguyur di luar sana.
Ah, tidak apa. Aku hanya perlu berlari! Tanpa menggunakan perlindungan apa pun, aku berlari sekuatku, mencoba tuk mencapai rumah Mai sebelum tiga lewat sepuluh. Entah mengapa, aku berharap ban mobil ibuku gembos supaya ia tak sampai lebih dulu.
Setelah berlari selama berpuluh-puluh menit dan beberapa kali hampir terjatuh, aku dapat melihat gerbang rumah Mai yang terkunci. Hujan masih mengguyur dan aku bahkan tidak memikirkan apa yang akan diucapkan ibuku jika ia melihat bajuku yang basah kuyup ini.
Aku melihat jam yang menunjukkan pukul tiga lewat dua puluh. Aneh, mobil ibu tidak dapat kulihat di mana pun. Apa mungkin Ibu sudah sampai sepuluh menit yang lalu dan pergi karena aku tak kunjung keluar? Tapi tidak mungkin, Ibu selalu menungguku, mau itu sepuluh menit ataupun satu jam.
Akhirnya aku memutuskan untuk duduk di depan gerbang rumah Mai, berlindung dari hujan yang tak kunjung berakhir. Mungkin, Ibu akan datang sebentar lagi. Mungkin, mobil Ibu benar-benar gembos? Mungkin.
***
Aku terbangun oleh suara mobil yang melintas di hadapanku. Ketika aku melihat ke arah mobil itu, aku melihat sekumpulan gadis remaja---teman-temanku. Di mana Ibu...? Bajuku mulai mengering. Sudah berapa puluh menit aku meringkuk di sini?
"Loh, Ava? Kok kamu masih di sini?" tanya Mai.
"Bukannya kamu sudah dijemput hampir sejam yang lalu?" Â Claris terlihat khawatir.
Butuh beberapa detik untukku memproses apa yang terjadi. Kulihat jamku, pukul 04:03. Aku ingat bahwa aku menunggu mobil ibuku untuk datang, namun ia tak kunjung datang. Entah mengapa, dadaku terasa sesak. Seakan-akan hal buruk akan terjadi, hal buruk sedang terjadi.
"Sepertinya ibuku tidak menjemput..." ucapku.Â
Pada akhirnya, Nia memesankan Grab untukku.
***
Aku sampai di rumah. Sepi dan tak ada mobil yang terparkir di garasi. Di mana Ibu? Jika Ibu tidak di rumah, di mana Ibu sekarang?
Aku melepas baju basahku dan berganti baju. Kutunggu Ibu sembari membuatkannya teh hangat, supaya ketika Ibu datang, aku dapat meminta maaf kepadanya. Meminta maaf karena telah membuatnya menjemputku walau pada akhirnya aku pulang sendiri, dan meminta maaf karena aku telah berbohong kepadanya.
Satu jam, dua jam, tiga jam, lima jam, Ibu tak kunjung kembali. Ponselnya tidak aktif, aku tak dapat menghubunginya sama sekali. Dadaku terasa semakin sesak. Bagaimana jika, bagaimana jika, bagaimana jika, kalimat-kalimat itu terus-menerus menghantuiku.Â
Hingga pada akhirnya, Ibu meneleponku kembali! Aku menghela nafas lega, sampai kuangkat telepon itu dan mendengar suara berat dari seorang laki-laki.
"Permisi, apa benar ini anak dari Ibu Sulastrini? Saya minta maaf sebesar-besarnya, namun saya ingin menyampaikan bahwa Ibu Sulastrini telah mengalami kecelakaan."
Hari itu adalah hari terakhirku berbohong. Aku tak ingin dustaku menjadi kata-kata terakhir yang didengar oleh orang yang kusayangi sekali lagi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H