Saya seorang mahasiswa yang berasal dari kampus keguruan di ibukota. Walau belum lulus dan tidak pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Kedinasan seperti STAN, STIP, STP Bandung, dan sejenisnya, namun saya merasa ada ketimpangan besar dalam "keketatan" proses seleksi dan cara mendidiknya.Â
Di kampus saya, banyak mahasiswa yang tidak lulus tepat waktu dan memiliki IP yang terbilang pas-pasan. Tidak semua juga yang sudah di tingkat atas benar-benar menguasai apa yang telah mereka pelajari. Suasana belajar pun santai, dosen sering tidak masuk dan juga mahasiswanya. Malahan kegiatan organisasi bisa dibilang jauh lebih padat daripada perkuliahan.Â
Agak ngeri saat saya melihat keadaan ini, bukannya ingin mengucilkan satu institusi atau membesar-besarkan yang lain, tapi memang selayaknya kita belajar dari mereka yang jauh lebih mapan dari pada kita sekarang, betul tidak?
Kampus saya ini kelak akan melahirkan pendidik masa depan, dimana nasib generasi penerus bangsa berapa tepat diatas bahu kakak tingkat dan adik tingkat saya yang nanti ingin mengabdi sebagai guru. Lalu kalau tidak ada proses ketat dalam pembentukan seseorang menjadi guru, lalu bagaimana kita dapat menjamin masa depan dunia pendidikan tanah air?
Pihak kampus seharusnya tidak membiarkan mahasiswanya berleha-leha dengan masa studinya, yaitu membiarkan mereka lulus telat dan sebagainya. Seharusnya para mahasiswa digenjot staminanya agar tidak menghabiskan waktu mereka teralu besar di organisasi dan mulai mengesampingkan kuliah.Â
Absen pun harus diawasi dengan ketat, bukan hanya pada mahasiswa tapi juga pada dosen yang mengajar. Jika mahasiswa gagal dalam satu mata kuliah, terkadang ada beberapa faktor yang mempengaruhi, walau besar pengaruhnya ada pada mahasiswa itu sendiri. Tapi jika ada dosen yang terus-terusan tidak masuk, lalu bagaimana calon pendidik ini mampu dibentuk dengan layak?
Saya rasa dosen janganlah teralu dilibatkan dengan banyak kegiatan diluar mengajar di kelas, karena itu adalah fungsi utama dari dosen itu sendiri. Jika nanti para mahsiswa membutuhkan bimbingan dan lainnya, lalu dosennya susah dijangkau, maka tidak akan efektif proses transfer ilmu dari dosen ke mahasiswanya.Â
Rokok juga menjadi perhatian khusus saya. Janganlah di institusi dibebaskan merokok di setiap tempat, saya mengerti dengan kecanduan ini, namun selayaknya rektorat menetapkan satu lokasi khusus untuk merokok, seperti yang ada di kampus Bina Nusantara. Agar saat nanti ada tamu yang berkunjung tidak akan merasa tabu dan tidak nyaman dengan lingkungan kampus yang penuh asap beracun.Â
Puntung rokok berserakan di jalan-jalan kampus, bagai mahasiswa yang mengenyam pendidikan lebih tinggi tidak memiliki perbedaan dengan masyarakat awam yang hanya mendapat pendidikan yang lebih rendah dari mereka.Â
Memang mahasiswa haruslah kreatif dan inovatif, karena kita adalah harapan bangsa. Namun, norma dan etika luhur yang dimiliki bangsa Indonesia juga harus tetap tercermin dari perilaku kita sehari-harinya dan tidak melecehkan nama kita sendiri. Hidup Mahasiswa!
Asael Charis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H