Mohon tunggu...
Agam Bangai
Agam Bangai Mohon Tunggu... -

Mau belajar menulis dan pingin tahu kebenaran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tepuk Tangan dari Jakarta

3 Maret 2014   11:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:17 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

*Lihatlah, orang Aceh telah bertikai sesamanya dengan memperebutkan uang recehan.
TUNTUTAN_Rakyat kepada gubernur Zaini-Muzakkir di Kantor Gubernur Aceh pada Jumat 27 Desember 2013 lalu terjadi karena ada penggeraknya. Masyarakat kampung dari wilayah-wilayah Aceh datang ke Banda Aceh secara serentak, tidak mungkin tanpa ada yang mengatur semuanya.
Awalnya tuntutan itu berlangsung secara baik-baik, tetapi akhirnya penuntut mulai melakukan hal-hal kasar. Kita tentu masih ingat peristiwa pada 3 November 2008 KBM Unsyiah menyerahkan sekotak obat kuat untuk gubernur Irwandi.
Pada 2009; Puluhan mahasiswa IAIN menghadiahi ayam sayur untuk Irwandi di Kantor Gubernur Aceh pada 1 September 2009. Banyak lagi peristiwa serupa menodai nilai Aceh di mata orang luar dan memecahkan sesama orang Aceh di dalam.
Para penggeraknya pun bertepuk tangan sorak-sorai.
“Lihatlah, orang Aceh telah bertikai sesamanya dengan memperebutkan uang pecahan.”
Begitulah kata mereka di ruang kaca yang tidak tersentuh. Dan anehnya, orang-orang Aceh sendiri ikut memburuk-burukkan. Sepertinya semakin sedikit orang di Aceh yang mampu berpikir jernih.
Siapa penggeraknya, mengapa?
Ingatan adalah hal yang penting untuk mengetahui keadaan di sekeliling kita. Masih ingatkah kita bagaimana pada tahun 2000-an, Aceh memasuki zaman perang baru. Orang-orang yang tadinya bukan siapa-siapa bisa menjadi orang yang ditakui atau dihormati karena sudah memiliki senjata dan memiliki nama baru, ‘Tentara’, ‘Panglima’ dan sebagainya.
Kala itu hanya ada dua kafilah besar orang di Aceh; kafilah pendukung Aceh supaya punya negara sendiri dan kafilah orang yang mendukung Aceh dalam Republik Indonesia. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mendapat kepatuhan rakyat secara mutlak (hegemoni –red) di masa itu.
Kemudian muncullah isu syari’at Islam. GAM pun mendapat dukungan dari pihak ulama. Namun, beberapa sa’at saja setelahnya, GAM telah dibuat bermusuhan dengan ulama. Pencacian pada ulama pun terjadi oleh orang-orang yang bahkan cara shalat pun tidak dia ketahui.
Sampailah kepada bencana maha dahsyat gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Orang-orang yang berperang pun dipaksa untuk berdamai dengan sedamai-damainya. Lahirlah MoU Helsinki. Setelah damai, adanya butiran kesepakatan bahwa Aceh dapat membentuk partai lokal dan partai tersebut dapat menaikkan gubernur dan anggota dewan wakil rakyat melalui partai tersebut.
Propaganda pecah belah dimulai kembali. Sebelum semuanya siap, sudah ada pemilihan gubernur, Irwandi-Nazar maju melalui calon perseorangan. Bekas GAM pun mulai pecah menjadi dua kafilah. Kafilah tua mengajukan H2O, kafilah muda mengangkat Irwandi-Nazar yang kemudian menjadi pemenang. Lalu, ketika kedua orang baru dalam politik yang muncul secara tiba-tiba itu dilihat masih didukung oleh bekas tentara GAM, maka mereka pun diperselisihkan.
Nazar yang punya pendukung dari intelektual adalah yang pertama kali ditarik dari kekuatan Aceh. Akhirnya Irwandi dan Nazar punya kebijakan yang saling bertentangan. Uang APBA yang melimpah tak bisa dipakai untuk membangun rakyat. Lalu, Nazar membentuk partai sendiri, yang dibantai habis-habisan sehingga tidak ada suara di wakil rakyat pada 2009.
Pada detik ini juga masih ada gerakan yang dinamakan Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF). Dimana gerakan ini masih mengharapkan Aceh merdeka, dan menentang kebijakan Pemerintah Aceh yang dipimpin oleh Zikir yang natabenya adalah bekas tentara GAM yang kembali kepangkuan Indonesia, gerakan ini juga membenci yang namanya partai lokal kususnya PA.
Tidak berhenti di sana. Ketika dilihat Aceh masih kuat karena bekas tentara GAM masih mendukung kebijakan Irwandi. Maka giliran dipertikaikan Irwandi dengan Partai Aceh (PA) yang didirikan oleh bekas GAM. Bekas GAM yang militan pun pecah. Irwandi membentuk partai lain. Sementara di tingkatan pertama, sebagian ulama sudah ditarik ke PDA.
Ketika kekuatan Aceh dari pihak pendekar baru yang bergerilya ke gunung, intelektual di perguruan tinggi, dan pihak ulama di dayah-dayah sudah dipecahkan, maka tahap awal propaganda pecah belah sudah berhasil. Seratus trilyun Rupiah uang otonomi Aceh pun tidak akan bisa digunakan dengan baik sampai 2025.
Sekarang, pihak ulama dan intelektual sudah mencabut dukungan untuk orang yang dulunya berperang untuk martabat Aceh. Bahkan orang-orang yang berperang itu dahulu pun sudah dibelah menjadi dua partai. Maka, pemecah belah sudah bisa bertepuk tangan kembali. Orang Aceh memang mudah dipecah-belahkan.
Teori yang dipakai begini;
“Kita tidak akan pernah bisa melawan orang Aceh secara langsung, mereka adalah musuh yang sangat kuat, kita tidak akan menang. Tetapi cobalah membuat mereka melawan sesamanya. Kita tinggal arahkan ke mana saja pertikaian itu.”
Setelah Irwandi ditarik dari kekuatan Aceh, PA masih kuat, maka dipertikaikanlah antara orang-orang penting yang berjasa di dalam PA. Akhirnya, bekas GAM bersenjata dan tidak bersenjata bertikai, yang bersenjata pun terbelah, dan partai yang didirikannya pun dipecah-pecahkan. Partai nasional pun dapat tempat kembali.
Ke depan, jika PA tidak mampu membendung Irwandi sebagaimana Nazar, maka partai Irwandi akan dipecahkan oleh pengatur di balik layar yang tangan-tangannya tidak akan terlihat seperti hantu. Itu akan terjadi bersamaan Nazar dimunculkan lagi dan PA diredupkan. Ketika itu terjadi, bagaimana Aceh?
Rakyat Aceh sudah terpecah belah menjadi beberapa kelompok dan terjadi pertikaian terhadap sesama Rakyat Aceh, pada saat inilah Pusat (Jakarta) mulai bertepuk tangan dengan seksama.
Di kala keadaanya sudah begitu, maka Aceh akan kembali kepada keadaan sebelum perang di masa reformasi Indonesia, ada atau tidak adanya partai lokal tidak ada beda sama sekali. Lalu MoU Helsinki pun akan lenyap sebagaimana Ikrar Lamteh.
Dan, satu generasi yang pernah menyaksikan perang gerilya maha dahsyat pun kehilangan harapannya. Akankah ada orang cerdas di Aceh yang sanggup membuat gerakan intelektual supaya Aceh bersatu dan menentukan nasibnya sendiri?
Walwahua'lam..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun