Mohon tunggu...
Asa Afifatun Nazma
Asa Afifatun Nazma Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa/pelajar

Asa Afifatun Nazma - UMJ. Sejak kecil saya diajarkan untuk melek terhadap dunia pendidikan. Menempuh pendidikan setinggi mungkin adalah sarana untuk mengembangkan diri.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menulusuri Jejak Peristiwa G30S PKI dalam Perspektif Teori Konflik

8 Juli 2024   09:58 Diperbarui: 8 Juli 2024   10:03 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S PKI) adalah luka dalam sejarah Indonesia. Tragedi berdarah ini tidak hanya merenggut nyawa para jenderal TNI AD, tetapi juga memicu pergolakan politik dan gelombang kekerasan anti-komunis yang dahsyat. Di balik kompleksitasnya, peristiwa G30S PKI dapat dianalisis melalui lensa teori konflik dalam ilmu sosiologi komunikasi. Teori ini memandang masyarakat sebagai arena pertarungan antar kelompok dengan kepentingan dan nilai yang berbeda. 

Dalam konteks G30S PKI, teori konflik membantu kita memahami akar perselisihan dan dinamika yang memicu tragedi tersebut. Akar penyebab konflik dalam Peristiwa G30S PKI dapat dilihat sebagai puncak dari ketegangan dan konflik yang telah berlangsung lama antara PKI dan pemerintah Indonesia. PKI, yang mewakili kepentingan kelas pekerja, berusaha untuk mengubah struktur sosial dan ekonomi Indonesia, sedangkan pemerintah, yang didominasi oleh kelas borjuis, berusaha untuk mempertahankan status quo.

Teori konflik klasik karya Karl Marx menyatakan bahwa pertentangan kelas merupakan kekuatan pendorong utama dalam sejarah, ketegangan ideologis antara komunisme yang dianut oleh PKI dan nasionalisme yang dipegang oleh sebagian besar elit politik dan militer menjadi salah satu faktor utama yang memicu konflik. PKI, dengan visinya untuk mendirikan negara komunis, dianggap sebagai ancaman serius terhadap stabilitas politik dan ideologi nasionalis yang dianut oleh banyak pihak. 

Ketegangan ini mencapai puncaknya dalam peristiwa G30S PKI, tujuh perwira yang terdiri dari enam jenderal serta satu perwira pertama TNI AD menjadi korban peristiwa di pergantian malam 30 September ke 1 Oktober 1065 itu Jenderal Ahmad Yani, Mayjen R Soeprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Panjaitan, Brigjen Sutoyo dan, Lettu Pierre A Tendean namun, mereka gagal menculik jenderal paling senior, Abdul Haris Nasution atau A.H. Nasution. Para penculik menangkap dan membunuh yang kemudian dibuang ke dalam sumur tua yang dikenal sebagai lubang buaya, ketujuh korban kemudian dianugerahi gelar sebagai pahlawan revolusi.

A.H. Nasution dikenal dengan sikap anti-komunisnya , sehingga ia menjadi salah satu target utama dalam operasi penculikan G30S/PKI. Sebagai Menko Hankam/Kepala Staf ABRI saat itu, A.H. Nasution berhasil melarikan diri meskipun mengalami cedera di kakinya. Ajudannya, Letnan Satu Piere Tendean, menjadi korban salah tangkap para pemberontak mengira Lettu Piarre A Tendean sebagai Nasution dan Ade Irma Suryani Nasution anaknya menjadi korban peristiwa tersebut. 

Dengan demikian, A.H. Nasution berhasil selamat dari kekejaman pemberontakan ini. Serangan singkat dirumah A.H Nasution membuat beberapa teori konflik yang menawarkan prespektif yang berbeda, dalam teori konflik menyatakan G30S PKI merupakan ketidaksetujuan antara Jenderal Nasution dan kelompok tertentu dalam TNI AD terkait perebutan kekasaan setelah wafatnya Presiden Soekarno.

Pergolakan ini mengakibatkan serangkaian aksi kekerasan dan pembantaian yang menargetkan anggota dan simpatisan PKI, serta orang-orang yang dicurigai memiliki hubungan dengan mereka. Konflik ini tidak hanya menyoroti ketegangan ideologis dan politik pada saat itu, tetapi juga menunjukkan bagaimana pertentangan kelas dan perjuangan untuk dominasi ideologis dapat mengarah pada kekerasan dan perubahan besar dalam masyarakat.

Menganalisis peristiwa G30S PKI melalui teori konflik ilmu sosial membantu kita memahami  peristiwa ini dan berbagai faktor yang melatar belakanginya. Perspektif ini membuka ruang untuk diskusi kritis dan rekonsiliasi sejarah, serta mendorong upaya untuk mencegah tragedi serupa terulang kembali di masa depan. 

Peristiwa G30S PKI meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Tragedi ini tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga berakibat pada pelanggaran hak asasi manusia, trauma kolektif, dan perpecahan bangsa. Dampak jangka panjangnya masih terasa hingga saat ini, dan menjadi pengingat penting akan bahaya ideologi ekstrem dan politik identitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun