Mohon tunggu...
As. kwok
As. kwok Mohon Tunggu...

jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tuhan pun Menangis!!!

28 Juli 2010   17:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:32 1944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_207743" align="alignleft" width="253" caption="(comotan dr google.com)"][/caption]

Reaksi paling nomor satu saat manusia memasuki dunia ini adalah menangis. Begitu lengkingan suara tangis memecah suasana, sang ibunda langsung tersenyum penuh bahagia. Inilah pemandangan aneh tetapi alami dan tulus tetapi penuh misteri. Sebuah tangisan bayi bergabung dengan senyum ibu.

Gabungan dua pemandangan ini rupanya seumur jagung. Orang dewasa di sekitar bayi akan segera bertindak meredam tangis dengan menggendong, menepuk-nepuk pantat, menimang-nimang, etc. Tangisan dan senyuman pelan-pelan bercerai. Pada masa kanak-kanak tak jarang orang yang telah dewasa begitu gelisah mendengar tangisan, “Pusing aku, kalau dengar dia nangis terus.” Bahkan, larangan dengan nada tinggi seringkali terjadi,“Ayo diam, ya! Jangan menangis!”

Tak heran, semakin bertambah usia semakin berkurang frekuensi menangis. Alasan klasik atas erosi tangisan ini adalah kedewasaan, “Udah gedhe tak pantas untuk nangis!” Seseorang yang suka menangis dianggap cengeng, kekanak-kanakan, etc. Keadaan semakin parah, apabila yang suka menangis itu seorang laki-laki. Gelar-gelar yang berlawanan dengan konsep kedewasaan segera dilekatkan. Tangisan yang dibawa setiap orang tanpa dipelajari itu dikalahkan oleh rasionalitas tentang ketegaran, kedewasaan, kejantanan, dll.

Namun, lagi-lagi ada yang aneh, ketika seseorang itu meninggalkan dunia (mati), justru disertai tangisan spontan oleh orang lain. Atau kalau tidak, pihak keluarga terpaksa menyewa tukang tangis bayaran untuk mengiringi kepergian sanak kerabatnya itu. Bagaimana berdiri di atas situasi paradoks ini? Mari kita sedikit mengoyak hati dan pikiran.

Pertama, TUHAN PUN TERHARU DAN MENANGIS! Kitab Injil mencatat sebanyak dua kali Yesus menangis, yakni pada peristiwa kematian Lazarus dan saat memasuki kota Yerusalem. Kalau dihitung dengan peristiwa kelahiran alamiah di kandang Betlehem, maka ada tiga kali Yesus menangis. Realitas ini sungguh-sungguh mengejutkan. Bagaimana mungkin Yesus bisa menangis? Untuk apa Yesus membiarkan air mata-Nya sampai membanjiri pipi-Nya?

Rupanya, muara dari dua peristiwa Yesus menangis itu ada pada iman orang Yahudi. Tatkala Lazarus mati, Yesus menangisi sahabat-Nya itu. Lepas dari unsur manusiawi-Nya yang tak bebas dari perasaan kehilangan seorang sahabat, tangisan Yesus lebih karena ‘terpaksa’ membangkitkan Lazarus untuk membuktikan adanya kebangkitan badan. Dia menangisi orang-orang Yahudi, tokoh Agama, dan ahli Kitab yang lamban, tegar hati, dan tidak mau percaya.

Peristiwa di Yerusalem semakin menegaskan akan kedalaman maksud tangisan. Dalam sejarah nabi-nabi, mayoritas utusan Allah mengakhiri hidup secara mengenaskan di kota suci Yerusalem. Mereka mati dibunuh di kota itu, karena mewartakan kehendak dan rencana Allah. Kini, Yesus sendiri harus mengalami hal yang sama di kota yang sama pula. Mereka yang dicintai-Nya lebih memilih hidup menuju kehancuran daripada damai yang diberikan Tuhan.

Dalam kematian Lazarus, Yesus menangis karena harus menunda kematian sahabat-Nya demi iman orang Yahudi. Lantas, saat memandang Yerusalem Dia menangis lagi karena harus melihat kematian orang-orang yang dicintai-Nya menuju kebinasaan. Yesus menangis karena cinta yang tulus dan begitu mendalam di tengah hamparan pengabdian secara murni sampai titik salib Kalvari. Tetesan air mata perjuangan-Nya dalam rangka mengembalikan martabat manusia yang luhur ini telah dipuncaki dengan tetesan darah.

Kedua, MENANGISLAH DALAM SETIAP PERJUANGAN! Orang yang menangis karena memerjuangkan kehidupan dipuji oleh Tuhan. Tangisan demikian tak menghentikan aliran air mata sebelum mencapai keberhasilan. Bahkan, di saat celah-celah harapan begitu terlihat sempit dan samar, tetes-tetes air mata tetap mengalir disertai tindakan penuh harap. Hal ini semakin menguat ketika kita menengok kata-kata indah, “Orang-orang yang menabur dengan bercucuran air mata akan menuai dengan bersorak-sorai.”

Pengalaman mengesankan bisa kita temukan dalam diri Santa Monika. Air mata menjadi makanannya siang dan malam untuk pertobatan putra terkasihnya, Agustinus. Ketika kata-kata sudah buntu, lidah telah kelu, air mata menjadi alat penuh rindu sekaligus harapan yang pasti akan kebaikan Tuhan. Hatinya tak pernah tenang sebelum anaknya benar-benar damai dalam pangkuan Allah. ‘Mukjizat air mata’ terjadi, Agustinus kembali bertobat.

Garis akhir sebuah perjuangan dengan keluh kesah disertai cucuran air mata selalu kepada kemenangan jaya. Pada akhirnya, situasi demikian akan membuat ratapan jadi kegembiraan, berdukacita berubah menjadi sukacita. Kalau demikian, menangis bukanlah tindakan sentimentil yang dibuat-buat agar menimbulkan belas kasihan, namun luapan tak terbendung manakala semua olah tubuh, pikiran, dan hati menemui titik buntu. Aliran air mata menandakan tak hentinya sebuah harapan akan masa depan indah yang pasti akan terjadi.

Ketiga, JANGAN MELUPAKAN INTI HIDUP DENGAN MENANGIS! Tindakan menangis tidak saja kegiatan seputar perasaan, tetapi juga cetusan rasionalitas. Menangis yang tidak rasional justru akan membuntu harapan sekaligus melemahkan tindakan nyata. Menangis hanya karena terharu, tetapi tidak menimbulkan pengertian dan kesadaran untuk mengubah diri tak akan menyelesaikan masalah. Pembalikan konsep mesti terjadi: berjuang dengan jerih payah, gigih, dan penuh minat mesti didahulukan. Kalau toh dalam pelbagai perjuangan itu air mata ikut serta menyertai, hal itu dipandang sebagai sebuah kewajaran dan justru makin meneguhkan harapan.

Dalam kasus menangisi kepergian orang yang sangat dicintai, di situ kita temukan sebuah kewajaran. Dalam mayoritas budaya kita, menangis untuk mengiringi kematian sanak saudara dan handai taulan adalah ungkapan hati yang sangat umum, sehingga patut untuk dimaklumi. Bahkan, orang akan curiga kalau saat menyedihkan itu tidak ada tangisan dan air mata yang menetes. Sebaliknya, kalau ada anggota keluarga yang berduka bisa menangis sampai pingsan, cap-cap baik akan segera dikenakan. Boleh jadi, seberapa liter air mata yang tertuang merupakan tolok ukur cinta seseorang pada yang meninggal.

Namun, kewajaran menangisi kematian sesama pun bukan merupakan sebuah puncak cinta. Bagaimanapun tangis akan berhenti dan hidup akan jalan terus. Menangis dan hanya menangis tak memberi perubahan berarti. Menangis mesti dilanjutkan dengan muatan ganda: a). menolong yang mati dengan persembahan doa dan juga matiraga, sehingga mereka mengalami damai abadi; b). menolong diri sendiri dengan menjadikan hidup lebih baik, agar kematian yang juga akan dialami tidak benar-benar mati tetapi hidup abadi. Kalau demikian, menangis memiliki dimensi introspeksi atau penyadaran diri menuju hidup sejati. Kita tidak menangis sebatas kekinian, tetapi menelusuri peziarahan air mata dalam kebakaan.

TITIK SIMPUL:

Menangis yang disertai tetes-tetes keringat usaha untuk menjadikan diri pribadi makin baik seimbang dengan doa yang dipanjatkan. Bercak-bercak tangisan yang seperti ini merupakan bentuk cinta kepada Allah, kepada sesama, kepada diri sendiri, dan kepada alam semesta. Butiran air mata mesti dirangkai secara holistik dalam proses menjadikan dunia dan seisinya lebih sempurna seperti sedia kala. Demikianlah, tangisan hakiki selalu menyiratkan adanya iman dan memantapkan harapan gemilang di masa datang, sehingga memancarkan cinta yang mendalam di tengah kehidupan.

Manusia telah memulai hidup di dunia ini dengan sebuah isak tangis alami tanpa ketidaktahuan. Maka, kita melanjutkan perjalanan hidup ini dengan pergulatan penuh kerja keras untuk mendamaikan hati yang rindu akan cinta. Kita berharap, pada penghunjung hidup kita di dunia ini Allah sendiri akan mengusap air mata dukacita untuk diganti dengan sukacita kemenangan abadi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun