Bila mendengar tentang kematian, orang akan merasa takut, segan, dan kengerian, bahkan seandainya bisa, ditunda dulu kematian itu sebelum segala keinginan kita tercapai di dunia ini. Sementara ada beberapa orang yang justru mempersiapkan adanya kematian dengan berbagai bekal, misalnya meningkatkan amal ibadahnya guna mendapatkan pahala kelak setelah kematian terwujud.
Oleh beberapa kalangan, kematian sering dianalogkan dengan kepulangan, seperti halnya pulang ke rahmatullah. Ya, pulang. Kata ini sering menjadi bentuk harapan bagi orang yang bepergian dari tempat tinggalnya baik itu dalam waktu yang singkat ataupun lama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pulang berarti ke rumah atau ke tempat asalnya, kembali (ke), balik (ke).Â
Jadi, kata pulang seandainya dirunut menunjukkan makna yang membahagiakan, karena di dalamnya terdapat kerinduan akan asal ia berada. Misalnya, pulang kampung. Orang yang bepergian atau merantau dari kampung halaman ke tempat lain dengan segala urusannya, ia tentu akan rindu kampung halamannya. Dari rasa rindu itu, ia mempunyai keinginan untuk kembali ke kampung guna menemui keluarga dan handai taulannya. Betapa bahagianya bila keinginan tersebut menjadi kenyataan. Tak heran bila pulang kampung menjadi momen yang ditunggu-tunggu kebanyakan orang perantau.
Belum lagi, pulang kampung di saat hari raya lebaran tiba. Hampir semua orang akan memperjuangkan bagaimana cara ia bisa pulang kampung di waktu lebaran. Persiapan jelas akan dilakukan jauh-jauh waktu, mulai dari menabung dengan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya hingga membawa barang yang dianggap sebagai bentuk hadiah kasih sayang terhadap orang yang disayang di kampung (orang tua, anak, istri, maupun sahabat). Oleh karena itu, tidak heran di saat dalam perjalanan pulang, apapun moda sarananya, maka akan dilalui dengan rasa kebahagiaan pula. Taruhlah, seandainya ia menggunakan kendaraan pribadi. Maka akan terasa nikmat yang hangat, kendati tubuh terbalur rasa capek dan lelah menempuh perjalanan jauh yang tentu saja diwarnai dengan kemacetan dan kesemrawutan di perjalanan. Begitu juga, jika ia menggunakan alat transportasi lain, seperti kereta api, pesawat udara, maupun kapal laut, tentunya ada beberapa kendala yang mungkin justru dapat mengurungkan niatnya untuk pulang, misalnya soal pembelian tikat yang harus menjadi rebutan, baik di online maupun offline. Semuanya itu menunjukkan, bahwa pulang merupakan hal yang ditunggu-tunggu dengan penuh rasa rindu dan tentu saja bahagia.
Demikian juga dengan kematian. Seperti dikatakan di atas, bahwa mati sama saja dengan pulang. Pulang ke rahmatullah. Kita tentunya mengetahui, bahwa dari tidak ada menjadi ada. Tadinya kita tidak ada, kemudian muncul kita menjadi ada berada di dunia. Tuhan telah menciptakan kita dengan segala karunia-Nya untuk merantau dan hidup di dunia. Di perantauan itulah, kita mulai menabung sebanyak-banyaknya untuk menjadi bekal ketika kita pulang kampung, kembali menghadap Tuhan yang membuat kita ada. Dalam proses tersebut tentunya terdapat rasa rindu yang mendalam untuk pulang dengan penuh rasa suka cita dan kebahagiaan yang tiada tara.
Sebenarnya momen pulang itulah yang kita tunggu-tunggu di tanah perantauan. Hanya saja, kita tidak tahu kapan hari lebaran tiba untuk kepulangan kita ke kampung halaman. Namun demikian, kita terus saja mengumpulkan hasil jerih payah kita sebagai bentuk tabungan agar menjadi bekal dan sangu dalam semangat perjalanan menuju kampung halaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H