Mohon tunggu...
Arzety Putri Paramita
Arzety Putri Paramita Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa UPI Kampus Daerah Cibiru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan Humanisme-Religius di Era Revolusi Industri 4.0 Sebagai Pengimplementasian Nilai Pancasila

9 Desember 2022   12:58 Diperbarui: 9 Desember 2022   13:34 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sedangkan, Ki Hadjar Dewantara atau yang biasa kita kenal Bapak Pendidikan mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses yang menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar nantinya sebagai manusia dan anggota masyrakat mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Kesesuaian konsep pendidikan humanis dengan konsep Ki Hadjar Dewantara ini, menurut Makin (2007, p. 23) mampu membentuk individu yang sadar akan kebebasan dan tanggung jawab sebagai pribadi yang individual, tetapi bertanggung jawab akan lingkungan masyarakatnya.

Menurut Muthoifin (2015), penjabaran konsep humanis-religius dari pandangan yang di gagas Ki Hadjar Dewantara mampu mengarahkan pendidikan untuk mengalami perubahan lebih baik dalam kondisi apapun di era apapun termasuk era revolusi industri 4.0. Dapat dilihat berdasarkan sudut pandang isi gagasan tersebut, pandanngannya memiliki kriteria yang secara eksplisit memuat unsur, sebagai berikut: 1.) Pendidikan kebebasan (Merdeka); 2.) Pendidikan kemanusiaan (Humanisme); 3.) Pendidikan spritual (Kodrat Alam); 4.) Pendidikan budi pekerti; 5.) Pendidikan sosial (Kekeluargaan); dan 6.) Pendidikan kepemimpinan (Tut Wuri Handayani). Unsur-unsur tersebut tidak dapat dipisahkan karena berkesinambungan dalam kesempurnaan memajukan kehidupan generasi muda.

Ariawantara (2017) mengatakan Pancasila tidak bersifat kaku dan tertutup tetapi Pancasila sebagai ideologi bersifat bergerak (dinamis), aktual, dan tanggap sehingga mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Revolusi industri 4.0 hadir dengan membawa tantangan tersendiri terhadap nilai-nilai Pancasila dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, konsep pendidikan humanisme-religius hadir sebagai solusi untuk terus menanamkan dan meningkatkan aspek humanis dan nilai religius sebagai pengimplementasian nilai Pancasila melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter dicanangkan sebab selain diperlukannya konsep dan pola pembelajaran, diperlukan juga bekal persiapan untuk peserta didik dalam melawan perubahan zaman. Melihat berbagai kemajuan tentang pendidikan di negara lain menjadikan Indonesia untuk semakin melakukan perkembangan tidak hanya perkembangan  pada kecerdasan intelektual peserta didik saja, tetapi juga perkembangan pendidikan terhadap aspek yang mengakibatkan tak terarahnya perkembangan terhadap pribadi individu peserta didik yang memiliki begitu banyak potensi. Oleh sebab itu, konsep humanis-religius melalui pendidikan karakter juga mengembangkan potensi peserta didik yang memiliki potensi bersosial, bermoral dan cerdas dalam hal spiritual. Dengan begitu, pendidikan karakter dengan konsep humanis-religius ada untuk menjadi indikator bagi pendidikan yang diterapkan serta meminimalisir pengaruh globalisasi di era revolusi industri 4.0.

Hadi Rianto (2016) menyatakan pendapatnya, bahwa Pancasila sebagai ideologi negara secara menyeluruh merupakan perwujudan nilai-nilai kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Indonesia. Sebab, sila-sila Pancasila merupakan nilai dasar bangsa Indonesia yang mampu menjalankan kehidupan bernegara dan berbangsa di berbagai aspek (Nurgiansyah, 2021a).

