TUK menjadi pentas ke-11 produksi Teater Keset, pada 06 Desember 2014 di Auditorium Universitas Muria Kudus. Naskah karya Bambang Widoyo SP yang disutradarai NH Cipo ini secara umum berhasil memikat perhatian para penonton. Berbeda dengan beberapa pementasan produksi teater ini sebelumnya, kali ini Teater Keset tampil dalam sebuah pentas teater berbahasa Jawa (Solo). Ini sebuah wujud penghormatan (yang lain) dari kelompok ini terhadap bahasa ibunya.
Memperbincangkan bahasa, di dalamnya akan tercakup pula sebuah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dari cara berpikir dan olah rasa sebuah masyarakat. TUK merupakan salah satunya, yang mendedah persoalan (berikut bagaimana masyarakat menanggapi) mereka sehari-hari dari sudut pandang "masyarakat magersari" hingga titik nadir: ketersingkiran, keterdesakan, ketiadaan.
Di balik kenyataan kehidupan masyarakat TUK yang tak ubahnya "toserba" kepahitan hidup. Serba ada: kemiskinan, kesedihan, tangis, pergunjingan, pertikaian, persaingan, skandal, dan sebagainya. Namun dari tempat itulah dapat kita temukan potret perjuangan, kegelisahan atas kesewenangan, keguyuban atas kemiskinan bersama, keuletan di dalam kepahitan.
Barangkali Mbah Kawit, dimainkan dengan baik oleh Pipiek Isfianti, bisa menjadi seorang warga magersari yang menjaga tanah-airnya, tumpah darahnya, dengan tekun dan setia menghidup-hidupi semangatnya di sepanjang hidupnya. Lalu juga Bismo, diperankan oleh Jesy Segitiga yang selalu menjadi poros tengah atas berbagai ketakseimbangan yang terjadi di lingkungannya. Bahwa selalu saja ada di antara kita yang menawarkan jalan keluar memberikan penghiburan, mendengarkan tangisan dan mengelola kesemuanya sebagai harmoni itu sendiri di kehidupan bermasyarakat.
Teater Keset pada pementasan TUK juga didukung penampilan aktor Diajenge Zaky sebagai Sulaiman yang temperamental, Dito Morra yang bermain karikatural sebagai Bibit, semakin menghangatkan suasana segar dengan joke-joke yang konyol dan berhasil membuat penonton terpingkal.
TUK dan penampilan Teater Keset kesebelas ini semakin menegaskan posisi Teater Keset itu sendiri di masyarakat penonton Kudus, sebagai teater yang wajib ditonton.
Tidak ada gading yang tak retak, tidak ada sebuah hasil yang sempurna, bahkan meskipun kita telah mengupayakannya sesempurna mungkin. Memasuki babak kedua hingga menyentuh babak ketiga, permainan terasa berjalan lebih lambat. Greget yang sudah dibangun semenjak awal, terutama karena banyak (sering)-nya "misuh" sebagai salah satu dagangan banyolan, sepi di bagian tengah.
Saya tidak mengerti, kenapa "misuh" dalam permainan di atas panggung selama ini menjadi sesuatu yang menarik bagi kita. Saya juga tidak mengerti, apakah kita tengah tertawa untuk kelucuan itu, atau kita tertawa karena kita tengah menertawakan diri kita sendiri. Tetapi yang pasti, kita tidak sedang menampar tanah-air kampung halaman kita sendiri untuk kemudian kita khianati, bukan?
Oleh karena itulah, menurut saya, Teater Keset telah menjadi salah satu teater yang pentas-pentasnya wajib kita tonton. Selamat dan sukses Teater Keset!
-asajatmiko-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H