Mohon tunggu...
Ary Wibowo
Ary Wibowo Mohon Tunggu... -

adalah desainer grafis yang juga menulis cerpen dan puisi. suka menikmati pagi di taman kota sambil bersepeda.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Matinya Seorang Ateis

30 Juli 2010   10:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:27 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

PERASAAN ngeri seolah terus berbisik dari balik bantal empuk tempat aku membaringkan kepala. Terlentang memandangi langit-langit kamar. Kenangan berhamburan, datang dan pergi seperti kelebat sinar sebuah proyektor yang memendar pada bentangan layar di depan mata.

Sri, mengapa engkau membiarkan kenangan-kenangan ini mengiris-iris dadaku. Kenangan yang setiap kali datang hanya untuk menyakiti. Selalu menyelinap menjelang tidur maupun ketika aku terjaga di pembaringan. Bukan karena kenangan pahit, Sri. Tapi kenangan tentangmu. Kenangan indah waktu pertama kali kita membuka lembar hidup bersama. Ketika cinta menengadahkan wajah pada kita, dan aku mengambilmu dari sebuah rumah bordil. Membawamu pulang menjadikanmu istri yang melahirkan anak-anakku.

Bertahun-tahun di kamar ini aku sendiri semenjak kau pergi meninggalkanku. Meninggalkan kedua anak yang masih membutuhkan dekap kasih sayangmu. Kau pergi menghilang dari cinta. Dan kebahagiaan yang kita bangun kemudian runtuh menjadi serpihan kenangan, berhamburan dan seringkali menancap menyakitkkan mataku. Kau tinggalkan anak-anak itu, biji mata hati kita yang setiap hari merengek, menangis dan merepotkanku. Aku yang membuatkan mereka susu dan mengantar mereka ke sekolah. Sejak itu, setiap hari aku bertanya mengapa kau pergi terlalu cepat Sri. Setiap kali duduk termangu, aku bertanya dalam hati, mengapa garis di tanganmu tak pernah mengijinkan hidupmu untuk bahagia. Siapa yang mengukir garis di tanganmu, Sri? Siapa yang menggaris coretan-coretan itu di tangan kita? Garis nasib yang hanya mem­permainkan kita. Mengecap manis kebahagiaan sesaat, namun kemudian membiarkan kita kenyang me­nenggak kegetiran. Atau mungkin kau pulang Sri, ke rumahmu yang tak pernah kutahu darimana kau berasal, karena yang kutahu hanyalah rumah bordil itu kampung halamanmu.

Kini sudah bertahun-tahun Sri, kau pulang ke alam para lelembut yang tak pernah aku percaya itu ada. Yang kutahu, hanya sebuah batu nisan terpahat namamu di pekuburan. Dari lubang itukah kau pulang? Lubang sebesar pintu tempat kita berdiri, memasuki ruangan sempit untuk berbaring selamanya. Dan aku sekarang, di pembaringan kamar ini sendiri, menahan nyeri di kepalaku. Tak ada yang bisa kulakukan. Hanya menerawang kenangan dengan mata yang kosong harapan.

***

"Ayah, Mas, tiba-tiba syarafnya kumat lagi!" suara adik perempuanku terdengar parau di sebe­rang telepon. Aku mengernyitkan dahi. Aku sudah tak begitu kaget mendengarnya, mengingat pola hidup ayahku yang tak mau diatur di usianya yang telah senja. Aku dan Dita, adik perempuanku sudah lelah setiap kali harus mengingatkan tapi tak pernah digubrisnya.

"Kata dokter, salah satu pembuluh darah di kepala ayah pecah," Dita menambahkan. Kini suara perempuan itu semakin berat digelayuti kecemasan.

"Sekarang ayah di mana? Kenapa tak kau panggil ambulan untuk membawanya ke rumah sakit?"

"Dokter tadi sudah memeriksa. Tapi ayah tidak mau dibawa ke rumah sakit, dia memilih ber­baring di kamarnya. Katanya dia akan baik-baik saja, dan merasa lebih nyaman di kamarnya sendiri dari pada di rumah sakit."

Pak tua itu masih juga keras kepala di saat yang kritis seperti ini, batinku.

Segera setelah menutup gagang telepon, aku meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Kucium kening istri mudaku yang masih terlelap di ranjang. Lalu langkah kakiku menuju garasi. Meluncur dengan mobil, meninggalkan halaman rumah istri ketigaku di pagi bergerimis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun