"But do you undestand I cry to her ?, do you understand that along with happiness,in the exact same way, in perfectly equal proportion, man also needs unhappiness"~ Dostoevsky on Demon
Itulah segelintir kalimat yang kusalin pada buku catatanku sebelum benar-benar mengetahui siapas sesungguhnya Dostoevsky itu. Dan hari ini biar kuperkenalkan terlebih dahulu dengan mainan baru saya, sebuah gitar Kw Yamaha Apx yang kurang lebih sudah hampir tiga minggu menemani saya untuk berkenalan dengan nada-nada beserta alasan-alasan substansial mengapa nada-nada tersebut familiar ditelinga kita.
Kuranglebih setahun yang lalu, saya belajar dengan beberapa orang untuk mendalami teknik ataupun metode penelitian etnografi, bagi kalian yang masih asing dengan istilah ini silahkan untuk mencari tahu terlebih dahulu karena belum kapasitas saya dalam menerangkan lebih lanjut mengenai implementasi dari metode ini.jelasnya, metode ini adalah bagaimana cara kita untuk terlibat langsung dalam objek penelitian kita.Â
Saya akan memaknai perjalanan unhappiness ini sebagai perjalanan eksistensial,Martin Heidegger selaku salah seorang filsuf eksistensialis pernah mengemukakan bahwa eksistensialisme merupak bagian yang padu terhadap hal-hal yang eksistensialis dan esensialis. Maka, beberapa bulan yang lalu, saya mengalami kegelisahan luar biasa dalam mendalami tulisan-tulisan yang ditulis oleh Nizami atas karyanya yang berjudul Mahabbah, begitu pula berlaku dalam karya Buya Hamka yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka'bah.Â
Walaupun narasi yang diusung oleh mereka adalah kejadian-kejadian yang lekat dengan kehidupan kita, namun adaperasaan hambar yang bagi saya memuakkan. Barangkali hal tersebutlah yangdialami oleh Multatuli sebagaimana yang ia gambarkan pada bab pertama Max Havelar bahwa Suatu fiksi adalah kesesatan dan  kebohongan yang dirangkai melalui retorika bahasa tanpa adanya suatu landasan dalam berlogika. Pernyataan ini mengusik batin saya, walaupun pada akhirnya kita tahu bahwa pernyataan tersebut merupakan alegori dari fokus atau kisah yang sebenarnya ia ingin tonjolkan.
Dan akhirnya,berkenalanlah saya dengan apa yang disebut oleh orang sebagai "cinta", walaupunpada akhirnya kita tahu bahwa ada konsepsi yang bias antara "cinta" dan "nafsu".Untuk melakukan pendalaman konsep ini saya mencoba memasuki dunia yang masihasing bagi saya dengan gaya-gaya etnografi, terlibat seperti tidak terlibat. Maka,saya mendapati pengalaman yang luar biasa mengenai konsepsi pacaran yangnantinya akan saya jelaskan melalui artikel lain dengan menggunakan paradigm Postmodern milik Baudrillard, Foucalt, dan beberapa pemikir lainnya. Tentu dengan menimbulkan satu pertanyaan yang belum terjawab, yaitu kemunculan sebuah depresi terlepas dari pengaruh hormonal maupun adrenaline yang dimiliki berbeda oleh masing-masing individu.Â
Lalu,berdasarkan pengalaman kurang lebih lima bulan untuk melakukan keterlibatanpeneliti terhadap objek kajiannya, saya mulai paham mengapa pendekatan psikologis menjadi unsur menarik dari kedua novel tersebut, walaupun keterlibatannya tidak dominan. Tetapi saya tidak memungkiri bahwa mimesis yang dilakukan oleh Buya Hamka maupun Nizami adalah suatu mimesis yang tidak dilakukan secara setengah-setengah. Bahkan, jika boleh berpendapat secara ekstrem, musik-musik galau yang menampilkan ekspresi lirik yang begitu depresi cukup menganggu,bahkan beberapa kali memberikan efek yang simultan.Â
Lalu,saya pun beranjak untuk menelusuri keindahan music setelah saya dibuat pukau oleh Seno Gumira dengan novelnya Jazz, Parfum, dan insiden. Dalam novel itu, Seno m musik Jazz serta kritik sosialnya dengan bahasa-bahasa yang cermat sehingga menjatuhkan pilihan saya sekali lagi untuk berkenalan dengan genreini.Â
Dan sayapun tahu, di tengah budaya konsumerisme yang merebak dan semakin dominan dalam masyarakat kita, kadangkala kita menuntut untuk berlaku secara instan. Padahal tidak banyak cara yang bisa diraih dengan instan, makan menjadi bagian dari jalan unhappiness adalah perjalanan-perjalan yang bakal tidak terduga.
Surabaya,11 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H