Untuk rekan-rekan yang berkecimpung di bidang pengadaan barang dan jasa pasti sudah tahu tentang pengadaan secara elektronik. Istilah kerennya kita sebut E-Procurement atau eproc. Entah mengapa memang kita lebih suka menyebut dalam istilah kerennya ketimbang bahasa Indonesia bahasa kita sendiri.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 (ada juga yang menyebut Perpres 54 Tahun 2010 dan perubahannya) tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah pengertian eproc dijelaskan sebagai berikut :
Pengadaan secara elektronik atau E-Procurement adalah Pengadaan Barang/Jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundangundangan.
Saya mencoba mencari di perpres dan penjelasannya adakah kata-kata yang menyebutkan wajib eproc? Ternyata tidak ada. Kemudian saya bertanya kepada para master atau pakar pengadaan seperti Pak Fahrurozi dan Pak Kasiman Berutu apa dasar hukum kewajiba melaksanakan pengadaan E-Procurement.
Ternyata jawaban yang saya dapat kurang lebih sama. Perpres 70 Tahun 2012 tidak menyuratkan tentang kewajiban pengadaan eproc bagi KLDI. Wajib eproc justru tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi tahun 2012.
Anda bisa melihatnya di butir 147 pada lampiran Inpres tersebut yang mewajibkan pelaksanaan pelelangan secara elektronik (E-Proc) untuk 100% pengadaan di lingkup Kementerian dan Pemerintah Daerah.
Namun uniknya Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) yang bisa kita lihat di situs LPSE masih ada pilihan lelang eproc dan non eproc. Kalau anda kurang yakin cobalah buka salah situs LPSE instansi mana saja. Pasti ada konten Cari Lelang Non Eproc dan lihat masih banyak panitia pengadaan/ULP yang memilih lelang non eproc. Nilai HPS nya bukan hanya di bawah 200 juta rupiah namun sampai milyaran rupiah.
Ini tentunya membingungkan panitia/ULP karena sepertinya hal tersebut sah-sah saja. Memang kalau kita amati kekuatan Perpres atau Inpres sepertinya "lemah" Seperti yang dikatakan Khalid Mustafa seorang spesialis pengadaan melanggar perpres atau inpres tidak ada konsekwensi hukum pidana atau perdata.
Kalaupun ketika sebuah paket pengadaan terbukti merugikan negara udang-undang yang dipakai adalah undang-undang yang relevan semisal undang-undang tindak pidana korupsi.
Kembali ke soal eproc. Menurut saya bila anda ingin melaksanakan satu paket pengadaan secara non eproc dan anda yakin prosedurnya benar maka itu sah-sah saja. Namun akan menjadi pertanyaan mengapa harus menggunakan non eproc (manual) sementara sudah dibangun sistem pengadaan canggih semacam SPSE.
Sejatinya SPSE dibangun untuk mempermudah pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Tujuan eproc juga untuk meminimalisir penyelewengan uang negara dan mempermudah pengawasan.
Akan tetapi eproc hanyalah sebuah sistem, dan tidak bisa menjamin proses pengadaan bersih dan bebas dari KKN. Bang Napi bilang selagi ada peluang dan kesempatan maka kejahatan tetap ada.
Tulisan ini juga saya muat di blog pribadi saya di Asaterbaru.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H