Mohon tunggu...
ARZETTI BILBINNA N
ARZETTI BILBINNA N Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Suka bikin konten di Channel YouTube Arzetti Bilbinna N & TikTok @berpikirwaras

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Port of Tuban: Transformasi Pasang Surut Perekonomian Masa Kolonial Abad 19-20

3 Juni 2024   15:00 Diperbarui: 4 Juni 2024   09:33 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelabuhan Tuban yang terletak di pesisir utara Jawa  memiliki sejarah panjang dan kaya sehingga tepat untuk dijadikan sebagai pusat perdagangan maritim. Tuban menjadi tempat adibintang sejak masa kerajaan. Hal ini tidak mengherankan jika Tuban dijadikan sebagai kawasan pusat perdagangan di Pulau Jawa. Sebagaimana dijelaskan oleh Graf & Pigeud (2001) bahwa sejak awal pemerintahannya, Tuban memang memposisikan dirinya sebagai wilayah bawahan kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Selain itu, menurut Casparis (1958), bahwa Airlangga telah membagi pelabuhan atau pusat perniagaannya menjadi 2, yaitu: pelabuhan Hujung Galuh dan pelabuhan Kambang Putih. Kedua pelabuhan ini dibedakan melalui fungsinya karena memiliki letak yang berbeda. Pada Pelabuhan Hujung Galuh digunakan sebagai pusat perdagangan lokal karena lokasinya berada di pedalaman, sedangkan pada Pelabuhan Kambang Putih digunakan sebagai pelabuhan internasional karena lokasinya yang langsung menuju laut.

Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, pelabuhan ini mengalami berbagai perubahan yang cukup signifikan. Hal ini dapat terjadi karena dipengaruhi oleh dinamika politik dan ekonomi yang muncul pada masa kolonial. Dalam kurun waktu tersebut, pelabuhan Tuban tidak hanya menjadi saksi bisu, tetapi juga berperan aktif dalam perkembangan ekonomi di Nusantara. Pelabuhan Tuban juga merupakan salah satu pelabuhan penting di Jawa. Letaknya yang strategis di pesisir utara menjadikannya titik penghubung antara Jawa dengan kepulauan lainnya di Nusantara, serta dengan dunia luar seperti Cina dan India. Aktivitas perdagangan di pelabuhan ini sangat sibuk dengan berbagai komoditas seperti beras, rempah-rempah, kain, dan hasil bumi lainnya yang diperdagangkan oleh para pedagang lokal maupun asing. Pelabuhan Tuban juga menjadi pusat distribusi hasil bumi dari pedalaman Jawa ke berbagai daerah, sehingga mendukung perekonomian lokal.

Kedatangan kolonial Belanda membawa perubahan besar bagi perekonomian pelabuhan Tuban. Pada pertengahan abad ke-19, Belanda mulai memperkuat penguasaan mereka atas Jawa dengan menerapkan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel. Sistem ini memaksa petani lokal di Tuban untuk menanam komoditas ekspor seperti kopi, gula, dan tanaman indigo yang kemudian dijual oleh pemerintah kolonial di pasar dunia. Penanaman masa ini difokuskan pada kebutuhan pasar luar yang kemudian menjadikan tanah pribumi sebagai produksi untuk pendistribusian aktivitas perdagangan eksport. Hal ini memunculkan dampak positif yang menjadikan pelabuhan-pelabuhan di bawah kekuasaan Belanda mengalami peningkatan aktivitas perdagangan komoditas tersebut, sementara bagi pelabuhan-pelabuhan yang tidak menjadi prioritas oleh pemerintah kolonial, seperti Pelabuhan Tuban, mulai mengalami penurunan.

Pada akhir abad ke-19, mengalami perubahan kebijakan kolonial Belanda dengan dihapuskannya sistem tanam paksa yang digantikan dengan kebijakan politik etis atau politik balas budi sebagai perwujudan rasa balas budi pihak kolonial kepada pribumi. Kebijakan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi dengan membangun infrastruktur seperti: jalanan, irigasi atau pengairan, dan pelabuhan. Tuban sendiri digolongkan sebagai sebuah kabupaten yang makmur pada pada kisaran tahun 1900-an. Hal tersebut tidak terlepas dari adanya kemajuan dari aktifitas penduduknya secara homogen. Kemajuan tersebut yang membuat tingkat populasi di Tuban juga ikut meningkat. Berdasarkan data yang tercatat bahwa komposisi penduduk sekitar tahun sekitar tahun 1920-an adalah 426.975 jiwa. Yang terdiri dalam pembagian sebagai berikut:

  • 130 orang Eropa,
  • 421.770 pribumi,
  • 3.599 Tionghoa
  • 468 adalah Arab dan warga asing lainnya.

Catatan kependudukan tersebut sebagian besar dilakukan kepada penduduk yang bertempat tinggal disekitar pesisir Pelabuhan Tuban. Kemudian, sebagian lainnya merupakan penduduk yang tersebar mengikuti pola pemukiman yang potensial, seperti di tepi Sungai Bengawan Solo. Selama berabad-abad, masyarakat Cina terus memainkan peranan penting di wilayah Tuban. Hal ini memunculkan dampak ekonomi yang berkembang lebih baik di Tuban.

Pelabuhan Tuban tahun 1911, KITLV.
Pelabuhan Tuban tahun 1911, KITLV.

Dampak ekonomi ini dapat dilihat dalam masalah perdagangan. Seperti masyarakat yang tinggal di sekitar Pelabuhan Tuban, khususnya pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pelabuhan Tuban yang sebelumnya tidak difungsikan, kemudian mulai dibangun kembali. Perkembangan tersebut tentunya membawa pengaruh bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Dampak ekonomi yang dirasakan penduduk di sekitar Pelabuhan Tuban, yakni terjadi pergeseran atau perubahan dominasi dalam bidang perdagangan. Arus distribusi sebelum kedatangan Hindia Belanda telah dikuasai oleh pribumi. Setelah datangnya pemerintah Hindia Belanda kemudian beralih ke tangan mereka. Adapun komoditas tanaman yang menarik di Tuban  masa kolonial yang banyak diminati yaitu dengan keberadaan pohon jati di Tuban sangat melimpah, sehingga pada masa Hindia Belanda dilakukan eksploitasi secara besar-besaran. Hal ini mengakibatkan jumlah pohon jati mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Perusahaan-perusahaan swasta banyak yang membutuhkan pohon jati untuk bahan baku industri. Sehingga, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan kontrak penebangan hutan kepada penguasa Tuban. Kualitas dari kayu jati lebih bagus dibandingkan dengan kayu oak, yang dapat dijadikan sebagai bahan pembuatan kapal. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya industri kapal dan perahu yang ada di sepanjang wilayah Pelabuhan Tuban. Kapal dan perahu buatan Tuban tidak kalah kualitasnya dengan buatan Eropa.

Meskipun demikian, pelabuhan Tuban tidak mendapatkan perhatian yang signifikan dalam pembangunan ini. Fokus utama pemerintah kolonial tetap pada pelabuhan-pelabuhan besar seperti Batavia (Jakarta), Surabaya, dan Semarang. Akibatnya, pelabuhan Tuban mengalami stagnasi dan bahkan kemunduran dalam aktivitas ekonominya. Selain faktor kebijakan kolonial, perkembangan teknologi maritim juga mempengaruhi transformasi pelabuhan Tuban. Dalam konteks ini, transformasi perkembangan pelabuhan Tuban dari masa kejayaan hingga kemundurannya mencerminkan dinamika ekonomi kolonial dan perubahan teknologi maritim pada abad ke-19 hingga ke-20. Studi mengenai pasang surut pelabuhan Tuban tidak hanya memberikan pemahaman tentang sejarah ekonomi lokal, tetapi juga tentang bagaimana kebijakan kolonial dan perkembangan teknologi dapat mempengaruhi pusat-pusat perdagangan maritim di Nusantara. Dengan demikian, penelitian ini penting untuk menggali lebih dalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pelabuhan Tuban dan implikasinya bagi perekonomian regional dan nasional.

Pelabuhan Tuban tahun 1920, KITLV.
Pelabuhan Tuban tahun 1920, KITLV.

Pada perkembangan lebih lanjut, jauh di abad ke 19 yaitu akhir abad 18 dikatakan, bahwa secara perlahan Pelabuhan Tuban mulai bangkit setelah mengalami keterpurukan. Periode antara tahun 1850– 1870 M ditandai oleh pesatnya kemajuan perdagangan Eropa, dan Negeri Belanda mendapat keuntungan yang banyak dari perkembangan ini. Hal ini membuat banyak didirikannya berbagai cabang  industri, seperti pabrik-pabrik, jalan-jalan kereta api, pelayaran sangat maju dengan cepat hingga pada pendirian bank-bank baru. Meskipun pada awal abad 20, Pelabuhan Tuban dilewati jalan kereta api dengan sebuah stasiun, akan tetapi alat transportasi tersebut tidak banyak menolong terhadap perkembangan perkembangan perekonomian di Tuban. Selain itu dampak lain yang tidak kalah penting, dalam kemunduran Pelabuhan Tuban yaitu dengan kemunculan Revolusi industri. Hal ini membawa perubahan signifikan dalam teknologi maritim, terutama peralihan dari kapal layar ke kapal uap. Kapal uap memerlukan infrastruktur pelabuhan yang lebih canggih, termasuk dermaga yang kuat dan fasilitas perawatan. Pelabuhan Tuban yang infrastrukturnya tidak berkembang pesat sebagaimana seperti pelabuhan lain, membuat pelabuhan ini tidak mampu mengakomodasi kebutuhan kapal-kapal uap ini. Untuk itu, tidak menutup kemungkinan pada Pelabuhan Tuban menjadi kehilangan daya saingnya dibandingkan pelabuhan-pelabuhan besar yang telah dimodernisasi (seperti pada Pelabuhan Surabaya). Dengan adanya pelayaran yang sangat maju tersebut, membuat pembangunan pada beberapa pelabuhan lainnya mulai sering dilakukan serta lambat laun menjadikan Pelabuhan Tuban ditinggalkan.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kebijakan politik etis diterapkan oleh Belanda untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi melalui pembangunan infrastruktur. Meskipun demikian, pelabuhan Tuban tidak menjadi prioritas dalam program ini. Investasi lebih banyak diarahkan ke pelabuhan besar yang dianggap lebih strategis dan menguntungkan. Akibatnya, Pelabuhan Tuban mengalami ketertinggalan dalam modernisasi fasilitas yang diperlukan untuk mendukung kapal-kapal uap yang semakin dominan dalam perdagangan maritim. Pelabuhan Tuban juga pergeseran tempat, dari yang semula berada di Pacinan dan Kajongan berpindah ke sekitar Boom, Pasar dan Kawatan. Pergeseran tempat tersebut kemungkinan terjadi pendangkalan di depan Kajongan dan munculnya Boom yang kemudian menjadi tempat pemusatan sandar perahu. Perpindahan ini dimungkinkan terjadi dimasa kolonial Belanda yang memanfaatkan Boom sebagai tempat pengiriman barang-barang komoditas lokal seperti kayu jati, indigo atau tarum, dan unggas-unggasan. Hal ini menunjukkan bahwa pelabuhan Tuban pada masa Belanda masih digunakan, namun bukan menjadi pusat pelabuhan melainkan hanya sebagai pelabuhan kecil atau penunjang. Transformasi pelabuhan Tuban dari masa kejayaannya di awal abad ke-19 hingga kemundurannya pada abad ke-20 dipengaruhi oleh berbagai faktor. Kebijakan kolonial seperti sistem tanam paksa dan politik etis, perkembangan teknologi maritim, serta dampak perang dunia memainkan peran penting dalam perubahan ini. Kurangnya investasi dan perhatian dari pemerintah kolonial dan nasional dalam mengembangkan infrastruktur pelabuhan Tuban menyebabkan pelabuhan ini tidak mampu bersaing dengan pelabuhan besar lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun