Di Indonesia, guru menurut pandangan saya ada 3 tingkatan. Guru lalu dosen lalu guru besar, mungkin itu sebabnya tidak ada hari dosen karena kalah sebutan, dua lawan satu. Ya, kita hidup di alam demokrasi. Suara terbanyaklah yang menang, dengan rumus abadi tak terbantahkan sejak jaman kuda gigit besi hingga saat ini: 50 % plus 1 suara! Oh maaf, rupanya saya melantur mengenai tingkatan guru.
Kakek pernah bercerita jika sekolah rakyat jaman membayar iuran dengan kayu bakar. Menulis diatas sabak, bentuknya nyaris menyerupai komputer tablet. Menulis di sabak cukup mudah, sedia kapur tulis dan kain penghapus. Jadi, apa yang kakek tulis diingat-ingat lalu ketika pelajaran berganti tulisan itupun dihapus. Kenapa membayar iuran dengan kayu bakar? Kakek saya pernah menjawab pertanyaan itu kepada saya, sayang saya tidak bisa menanyakan ulang kepada beliau. Semoga beliau tenang disana, amin.
Guru itu laksana pelita di kegelapan, ya, setidaknya itu yang difahami, ingat dan nyanyikan semenjak duduk di Taman Kanak-kanak setelah Gelang Sipatu Gelang marilah pulang. Bagaimana bukan pelita, bisa baca tulis itu di kelas 2 SD, ya, saya bukanlah seorang yang pandai.
Jaman keemasan sekolah ketika duduk dikelas 3 SMP. Nilai Bahasa Indonesia kalah dengan Bahasa Inggris. Membanggakan tapi membuat guru bahasa Indonesia saya sedih. Saya masih ingat ibu guru bahasa Indonesia waktu itu. Ibu Rita, maaf ya bu, saya lupa nama kepanjangan ibu.
Masa sekolah menengah atas dilalui tanpa "kenakalan", menyesal sekali. Padahal teman-teman waktu itu di"setrap" (dihukum) gegara tak membawa buku paket. Atau "menghilangkan" buku absensi dan banyak lagi kenakalan yang "terkendali serta bebas bertanggung jawab" lainnya yang saya lewatkan.
Ada seorang guru. Lagi-lagi guru bahasa Indonesia yang selalu berbaik hati. Pak Ade namanya, maaf, saya juga lupa nama panjang bapak (nanti saya cek di akun facebook bapak). Beliau menyatakan bahwa sebaiknya saya masuk kelas Fisika daripada Sosial. Apa lacur, pemahaman saya dengan pelajaran fisika dan kimia tidak memuaskan, dengan berat namun pasti, saya bertahan pada keputusan awal.
Dikelas sosial, mendapatkan pelajaran ketatanegaraan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada bapak guru tata negara. Saya tidak dapat mengingat nama bapak. Setahu saya beliau ada luka codet dikeningnya, karena kecelakaan sewaktu mengendarai sepeda motor dimasa mudanya dahulu.
Dari pelajaran tata negara tersebut, saya bisa membuat bagan perbedaan dan persamaan presidensial dan parlementer (1995). Sadar atau tidak, lulus dari SMA, ikut UMPTN dan mencoba peruntungan agar bisa masuk ke fakultas hukum atau Fisip administrasi negara. Namun gagal, diterimanya di administrasi keuangan diploma tiga lagi.
Setelah mogok tak mau meneruskan kuliah, pada 2010 akhirnya kuliah lagi. Kali ini masuk kuliah dijurusan yang diminati. Saya ingat sewaktu pelajaran Sosiologi. Bahwa bangsa Indonesia dibuai oleh sumber daya alam yang melimpah sehingga malas, cepat berpuas diri, tidak percaya diri dan senang dijajah.
Menurut ilmu sosiologi, suatu masyarakat akan berubah melalui pendidikan, lingkungan, alam dan teknologi. Disadari ataupun tidak, pendidikan dinegeri ini belum menjadi sesuatu yang lumrah yang berlingkungan doyan gibah, alam yang dirusak dan ketertinggalan penggunaan teknologi. Dari mata kuliah Demografi saya fahami bahwa sebaran penduduk di Indonesia ternyata tidak merata sehingga angka pertumbuhan indeks prestasi manusianya pun hanya sebuah rerata sahaja.
Bagaimanapun, sebagai seorang murid dan mahasiswa, saya melewatkan Hari Guru tahun ini. Mohon maaf yang sebesar-besarnya, karena kalianlah saya bisa seperti ini. Ada sebuah anekdot, pesan para guru besar kepada dosen junior. Berramahlah dengan mahasiswa yang sering mendapat nilai A, karena kelak mungkin mereka akan menjadi rekan kerja kita. Kepada mahasiswa yang sering mendapat nilai B, berbaik-baiklah karena mungkin kelak mereka akan menjadi pengusaha yang sukses sehingga mau menjadi donatur sekolah kita. Kepada mahasiswa yang sering mendapat nilai C, berhati-hatilah, mungkin kelak mereka akan mengatur hidup kita kelak dengan legislasi yang mereka buat di DPR sana.