Rukiyati & L. Andriani  di dalam penelitiannya tentang model pendidikan karakter berbasis kearifan lokal mengatakan, "Pendidikan karakter berupaya untuk membimbing perilaku manusia menuju nilai-nilai kehidupan ". Bahkan di dalam Easterbook & Scheets (2004: 256), Lickona menyatakan "Character education is the deliberate effort to develope virtues that are good for the individual and good for society". Dari pernyataan tersebut, semakin kuat lah upaya yang dilakukan pendidikan pada era revolusi industri 4.0 melalui pendidikan karakter, dimana diharapkan pada nantinya mampu membawa peserta didik dalam lingkungan yang baik akibat dari perkembangan kebajikan yang dilakukan secara berulang di dalam dirinya.

Sukartono (2018, p. 2) dalam sebuah survei perusahaan perekrutan internasional, Robert Walters, bertajuk Salary Survey 2018, menyebutkan bahwa fokus perubahan bisnis ke platform digital telah memicu permintaan SDM yang memiliki kompetensi jauh berbeda dari yang sudah ada. Hal ini menjadi bukti kuat, bahwa dalam menghadapi perubahan zaman pentingnya pola pembelajaran yang tepat serta penanaman pendidikan karakter sangat dibutuhkan di era mendatang dalam lingkup memajukan bangsa dan tuntutan karakteristik tenaga kerja (Marsono, 2019).

Wagner (2008) berpendapat bahwa ada 7 keterampilan hidup pada abad 21, yaitu (1) Keterampilan berpikir kritis dalam memecahkan permasalahan; (2) Keterampilan bekerja sama untuk membangun jaringan yang juga mempengaruhi keterampilan kepemimpinanannya; (3) Keterampilan beradaptasi untuk mengubah arah dengan bergerak cepat dan efektif; (4) Keterampilan berwirausaha melalui potensi intelektual yang dimiliki; (5) Keterampilan menulis dan berbicara secara efektif; (6) Keterampilan menganalisis informasi untuk digunakan; dan (7) Keterampilan keingintahuan dan mengimajinasikannya.

Peran pendidik sebagai fasilitator di saat inilah, dibutuhkan untuk membentuk kepekaan peserta didik terhadap berbagai aspek pembelajaran sebagai bekal mengahadapi perubahan zaman. Sehingga, sangat penting bagi pendidik mengenali karakter pribadi peserta didik terlebih dahulu sebelum terjadi proses belajar-mengajar. Pengenalan karakter dapat dilakukan melalui interaksi sosial, interaksi yang terjalin akan mempengaruhi perilaku peserta didik. Interaksi yang positif antara pendidik dengan peserta didik biasanya menghasilkan peserta didik yang berprestasi dan terampil dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Sebab, interaksi tersebut menciptakan lingkungan proses belajar yang kontributif menyenangkan bagi peserta didik sehingga mencapai tujuan pembelajaran akan semakin mudah.

Al-Ghazali berpendapat bahwa tugas guru di dalam proses belajar mengajar, sebagai berikut (M. Shabir, 2015) :

  • Guru diharapkan mampu membagi rasa kasih sayang tanpa memandang status apapun kepada peserta didik seperti halnya memperlakukan anak sendiri.
  • Sebagai seorang guru tidaklah mengharapkan pembalasan akan tetapi mengharapkan keridhoan Tuhan dengan mendekatkan diri kepada-Nya melalui pengajaran.
  • Berupaya memberikan nasehat dan saran di setiap kesempatan sebagai arahan bagi peserta didik.
  • Guru cakap dalam mencegah negatifnya moral peserta didik dengan secara langsung bersikap, dapat juga melalui sindiran yang tidak menjurus pada terjadinya pencelaan.
  • Dalam menggunakan ilmunya seorang guru harus lain kata akan tindakannya.

Dari dasar-dasar diatas, untuk menjawab dan melawan disrupsi zaman yang terus mengalami perubahan begitu cepat dan tidak terkendali, pembentukan karakter dengan melalui pendidikan humanis-religius dirasa kuat dan mampu menjawab permasalahan yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun