Berceceran
berceceran di sana sini,
di bawah dedaunan,
di lantai tanah perawan,
di kolong gerobak tua penyaji malam
: perca hati yang sulit kembali.
Aku, menatap tanah ini kembali
bergairah dan perawan.
Namun, begitu dekat dengan mati."
Jogja, 2010
Engkau Dimana
Pernah kujumpai perasaan ini
Dimana engkau jauh, jauh
Aku menjadi seorang diri saja
Tak tahu kemana membuang sauh
Satu persatu lunglai
Lumer di atas aspal jalan
Satu persatu membangkai
Minta segera diselamatkan
Tujuh puluh perisai tak tertahan
Sembilan puluh tiga tombak dipatahkan
Bunyi gemerincing senjata masih terdengar
Tapi tak sua sedikit pun jiwa berlaga
Pernah kujumpai dirimu
Membesuk sunyi sepiku
Atau cuma sekedar mengantar hati yang terluka
Namun itu yang kurindu
Yang membuat aku merasa hangat
Dimanakah engkau kini?
Kudus, 2009-2010
Rindu
Menelusup dari sela dedaunan trembesi
Violinmu mengapung bersama pelangi
Di bawah, berjajar jajar
Tangan tangan melambai ingin berkabar
Sesaat hilang, kenangan di dalam pendapa
Entah kemana perbincangan kita
kau berpesan, ”hari sudah terlalu tua
untuk apa kita bertemu, mengurai luka?”
masih terdengar violinmu dari sela trembesi
lagu cinta yang tersusun dari nada nada sedih
”ah, kenangan selalu begitu,” jawabku
Lihatlah aku di sini, terbakar matahari
Jogja, 2010.
Teronggok di Dalam Gudang
Rasanya telah cukup lama teronggok di dalam gudang
Debu melekat menebal dan luka luka dipenuhi karat
Rasanya terlalu berat untuk tidak berkata aku telah usang
Wajah wajah telah menjadi asing di setiap perbincangan
Ada rindu seperti kau menjamahku dahulu
Dan mendengar jerit tawa yang jujur di halaman
Tapi ada cemas jika kau menyentuhku sekarang
Aku tak lagi menjadi sesuatu yang kau inginkan
Teronggok sudah di dalam gudang
Tergeletak seperti barang rongsokan
Hanya saja, entah kenapa engkau selalu hidup di sini
Bersama keliaran jiwaku yang kesepian
Jujur saja aku selalu gagal menulis surat untukmu
Karena terlalu banyak kata kata yang hilang makna
Seperti bunga di etalase
Seperti peristiwa di setiap sinetron Indonesia
Seperti lima ratus dua puluh empat puisiku di koran koran
Menjadi sebuah kemunafikan tak berujung-pangkal
Aku masih mencoba mempercayaimu
Sebagai kidung yang berlagu setelah adzan
Sebagai kleneng lonceng sebelum altar bermadah
Aku masih ingin mendengar kau membuka pintuku
Meski diam diam, sebagai pengharapanku akan udara segar di jiwaku
Datang, datanglah engkau kekasihku
Ke dalam sebuah gudang
Dimana teronggok aku di sana
Sebagai rongsokan yang tak lagi berdaya
Jika engkau sebuah cinta
Aku percaya engkau mau memahami dosa dosa.
Jamah, jamahlah aku kekasihku
Ke dalam jiwaku yang penuh luka
Jika engkau sebuah cinta
Engkau pasti mau menerimaku apa adanya.
Kudus, Sept 09
Rumah Pelangi
rumah yang kubangun
dari cinta cinta yang tumbuh
yang kuberi ruang
dan kurawat di setiap saat
memang bukan dari kaca
atau marmer istimewa
kadang solfatara
mengapung di atas asbak
dan menyela perbincangan
temboknya berlumut
lumut yang bisa bicara
coretan dinding
yang berbisik dalam gelap
lalu pot pot yang seakan diam
menjaring informasi gerimis
gelas dan dentingnya
melempar fenomena
di tengah kepongahan
lalu aku hanya membiarkan
semuanya menjulur ke langit
menjalar ke tanah tanah basah
atau menjala semua ikan ikan
yang terbawa angin senja
di situlah kami tumbuh
hingga tak mengenal mati.
Kudus, Januari 2008.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI