Meja Dosen Kosong Maka Jangan Tanya "Minat Baca Mahasiswa"
Di tengah seruan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, ada ironi yang sulit diabaikan yaitu meja dosen yang kosong dari buku. Kantor yang seharusnya menjadi sarang para ilmuwan kerap kali hanya diisi oleh tumpukan kertas administrasi, tanpa jejak buku tebal yang menjadi simbol intelektualitas. Pemandangan ini mengundang pertanyaan besar, bagaimana mungkin mahasiswa dapat termotivasi untuk membaca dan berkembang secara intelektual, jika lingkungan pendidiknya tidak menunjukkan budaya literasi yang kuat?
Ketika melihat meja dosen yang bersih dari buku, pikiran saya tergelitik untuk berspekulasi, apakah dosen ini kurang membaca? Apakah mereka tidak melakukan improvisasi? Apakah mereka hanya mengandalkan materi lama tanpa memperbarui pengetahuan? Tentu saja, spekulasi ini bisa saja keliru. Bisa jadi, dosen tersebut membaca di waktu-waktu tertentu yang tidak terlihat oleh orang lain. Namun, simbolisasi dari buku di meja dosen dapat memberikan dampak besar. Mahasiswa yang melihat tumpukan buku di meja dosen atau dosennya membawa buku ke kelas akan merasa terinspirasi untuk menjadikan membaca sebagai kebiasaan.
Buku bukan sekadar alat bantu belajar, tetapi juga simbol kesakralan dalam dunia ilmu pengetahuan. Kehadiran buku di meja dosen mencerminkan semangat keilmuan, dedikasi pada pendidikan, dan usaha untuk terus belajar. Jika dosen membawa buku, menunjukkan kebiasaan membaca, dan berdiskusi dengan mahasiswa berdasarkan literatur yang berkualitas, ini dapat menjadi teladan yang kuat. Dosen muda, asisten dosen, maupun dosen senior memiliki peran penting untuk menanamkan kebiasaan ini.
Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa mahasiswa lebih banyak menghabiskan waktu untuk menscroll layar gawai, mengonsumsi konten receh di media sosial, ketimbang membaca buku yang dapat memperkaya wawasan. Dalam konteks ini, peran dosen menjadi semakin penting sebagai pemandu dan panutan. Dosen perlu menciptakan lingkungan yang mendukung budaya membaca, seperti menyisipkan referensi buku dalam pembelajaran, merekomendasikan bacaan tambahan, dan mendiskusikan topik dari literatur terkini. Dengan cara ini, dosen tidak hanya mengajar, tetapi juga menanamkan kebiasaan baik yang akan bermanfaat bagi mahasiswa sepanjang hidup mereka.
Minat baca di Indonesia memang memprihatinkan. Berdasarkan laporan UNESCO, tingkat literasi di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara-negara lain. Oleh karena itu, pendidikan harus menjadi prioritas utama, setara dengan kesehatan, dalam membangun kesejahteraan bangsa. Negara yang maju adalah negara yang menempatkan pendidikan dan kesehatan sebagai fondasi pembangunan.
Penting bagi dosen untuk membuktikan kontribusi mereka dalam dunia keilmuan melalui karya nyata, seperti buku, artikel jurnal, atau tulisan di media massa. Karya-karya ini bukan hanya bukti kehebatan, tetapi juga inspirasi bagi mahasiswa untuk mengikuti jejak mereka. Sebaliknya, dosen yang hanya memanfaatkan karya mahasiswa tanpa memberikan sumbangsih ide atau bimbingan dan bermodal perintah untuk memasukkan namanya justru akan kehilangan kepercayaan dari mahasiswa. Hal yang sama berlaku untuk mahasiswa: mereka yang sering berbicara tentang ide besar tetapi tidak memiliki karya nyata juga akan dipandang biasa saja.
Jadi, meja dosen tidak boleh kosong. Setidaknya, ada dua atau tiga buku yang tergeletak di sana untuk menunjukkan bahwa membaca adalah bagian integral dari kehidupan akademik. Buku-buku tersebut dapat menjadi pemantik bagi mahasiswa untuk meminimalkan ketergantungan pada gawai dan mulai membangun kebiasaan membaca. Seorang mahasiswa yang serius belajar seharusnya menjadikan membaca sebagai kewajiban, bukan pilihan. Karena pada akhirnya, pendidikan yang baik dimulai dari kebiasaan baik yang nyata, bukan sekadar teori.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H