Mohon tunggu...
Asa Jatmiko
Asa Jatmiko Mohon Tunggu... -

Menulis puisi, cerpen, essai sastra dan budaya ke berbagai media massa yang terbit di Indonesia, seperti; Kompas, Suara Pembaruan, Bernas, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Lampung Post, Surabaya Post, Bali Post, Media Indonesia, Jawa Pos, Solopos, dan lain-lain.\r\n\r\nKarya-karyanya juga termuat berbagai antologi, seperti; Hijau Kelon, Resonansi Indonesia, Grafitti Gratitude, Filantrophi, Trotoar, Tamansari, Gerbong, Jentera Terkasa, Embun Tajalli, Begini Begini dan Begitu, Pasar Kembang, Buku Catatan Perjalanan KSI, dan lain-lain. Selain itu, ia aktif juga di dunia seni pertunjukan (teater), dengan telah menulis naskah drama dan film, seperti: Malam Sampai Malam, Rinai Seruni, Gelisah Api, Tanjung, Salah Pilih, Lagu untuk Layla, dan lain-lain, kemudian menyutradarai beberapa pentas teater.\r\n\r\nKarya di bidang teaternya, antara lain; Rekonsiliasi Nawangwulan_Joko Tarub, Performance Art “Dust To Dust”, Parodi Jonggrang Putri Prambatan, LOS (Labours On Stage), Pentas keliling 2 Naskah karya Kirdjomuljo, berjudul Senja dengan Dua Keleawar dan Sepasang Mata Indah. Kemudian bermain dan menyutradarai lakon Hanya Satu Kali, Godlob dan menggarap The Tragedy of Hamlet (2007), The Pillars of Society (2008) dan Sampek Engtay (2009) di Universitas Muria Kudus.\r\n\r\nMeluangkan waktu untuk pentas tunggal, antara lain; Pembacaan Puisi Keliling SMA selama 2 bulan, kemudian pentas tunggal pembacaan 7 cerpen karya 7 cerpenis Kudus di Hotel Kenari “Cerita-cerita Kota Kretek” dan lain-lain. Dan akhir-akhir ini sedang gandrung dengan penggarapan film, terutama film-film indie. Beberapa karyanya, antara lain; miniseri Blok D76 yang sudah ditayangkan pada bulan Juni 2006 di ProTV, sebuah stasiun televisi lokal. Dan menyusul penggarapan film indie yang bersetting gula tumbu berjudul Sketsa Gelisah Api.\r\n\r\nAntologi puisi tunggalnya berjudul Pertarungan Hidup Mati dan kaset pembacaan puisi Antifon Burung Api. Kini tengah mempersiapkan buku puisinya yang kedua, berjudul Alienasi yang dilengkapi dengan CD pembacaan puisi Asa Jatmiko.\r\n\r\nKini tinggal di Jalan Kelapa Sawit V/6, Perumahan Megawon Indah, Jati, Kudus telp: 08122872180, sembari membangun sebuah beberapa grup, seperti:\r\n\r\nVEHO, Saat ini grup band indie tersebut sedang mempersiapkan beberapa show untuk kampanye lingkungan. Kemudian juga mendirikan komunitas \r\n\r\nSatubumi, sebuah komunitas yang berkegiatan mendokumentasikan karya-karya seni, mengadakan riset dan menjadi event organizer kegiatan-kegiatan kesenian.\r\n\r\nNjawa Teater, sebuah kelompok teater.\r\n\r\nAlamat: Jl. Kelapa Sawit V/6, Megawon Indah, Jati, Kudus, INDONESIA 59342. Telp.: 0291-4249442 HP.: 08122872180.\r\n\r\ne-mail asajatmiko@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Indonesia Type 21

19 Juni 2010   06:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:26 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Indonesia Type 21, (1)

Lelaki itu Aku

Indonesia, lelaki paruh baya, rumah mungil di bawah trembesi

Dimana catatan alamat surat sahabat telah di larung

Ketika ancaman hari depan menjadi sarapan pagi

Dimana aroma wangi tanah basah telah banyak menguap

Ketika setiap malam tidur menjadi saat yang menakutkan

Berhektar hektar ladang menumbuhkan pucuk pucuk harapan

Bagi mulut mulut besar, tapi tidak bagi penyair, bagi Ibunda

Bagi anak anak yang percaya kepada hati nurani

Berhektar hektar ladang membunga percik api kemarahan

Karena angin telah berhembus mengabulkan doa penjual nama

Indonesia, lelaki paruh baya, tabur bunga di pusara ibunya

Dengan bunga yang tak dipetik, tapi dipungutnya setelah gugur

Di tiap senja di bawah trembesi, juga di pusara mimpinya

Hingga terbenam dalam sunyi dendam yang tertahan

Rumah mungil pun mengabut, bidadari kecil menangis di sudut

Ibunda dengan wajah lebam berhias di kaca retak

Matahari terus membakar ladang ladang, memaki ladang ladang

Lelaki menelusup pintu dan teronggok di bawah celah atap

Mencari cari bulan.

Kudus, 2010.

Indonesia Type 21, (2)

Anak Lelaki-ku

Indonesia dalam jantung bocah 11 tahun

Berdetak lambat seperti jarum jam di stasiun

Kereta yang ditunggu membawakan mainan

Tak juga muncul

Bersama jutaan bocah lainnya

Bermain, meski bermain sudah tak lagi berhati

Hanya semakin menjauhkannya dari kampung halaman.

Rumah mungil dan trembesi menyimpan kenangan

Sunyi memanggil mengajaknya mati

Lalu cakrawala berpelangi jelaga, sehitam keluh kesahnya:

”Aku ingin melihat hutan, Ma... membelai harimau dan orang utan”

Mengapa ruang telah dimampatkan

Hingga jantung berdetak lamban?

Dia tertidur dalam remang cahaya di antara Matematika dan Agama

Lalu ia bermimpi menulis sebaris email untuk kenalan barunya: ”Apa kau mengenal Indonesia, seperti aku mencintainya?”

Kereta tak jua datang, hanya deru angin menggetarkan pohonan

Tapi di mimpinya, ia melihat kereta telah melaju kencang

Tapi tak berhenti lama

Dan tak menghampirinya.

Kudus, 2010

Indonesia Type 21, (3)

Anak Perempuan-ku

Anak perempuanku selalu mencabik cabik Indonesia

Pada setiap pagi dan senja, dan masih di bawah trembesi

Sebab rumah yang selalu buat singgah, serasa terbelah

Siang menciderai matahari, bulan pun terluka malam

Dan anakku menggenggam berbie bernyanyi di kamar mandi

Menirukan sebuah lagu yang terisak seorang pengembara:

”mengapa aku harus lelah karena cemburu?”

Indonesia menyusup dalam nadinya yang bercahaya

Seperti seekor kunang kunang di dalam botol kaca

Ingin meronta! Ingin memberontak!

Memecahkan botol kaca meskipun bertaruh nyawa.

Sebentar lagi saja, waktu akan melahap habis harapan

Bahkan cintanya, sebab di rumah ia tak lagi menjadi anugrah

Sembari melarung dua buah sekoci, di tepi sungai coklat

Yang mengalir di bawah trembesi,

terdengar anakku bernyanyi lirih dan sesak,

”tak usah banyak, pintaku cukup satu saja:

Satu tetapi berarti - Satu tetapi abadi”.

Kudus, 2010

Indonesia Type 21, (4)

Wanita-ku

Pada hamparan selendangmu, Indonesia dalam formasi menyala

Kembali bertanya, mengapa kita masih teronggok di bawah trembesi

Rahim yang kucium adalah janji

Kau akan melahirkan jutaan anak anak yang lebih Indonesia

Lebih miskin, pasti! Sebab kita tak pernah lulus jurusan ekonomi

Tapi kita masih berharap masih ada hati;

Yang terisak manakala kakak kakak perempuannya lupa harga diri

Yang mampu menyesal manakala kita tak mampu menjaga cinta

Yang berani melawan manakala hutan dan hutang disatroni para pencuri

Kudus, 2010.

Sajak Cinta

‘tuk: istriku akhirnya aku menjumpaimu di sini di antara wangi kenanga dan warna biru berkubang dalam satu gerabah sebentar berhenti dari perjalanan yang rumit dan kita telah meronce semua itu menjadi perhiasan sanggulmu dan jemariku cinta bukanlah sekadar sajak, kekasihku bahkan bukan keindahan itu sendiri di dalam satu gerabah kita bertukar jawab dengan jujur aku menjumpai huruf yang tercipta di hatimu kamu pun akan tahu betapa ringkihnya aku di sini kita beradu rasa cemas karena kenyataan memang lebih menyakitkan turunlah, kutunggu kamu di sini berkubang dalam satu gerabah agar kita tahu pantaskah kita bernama cinta Kekasihku, meski cintaku sederhana, tapi sejati selamanya. Kudus, 2010.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun