Selama ini Pemilu digembar-gemborkan sebagai salah satau wujud nyata pelaksanaan prinsip demokrasi. Dimana Pemilu dianggap dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya kalo mengacu dari prinsip tersebut di atas, maka seharusnya rakyat adalah partisipasn/peserta aktif dalam sebuha proses pemilu.Tapi benarkah demikian????
Pemilu Legislatif 2014 sekarang diselenggarakan berdasarkan Undang-undang N0.8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota DPRD, DPD dan DPRD Kabupaten/Kota. Dalam Ketentuan pasal 1 ayat 26 UU No.8 tahun 2012 di atas secara nyata ditegaskan bahwa Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan perseorangan untuk Pemilu anggota DPD.
Berdasarkan definisi tersebut di atas, jelas Rakyat atau warga negara Indonesia bukanlah peserta Pemilu Legislatif, karena peserta pemilu legislatif adalah Partai Politik Untuk DPR, DPRD Propinsi/Kota/Kabupaten serta perorangan untuk DPD. Jadi dimana sebenarnya rakyat dianggap punya “andil” berdasarkan definisi Pemilu sebagai perwujudan demokrasi yang “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”-nya???
Sebagaimana lazimnya dalam sebuah kegiatan tertentu, maka yang dapat berperan aktif dan menikmati hasil dan permainan hanyalah peserta dari kegiatan tersebut, yang bukan sebagai peserta cukup sebagai penonton atau komentator saja. Begitu juga dalam pemilu, yang mempunyai peran adalah peserta pemilu saja dalam hal ini Partai Politik dan Calon anggota DPD saja, yang akan menikmati hasil pemilu adalah Parpol dan calon DPD saja, sedangkan Rakyat??? Cukup jadi objek pelengkap dalam suatau hajatan atau kegiatan saja, yaitu jadi penonton atau komentator saja. Apapun teriakan atau komentar dari rakyat, sah-sah diabaikan oleh Peserta Pemilu. Artinya jangan berharap teriakan kita atau komentar kita didengar apalagi diterapkan oleh peserta pemilu tersebut.
Tentunya ironis sekali, Rakyat sebagai pemilik suara justru oleh undang-undang tentang pemilu tidak dikategorikan sebagai peserta pemilu. Rakyat hanya diletakan sebagai objek pelengkap dari hajatan pemilu itu sendiri. Padahal apakah hajatan tersebut dapat terlaksana jika rakyat yang bukan peserta tidak mau datang ke TPS. Sebagai bukan peserta pemilu alias penonton saja, rakyat tidak punya kewajiban untuk datang mensukseskan pemilu. Jadi jangan disalahkan kalo banyak golput, atau rakyat mau datang ke hajatan kalo dapat uang transport atau imbalan tertentu. Karena aturannya memang memposisikan rakyat bukan peserta pemilu lho.
Lha ngapain kalo bukan peserta kita datang ke hajatan orang lain??? Kecuali ada yang ngongkosin he.. he.... Semoga ke depannya aturan pemilu mau menempatkan rakyat sebagai peserta pemilu, bukan Cuma sebagai objek pelengkap untuk datang ke TPS saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H