Indonesia Type 21, (1)
Lelaki itu Aku
Indonesia, lelaki paruh baya, rumah mungil di bawah trembesi
Dimana catatan alamat surat sahabat telah di larung
Ketika ancaman hari depan menjadi sarapan pagi
Dimana aroma wangi tanah basah telah banyak menguap
Ketika setiap malam tidur menjadi saat yang menakutkan
Berhektar hektar ladang menumbuhkan pucuk pucuk harapan
Bagi mulut mulut besar, tapi tidak bagi penyair, bagi Ibunda
Bagi anak anak yang percaya kepada hati nurani
Berhektar hektar ladang membunga percik api kemarahan
Karena angin telah berhembus mengabulkan doa penjual nama
Indonesia, lelaki paruh baya, tabur bunga di pusara ibunya
Dengan bunga yang tak dipetik, tapi dipungutnya setelah gugur
Di tiap senja di bawah trembesi, juga di pusara mimpinya
Hingga terbenam dalam sunyi dendam yang tertahan
Rumah mungil pun mengabut, bidadari kecil menangis di sudut
Ibunda dengan wajah lebam berhias di kaca retak
Matahari terus membakar ladang ladang, memaki ladang ladang
Lelaki menelusup pintu dan teronggok di bawah celah atap
Mencari cari bulan.
Kudus, 2010.
Indonesia Type 21, (2)
Anak Lelaki-ku
Indonesia dalam jantung bocah 11 tahun
Berdetak lambat seperti jarum jam di stasiun
Kereta yang ditunggu membawakan mainan
Tak juga muncul
Bersama jutaan bocah lainnya
Bermain, meski bermain sudah tak lagi berhati
Hanya semakin menjauhkannya dari kampung halaman.
Rumah mungil dan trembesi menyimpan kenangan
Sunyi memanggil mengajaknya mati
Lalu cakrawala berpelangi jelaga, sehitam keluh kesahnya:
”Aku ingin melihat hutan, Ma... membelai harimau dan orang utan”
Mengapa ruang telah dimampatkan
Hingga jantung berdetak lamban?
Dia tertidur dalam remang cahaya di antara Matematika dan Agama
Lalu ia bermimpi menulis sebaris email untuk kenalan barunya: ”Apa kau mengenal Indonesia, seperti aku mencintainya?”
Kereta tak jua datang, hanya deru angin menggetarkan pohonan
Tapi di mimpinya, ia melihat kereta telah melaju kencang
Tapi tak berhenti lama
Dan tak menghampirinya.
Kudus, 2010
Indonesia Type 21, (3)
Anak Perempuan-ku
Anak perempuanku selalu mencabik cabik Indonesia
Pada setiap pagi dan senja, dan masih di bawah trembesi
Sebab rumah yang selalu buat singgah, serasa terbelah
Siang menciderai matahari, bulan pun terluka malam
Dan anakku menggenggam berbie bernyanyi di kamar mandi
Menirukan sebuah lagu yang terisak seorang pengembara:
”mengapa aku harus lelah karena cemburu?”
Indonesia menyusup dalam nadinya yang bercahaya
Seperti seekor kunang kunang di dalam botol kaca
Ingin meronta! Ingin memberontak!
Memecahkan botol kaca meskipun bertaruh nyawa.
Sebentar lagi saja, waktu akan melahap habis harapan
Bahkan cintanya, sebab di rumah ia tak lagi menjadi anugrah
Sembari melarung dua buah sekoci, di tepi sungai coklat
Yang mengalir di bawah trembesi,
terdengar anakku bernyanyi lirih dan sesak,
”tak usah banyak, pintaku cukup satu saja:
Satu tetapi berarti - Satu tetapi abadi”.
Kudus, 2010
Indonesia Type 21, (4)
Wanita-ku
Pada hamparan selendangmu, Indonesia dalam formasi menyala
Kembali bertanya, mengapa kita masih teronggok di bawah trembesi
Rahim yang kucium adalah janji
Kau akan melahirkan jutaan anak anak yang lebih Indonesia
Lebih miskin, pasti! Sebab kita tak pernah lulus jurusan ekonomi
Tapi kita masih berharap masih ada hati;
Yang terisak manakala kakak kakak perempuannya lupa harga diri
Yang mampu menyesal manakala kita tak mampu menjaga cinta
Yang berani melawan manakala hutan dan hutang disatroni para pencuri
Kudus, 2010.
Sajak Cinta
‘tuk: istriku akhirnya aku menjumpaimu di sini di antara wangi kenanga dan warna biru berkubang dalam satu gerabah sebentar berhenti dari perjalanan yang rumit dan kita telah meronce semua itu menjadi perhiasan sanggulmu dan jemariku cinta bukanlah sekadar sajak, kekasihku bahkan bukan keindahan itu sendiri di dalam satu gerabah kita bertukar jawab dengan jujur aku menjumpai huruf yang tercipta di hatimu kamu pun akan tahu betapa ringkihnya aku di sini kita beradu rasa cemas karena kenyataan memang lebih menyakitkan turunlah, kutunggu kamu di sini berkubang dalam satu gerabah agar kita tahu pantaskah kita bernama cinta Kekasihku, meski cintaku sederhana, tapi sejati selamanya. Kudus, 2010.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H