Mohon tunggu...
Aryo S Eddyono
Aryo S Eddyono Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti

Mengajar Jurnalistik dan Media Massa di Universitas Bakrie. Meneliti isu-isu pers dan demokrasi, media dan budaya, media alternatif, serta soal konten/jurnalisme warga.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kupang, dari Kampung Solor hingga Bu Soekiran

24 Oktober 2013   12:00 Diperbarui: 24 Februari 2022   12:23 2837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kampung Solor adalah wujud kemajemukan. Beragam manusia dan cita rasa menyatu...

Pada bagian pertama tulisan ini, saya berkisah awal perjalanan ke Kupang. Saya menantang diri saya sendiri, dalam waktu 2 hari, kiranya ada berapa banyak makanan khas Kupang yang berlabuh di lidah. Tiga jenis makanan telah berhasil dinikmati adalah se'i sapi, sayur kembang pepaya, dan es kacang hijau. Saya menikmatinya di Restoran Subasuka, tepi Teluk Kupang yang memesona. Klik tautan ini untuk membacanya.

Kampung Solor adalah target sasaran saya berikutnya. Kampung ini amat terkenal dengan daya tarik kuliner malamnya. Menu makanan yang dijajakan didominasi makanan laut. Beragam jenis ikan laut ada tempat ini. Ukurannya besar-besar pula. Ikan-ikan yang dijual adalah ikan segar yang didapat dari nelayan yang kebanyakan orang Bugis. Orang-orang Bugis dan penduduk asli Kupang telah hidup berdampingan sejak lama.

"Bahkan, tak sedikit pula orang Bugis yang menikah dengan penduduk lokal," kata Pak Jerry yang menemani. Pak Jerry adalah penduduk asli Kupang. Oya,Pak Jerry ini pengantar saya selama di Kupang.

Inilah sebabnya adapula makanan yang dijual di Kampung Solor ini "beraliran" Bugis. Misalnya dokko-dokko, sejenis ketupat beras yang berbentuk panjang menyerupai es lilin. Tak hanya makanan dari Bugis, pecal lele ala Jawa juga tersedia di tempat ini. Makanya saya katakan di awal tulisan, Kampung Solor adalah wujud kemajukan di Kupang.

Prinsip dasar makan di Kampung Solor sederhana saja. Ini menurut saya. Begitu tiba, nikmati dulu nuansanya. Lihat satu demi satu apa yang dijual oleh pedagang. Rasakan keramahan para pedagang. Jangan takut bertanya jenis ikan yang mereka jual. Kenali ikan-ikannya. Tanya juga akan dimasak seperti apa, jenis sambalnya apa, dan yang terpenting soal harga. Dijamin akan dijawab pedagang tanpa menggigit Anda.

Tak cocok di satu tempat, carilah tempat lain. Atau jika tak mau repot atau tengah dilanda lapar yang amat sangat, duduk saja di meja makan yang disediakan, para pelayan akan segera menghampiri. Temukan kenyamanan Anda sendiri.

Perlu diketahui, para pedagang di Kampung Solor menerapkan etika antar sesama pedagang. Mereka tak berebut pelanggan. Selain itu,  pedagang minuman berkolaborasi dengan pedagang makanan. Masing-masing mengerti segmen produknya. Setidaknya, begitulah yang saya tangkap.


 

Setelah puas mengamati hampir semua warung, saya memantapkan hati memilih warung yang berada tepat di depan sebuah pabrik es tua. Saya memesan ikan kerapu dari sekian banyak ikan laut yang dijual. "Dibakar lebih enak, Pak! Saya jamin, " kata ibu yang melayani saya. Saya minta ikan pilihan saya dibakar saja.

Menu sudah sepaket dengan nasi putih, lalap, dan sambal. Namun, minuman harus pesan lagi ke pedagang minuman. Saya pilih teh tawar hangat, agaknya akan cocok dengan makanan yang akan saya sikat.

Asap pembakaran mengepul dimana-mana. Harum kelezatan. Para pengunjung yang telah mendapatkan pesanannya sibuk melahap. Riuh canda-tawa menghangatkan suasana di tempat ini.

Setelah lama menunggu, satu persatu pesanan dihidangkan di meja. Memang Ini yang saya mau. Ikan kerapu berubah warna menjadi kecoklatan dibalur bumbu panggang. Saya cicipi sedikit bumbunya. Rasanya manis bercampur gurih dan kaya rempah, enak!

Mulailah saya makan. Agar perut tak cepat kenyang, saya ambil nasi secuil dulu. Selebihnya sambal dan daging ikan kerapu bakar yang buanyaaaaak.

Daging ikan matang sempurna. Bumbu meresap hingga ke dalam daging. Manisnya daging dan tak amis menunjukkan jika ini adalah ikan segar. Paduan sambal dan lalap meningkatkan kualitas rasa. Seperti orang kalap, saya kejar dimana daging ikan berada, bahkan di sela-sela tulang dan duri ikan sekalipun. Tangan saya ikut berubah warna menjadi coklat, bumbu ikan bakar menempel sempurna di jemari tangan. Jika tangan tak mampu mencuil daging dari tulang dan sela-sela duri, mulut mengambil alih menghisapnya. Sedap!

Saya habiskan satu porsi besar ikan kerapu bakar.

Perlu diketahui, di sisa malam berikutnya, saya memilih makan malam di tempat ini lagi. Saya benar-benar tak mau kehilangan kesempatan makan ikan segar yang dibakar ala Kampung Solor. Saya benar-benar ketagihan dan tak mau menyesal seumur hidup!


Sambal Luar Biasa Pedas

Hari berikutnya, lagi-lagi adalah hari keberuntungan buat saya. Saya dijodohkan makan di Depot Selera yang gagal saya "serang" dihari pertama. Kali ini Depot Selera yang berada di Jalan R. Soeprapto, Kupang buka. Begitu mobil tiba di halaman parkir, tanpa banyak bicara, saya langsung menuju etalase makanan untuk melihat makanan apa saja yang tersaji. Model restoran ini adalah prasmanan. Jadi, pilih dulu, catat, makan, baru bayar.

Benar saja, isi lauk pauk didominasi makanan khas Kupang. Dari sekian banyak menu, saya pilih sayur jantung pisang, se'i sapi (lagi), daging ayam suir, perkedel kentang bercampur daging sapi halus, dan sambal lu'at. sementara untuk minumnya, saya pilih es jeruk.

Satu persatu makanan saya lahap. Nikmat sekali. Semua meluncur mulus di mulut saya. Tapi, hanya satu yang  tak sanggup saya lanjutkan: sambal lu'at! Aimak,pedasnya minta ampun! Ini adalah sambal terpedas yang pernah saya rasakan seumur hidup.  Tak hanya "berkesan" di mulut, perutpun ikut dibuat "pusing" oleh sambal ini. Saya suka pedas, tapi tidak pedas semacam ini. Ini pedas level bintang 5!

Seketika perut saya bergejolak, mulas. Saya teguk sisa minuman untuk menetralisir keadaan. "Saya ke tolet dulu. Perut berontak," tiba-tiba rekan saya meninggalkan kursinya dengan cepat. Ia ternyata lebih dulu merasakan efek pedas sambal lu'at. Padahal ia orang Minang yang terbiasa makan bercita rasa pedas. Untungnya, saya tak sampai harus ke toilet.

Sambal lu'at adalah sambal khas daerah setempat. Sambal ini dibuat dari cabai padi yang memang dikenal sangat pedas. Bahkan, orang-orang setempat tak menyarankan menyentuh cabai jenis ini dengan tangan telanjang. Selain cabai padi, campuran sambal ini adalah jeruk nipis, daun lu'at yang menyedapkan sekaligus sebagai bahan pengawet alami dan campuran lainnya. Sambal lu'at adalah teman menikmati se'i. Saya masih tak habis pikir mengapa warga setempat sanggup menikmati kepedasannya.


Oleh-oleh Bu Soekiran

Hari terakhir di Kupang, hari dimana saya harus kembali ke Jakarta. Saya memutuskan untuk menghentikan pencarian makanan khas Kupang. Jadwal keberangkatan pesawat saya tinggal beberapa jam. Jadi, saya memilih mencari oleh-oleh khas Kupang saja. Pilihan jatuh ke Toko Oleh-oleh Ibu Soekiran yang bertempat di Jl. Moh. Hatta, Kupang, NTT. "Toko oleh-oleh ini amat terkenal di Kupang. Dimiliki Ibu Soekiran asal Jawa sejak tahun 60-an awal," jelas Pak Jerry.

Tak hanya mendirikan toko, pada masa-masa awal, Ibu Soekiran sendiri pulalah yang mengolah beragam makanan yang dijualnya. Dulu yang dijual adalah abon sapi, lemper, dan beragam makanan khas Jawa. Seiring waktu, beragam makanan khas Kupang juga dijual. Sayangnya, saya tak sempat mewawancarai Ibu Soekiran.

"Ibu Soekiran sudah tua, Pak. Sekarang hanya memantau pekerjaan karyawannya saja," terang pelayan.

Keistimewaan oleh-oleh ala Ibu Soekiran ini adalah tidak menggunakan penyedap makanan dan pengawet nonalami. Daging sapi yang digunakan sebagai bahan baku se'i adalah daging sapi lokal yang berkualitas dan diasap dengan dengan kayu kosambi. Saya melihat kayu kosambi yang telah dipotong-potong disusun rapi di samping toko. Jujur, penampilan toko ini jauh dari kesan mewah. Sederhana saja, seperti warung-warung kelontong biasa. Namun inilah daya tarik lain toko oleh-oleh ini.

Saya membeli beberapa bungkus sei sapi, jagung titi, dan madu hutan asli penjaga vitalitas untuk orang rumah. Oya,satu kue nagasari jajanan Jawa tak lupa mampir ke mulut saya. Rasanya sangat Jawa sekali, seolah-olah saya tak berada di Kupang. hehehe...

Saya bayar dan beranjak menuju Bandara El Tari.

Jika ada kesempatan, saya mau sekali kembali ke Kupang. Kupang, tunggu saya!


selesai


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun