Seseorang barangkali memerlukan berpakaian, untuk menutup auratnya. Seseorang yang lainnya memerlukan berpakaian untuk membuatnya merasa nyaman. Seseorang yang lainnya memerlukan berpakaian untuk tidak dibilang gila kalau kemana-mana ia bertelanjang. Seseorang yang lainnya lagi memerlukan pakaian untuk menunjukan status sosialnya. Tidak ada hukum dan aturan tertulis bahwa seseorang harus berpakaian, tetapi jelas bahwa seseorang merasa wajib dan memerlukan berpakaian.
Demikian pula halnya yang lain, misalnya bagaimana seseorang makan dan (seolah memiliki keharusan untuk memilih) makanan apa yang hendak disantapnya. Juga bagaimana seseorang memilih untuk tinggal dimana. Dari tempat tinggalnya, seseorang memiliki bekal, kenyataan dan cita-cita untuk kemudian sebagai manusia.
Tetapi di jaman sekarang, itu belumlah cukup menjadikan seseorang manusia yang utuh. Seseorang masih memerlukan "kaki ketiga". Ialah satu media yang memberikannya "kebebasan menjadi dirinya". Sesudah dari sana, seseorang akan memiliki kebutuhan untuk melengkapi dirinya dengan "kaki ketiga". Kaki ketiga ini akan turut mengiringi, menemani, menjadi tempat curhat, sekaligus menjadi pemacu semangat hidup. Seperti seseorang yang usia mulai renta, dia akan membutuhkan sebatang tongkat yang membawanya (dibawa) kemana pun ia pergi dan berada.
Seseorang yang sudah memiliki jiwa sosial akan suka dan sering berderma, memberikan infaq dan sodaqoh, menyantuni anak-anak miskin dan terlantar, membangun panti asuhan, dan sebagainya. Itulah kaki ketiga yang akan membawanya sebagai seseorang manusia yang utuh.
Kesenian, ruang kreativitas, pementasan, proses berteater, berjibaku sunyi merenda puisi, berluka-berdarah demi lentur jemari yang menari, berteriak-teriak di sudut-sudut tembok mencakarinya untuk sebuah akting yang matang. Semua itu menjadi kaki ketiga untuk seseorang seniman, apapun bidang kesenian yang dipilihnya.
Kaki ketiga menemui nilainya ketika ia memberikan respon balik kepada si empunya berupa kemanusiaan yang matang dan dewasa. Selagi ia hanya membentur-benturkan pemiliknya kepada sumpah-serapah, atau bahkan membawanya pada suatu tempat yang "asing" bagi dirinya, saat itu seseorang mesti memikirkan kembali apakah kaki ketiganya perlu dibuang atau digantikan yang baru atau lainnya.
Lalu kita, orang-orang yang melihat, menonton atau (kalau sempat) memperhatikan kaki ketiga orang lain, seyogyanya bagaimana? Bukankah tidak mungkin kita mencemooh lelaki tua bertongkat yang berjalan tertatih? Bukankah kita tak berhak juga untuk menilai baik-buruknya karena kita tidak tahu pasti isi hatinya?
Dan yang pasti, karena kita pun mempergunakan "kaki ketiga" kita untuk sebuah aktualisasi, sebuah rencana atau cita-cita tentang kebebasan diri kita sendiri, untuk sebuah kesadaran berubah menjadi manusia yang semakin matang dan dewasa.
Tetapi lebih dari soal-soal itu, semua dari kita tidak bisa mengelak membutuhkan (atau mempergunakan bagi yang sudah punya) Kaki Ketiga.
Salam,
-aj-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H