Mohon tunggu...
Wurry Agus Parluten
Wurry Agus Parluten Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang Ayah dan Suami.

Pernah menjadi Penulis Skenario, Pembuat Film Indie, Penulis (jadi-jadian), Pembaca, (semacam) Petani, (semacam) Satpam. Sekarang gemar dengan #tagar atau #hashtag guna mengisi sisa hidup.

Selanjutnya

Tutup

Diary

May 1998 Riots of Indonesia

21 Oktober 2022   07:23 Diperbarui: 21 Oktober 2022   07:26 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler


-----
Pada tahun 1996, di negara ini hanya terdiri dari 2  kutub, antara lain: Kutub Pemerintah dan Kutub Oposisi. Mengapa disebut kutub? Karena negatif dan positifnya suka berpindah tempat. Kadang-kadang Kutub Pemerintah yang negatif sedang Oposisi positif, tidak jarang kebalikannya. Bergantung "situasi kondisi toleransi pandangan dan jangkauan" dari energi semesta di setiap momen cuaca. Artinya ini relatif.
-----
Pemerintah adalah mereka yang sedang berkuasa, sedangkan Oposisi kebalikannya. Maka kebijakan yang ada di negara ini pun hanya terdiri dari "pro dan kontra", paling tidak itu yang saya tangkap dari sisa kejayaan Orde Baru dalam dialog beberapa bulan lalu.
-----
Ada lagi sisi yang paling ekstrem dari "kontra", dimana berlaku bagi yang Pemerintah maupun Oposisi. Pemerintah yang kesetrum aliran negatif level tinggi (misal) bisa juga mengalami ini, maka tidak jarang dalam sejarah ada yang terheran-heran... "Kok bisa si A, yang tadinya orang kepercayaan negara malah jadi manusia terkutuk dari kacamata opini publik?". Kalau Oposisi sih sudah jelas kontra, ini unsur elektrik yang ada di dalam badan kenegaraan sendiri.
-----
Yang begini ini sering disebut dengan "pemberontak". Istilah yang berkaitan dengan pemberontak pun ada bermacam-macam: Mulai dari oposisi (halus), tukang fitnah, bahaya laten, gerombolan, dsb, sampai ke hal-hal yang sebenarnya personal seperti "kafir". Umpatan jenis ini lebih kasar levelnya dibanding umpatan pemirsa yang sedang nonton piala dunia, namun tiba-tiba listrik mati. Model-model... Dasar kafir! Manusia kafir! Kafir jahanam! Laknat kafir! Dst.
-----
Ketika semua perbedaan pro dan kontra ini memanas, muncullah isu tentang "1997 Asian Financial Crisis", yang sebenarnya berasal dari luar negeri. Kutub Pemerintah dan Oposisi bukan sibuk mengantisipasi krisis, malah ribut persoalan kekuasaan otoriter yang tak berkesudahan. Orang nomer 1 di negara ini jadi sasaran empuk sumber kesalahan, sehingga menyebut namanya saja ibarat berkata tentang sosok makhluk yang lebih hina dari najis.
-----
Padahal satu dekade sebelumnya, orang nomer 1 ini (kita sebut sebagai Presiden) adalah sosok yang jadi pujaan hati seluruh rakyat negeri. Dia bahkan dijuluki sebagai "bapak pembangunan". Bagaimana ceritanya Presiden ini bisa berubah dari panutan menjadi najis? Dan yang paling lucu, bagaimana hubungan antara krisis ekonomi di luar negeri dengan kondisi politik yang ada di dalam negeri?
-----
Usut punya usut, salah satu penyebab krisis terjadi karena banyak unsur-unsur Kutub Pemerintah yang "nebeng" pinjam uang dengan mengatas-namakan Presiden. Metode ini membuahkan isu simpang-siur yang menyebutkan bahwa Presiden adalah salah satu orang terkaya di dunia. Padahal tak satu pun data yang mendukung kalau Presiden adalah seorang billionaires, apalagi zaman itu sudah mulai beralih perlahan-lahan ke digital (walaupun kapasitasnya baru setara disket).
-----
Kutub Pemerintah (yang nebeng) inilah kemudian terjebak permainan moneter internasional, sehingga keok tatkala rupiah melambung tinggi dibanding dolar. Sehingga utang yang tadinya berjumlah x, bisa berubah drastis menjadi "x kuadrat" (anggapan lebay-nya). Hal ini memacu stabilitas ekonomi dalam negeri menjadi gonjang-ganjing, sampai kemudian topik pun berubah dari yang tadinya ekonomi berubah menjadi (dominan) ke politik.
-----
Mulailah isu agar Presiden turun dimulai. Segala kebencian tentang Presiden mulai tumpah ruah, bahkan sampai ke jalan-jalan di kota besar. Para Intelektual Muda yang berjaket almamater berubah wujud menjadi penyelamat negeri, meski banyak juga yang linglung karena untuk selamatkan diri sendiri saja masih bingung. Rakyat pun menaruh harapan besar ke kaum Intelektual Muda ini.
-----
Namun sayang, "Setelah 15 Tahun" justru banyak dari mereka yang menjadi "harapan" malah terjebak karma sendiri. Mereka yang tadinya begitu ingin berganti "Orde" malah membuat negeri ini menjadi seperti saat ini. Tanpa solusi, malah ejakulasi dini.
-----
Yang menarik adalah, akhir-akhir ini saya mulai dekat dengan "Sistem Ejakulasi Dini". Setelah terus menelaah ke dalam diri, saya pun sampai pada satu kesimpulan, yang ternyata... Saya juga bagian dari mereka.
-----
Ya, saya adalah bagian dari judul yang ada di tulisan ini. Sekarang tinggal menyisakan sebuah pertanyaan... Bagaimana caranya agar saya bisa mengobati diri dari "Sistem Ejakulasi Dini" ini? Sehingga bisa tetap kuat, bergairah dan tahan lama.
-----
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Setelah_15_Tahun
-----
(21 Oktober 2022)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun