Mohon tunggu...
Aryo Suto
Aryo Suto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

melihat kearifan Nusantara...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ulama-Santri: Rasa Baru dalam Membaca Sejarah Kemerdekaan RI

6 Januari 2014   00:07 Diperbarui: 2 September 2015   14:57 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1388941438329208553

Judul Buku      : 'Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad; Garda Depan Menegakkan Indonesia 1945-1949'

Penulis             : Zainul Milal Bizawie

Peresensi         : MA. Ariyo Suto

Penertbit          : Pustaka Compass, Tangerang

Tebal               : xxxii + 420 halaman

Ukuran buku     : 16x24 cm

Harga               : Rp. 100.000,-

 

Penulisan sejarah kemerdekaan Indonesia yang ada dalam buku-buku pelajaran, memperlihatkan bagaimana kisah heroik militer dalam peperangan melawan penjajah. Seakan-akan hanya militer-lah kekuatan satu-satunya yang menjadi sebab keberhasilan kemerdekaan. Jika masih ingat bagaimana Deliar Noer dikeluarkan dari tim ketika menggarap “proyek” buku SNI (Sejarah Nasional Indonesia) dan tidak dicantumkan hasil penelitiannya. Dikemudian hari terungkap, alasannya adalah begitu kuatnya pengagungan terhadap peran orde baru dan militernya dalam penulisan tersebut.

Artinya, kepentingan penguasa waktu itu, tidak bisa dilepaskan dari penulisan sejarah. Akhirnya, penulisan sejarah yang tidak sesuai dengan kepentingan penguasa akan diberangus. Sejak dini, Zainul Milal dalam bukunya, “Laskar Ulama-Santri” mengingatkan bahwa sejarah seharusnya mengkaji dengan jernih adanya kepentingan politik yang terdapat dalam relasi kuasa (power relation), atau yang dikenal dengan politik pengetahuan (politik of knowledge). Dengan kata lain, perlunya kesadaran akan kesaling berkelindannya antara penulisan sejarah dengan kekuasaan (hlm. xvi).

Dalam buku ini menjelaskan, sejarah kiprah dan peran penting ulama/kyai dan santri dalam berjuang melawan penjajah, juga menjadi “korban pesakitan sejarah” oleh penguasa. Dengan metode rekontruksinya , buku ini melakukan – apa yang disebutnya sebagai kritik epistemologis – terhadap sejarah “resmi” negara yang disetir penguasanya. Kemudian menegaskan bahwa sejarah juga perlu dilihat dari perspektif religius yaitu adanya faktor ‘rahmat Tuhan’ seperti yang termaktub dalam naskah proklamasi maupun pembukaan UUD 45 (hlm. xvi). Dengan pendekatan simbolisasi dan mistifikasi, unsur-unsur religious ini mendapatkan rasionalitas tersendiri.

Jaringan Ulama-santri: Embrio Perlawanan

Setelah bertahun-tahun, buku ini hadir dan dapat menjawab peristiwa tahun 1984. Ketika para mantan Laskar Hizbullah berkumpul di Surabaya bertemu dengan Pangdam Brawijaya. Mereka protes kenapa perjuangan pasukan santri tidak ditulis dalam sejarah nasional. Pangdam menjawab, kenapa para santri tidak menuliskan sendiri. Akhirnya para laskar terdiam karena waktu itu mereka tidak mahir menuliskan sejarahnya sendiri (hlm. xv-xvi).

Penjelasan yang nyaris lengkap dalam menyebutkan data-data ulama dan santri (penerusnya) yang terlibat dalam perjuangan melawan kolonial, menjadi informasi penting dalam buku ini. Mulai dari datangnya VOC, dua kerajaan besar Islam di pulau jawa - kerajaan Mataram dan Banten – sudah melakukan perlawanan. Ini tidak lepas dari peran ulama di belakangnya, bahkan Sultan Agung Mataram yang juga murshid (guru spiritual) melakukan perlawanan sengit. Dari Banten, Pihak yang selalu konsisten anti kolonial adalah para ulama-santri seperti Syekh Yusuf al Makassari. Tradisi perlawanan ini berlanjut dan bergeser, ketika kolonial berhasil mempengaruhi urusan internal kerajaan, menuju penggiran masyarakat dengan pesantrennya. Meletusnya Perang Jawa, yang dipimpin Pangeran Diponegoro, menjadi tanda bahwa jaringan ulama-santri dan pesantren yang tersebar di pelosok tidak bisa diremehkan.

Para kyai lain, diantaranya Kyai Abdus Salam Jombang, Kyai Umar Semarang, Kyai Abdurrauf Magelang, Kyai Yusuf Purwakarta, Kyai Muta’ad Cirebon, Kyai Hasan Basyari Tegalsari Ponorogo dengan muridnya Kyai Abdul Manan Pacitan adalah diantara sisa-sisa pasukan Diponegoro yang dikemudian hari menjadi pionir-pionir terbentuknya kembali jaringan ulama nusantara baik di lokal maupun internasional. Di akhir abad 19 muncul Syekh Nawawi Banten yang meneruskan perjuangan Syekh Yusuf al Makassari, Kyai Sholeh Darat yang meneruskan perjuangan ayahnya Kyai Umar Semarang, Syekh Mahfudz At Tirmasy cucu Kyai Abdul Manan yang meneruskan perjuangan Kyai Hasan Besyari, Kyai Abdul Djamil dan Kyai Abbad Buntet yang meneruskan perjuangan Kyai Muta’ad, dan Syekh Hasyim Asy’ari serta Kyai Wahab Hasbullah keturunan Kyai Abdus Salam Jombang, dan masih banyak lagi ulama lainnya. (hlm. 64-65).

Nama-nama tersebut, membuktikan bahwa buku ini mampu memaparkan hubungan guru-murid yang membentuk jaringan tak terputus dan strategis sebagai bentuk perlawanan kultural. Sehingga memberi kontribusi penting bagi terbangunnya pergerakan nasional menegakkan bangsa dan Negara Indonesia. Dengan kata lain, jaringan ini merupakan embrio dari puncak perlawanan fisik 10 November dalam mempertahankan kemerdekaan.

Jihad Membela Tanah Air

Jika berasumsi bahwa jihad dalam pengertian buku ini adalah perang yang semata-mata membela agama dari orang-orang kafir atau perang agama, itu salah besar. Karena lawannya adalah penjajah yang merampas kesejahteraan rakyat. Pasukan bantuan yang didatangkan dari India, yang mayoritas muslim, memperkuat bahwa ini bukan perang antar agama.

Jihad yang dilakukan oleh ulama-santri ialah jihad membela tanah air, sebagai bentuk cinta tanah air (hubbul wathan) yang dimaknai sebagai jihad fi sabilillah. Tapi tetap agama sebagai dasarnya. Karena upaya mempertahankan dan menegakkan negara Republik Indonesia dalam pandangan Hukum Islam merupakan bagian dari kewajiban agama yang harus dijalankan umat Islam. (hlm. 208).  Hukum tersebut sudah menjadi keputusan para kyai, yang akhirnya melahirkan “resolusi jihad”. Resolusi ini menjadi pegangan ampuh para pasukan santri yang tergabung dalam Laskar Hizbullah maupun Laskar Sabilillah.

Di sinilah buku ini memperoleh “Klimak” nya, karena berhasil mengungkap begitu besarnya peran ulama-santri dalam perjuangan kemerdekaan RI. Resolusi jihad tidak hanya sebagai pengobar semangat ulama-santri, tapi juga bertujuan “mempengaruhi” pemerintah agar segera menentukan sikap melawan kekuatan asing yang ingin menggagalkan kemerdekaan (hlm. 210).  Jauh sebelumnya, yaitu masa pendudukan Jepang, kaum ulama-santri sudah bersiap-siap menyusun kekuatan. Diplomasi KH. Wahid Hasyim (putra Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari), berhasil meyakinkan pemerintah militer Jepang untuk memenuhi permintaan kalangan Islam dengan membentuk barisan pertahanan dan pembelaan tanah air dalam wujud Hizbullah.

Sebagai wakil ketua Masyumi KH. Wahid Hasyim melakukan langkah dengan menggelar rapat di Taman Raden Saleh, Jakarta pada 13-14 September 1944. Sebulan kemudian, Masyumi mengadakan rapat khusus dengan kesepakatan untuk mengajukan resolusi kepada Jepang agar segera mempersiapkan umat Islam Indonesia untuk siap menerima kemerdekaan (hlm. 137). Di saat tentara Negara belum efektif terutama jalur komandonya, Laskar ulama-santri telah sigap menghadapi berbagai ancaman yang akan terjadi. Bahkan konsolidasi dan jalur komando laskar Hizbullah dengan dukungan struktur NU dan Masyumi begitu massif hingga ke pedesaan.

Sebagai bentuk dukungan, Laskar tetap loyal terhadap Negara. Ini ditandai dengan meleburnya Laskar Hizbullah dan Sabilillah ke dalam TNI dan terus aktif terlibat dalam berbagai serangan umum terhadap markas Belanda. Kegigihan para pejuang menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia tetap eksis meskipun ibu kota sudah diluluhlantahkan kolonial Belanda. Perjuangan ini akhirnya membuahkan hasil dengan diakuinya kedaulatan RI dalam perundingan KMB.

Terpenting dari perjuangan ulama-santri ialah keikhlasannya dalam menjaga kedaulatan NKRI. Politik kebangsaan yang diusung kaum ulama-santri ini, membuat mereka rela kembali ke masyarakat dan pesantren ketika program rasionalisasi penyesuaian pangkat dilakukan. Dalam bab-bab ini, kembali buku ini menunjukkan ketajamannya dalam menelusuri sejarah terkait Laskar Hizbullah, mulai dari pemimpin, devisi, batalyon di setiap wilayahnya. Lengkap dengan peristiwa-peristiwa, siapa saja orang penting yang gugur dan tanggal kejadiannya.

Seperti masalah dalam buku-buku lain, penempatan sub judul pada buku ini kurang rapi layaknya buku sejarah. Begitu juga rentan sejarah yang menjadi kajian dalam buku ini antara tahun 1945 -1949, mengharuskan adanya kajian lanjutan terkait kiprah ulama-santri yang tidak kalah penting di tahun-tahun selanjutnya.

Terlepas dari segala kekurangan, buku Laskar Ulama-Santri – dengan memberi ruang yang cukup luas - mampu membuktikan bahwa perjuangan jihad ulama-santri sebenarnya adalah tuntunan agama yang harus dilaksanakan setiap umat-Nya, sebagai bentuk manivestasi rasa syukur terhadap Tuhan. Dan lengkaplah upaya buku ini dalam menghadirkan peran dan kiprah ulama-santri sebagai garda depan dalam menegakkan kemerdekaan RI. Ramuan konsep Ulama santri– pesantren – jihad, setidaknya memberi “rasa” baru dalam membaca sejarah kemerdekaan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun