Propaganda dan Pelaksanaan Pilpres 2019
Pemilihan umum, terutama pemiihan presiden secara langsung sejak 2004 merupakan amanah rakyat yang dituangkan dalam konstitusi, demi tegaknya sistem demokrasi di Indonesia. Dalam mencari pemimpin yang terbaik untuk memimpin negeri ini, tentu saja perlu adanya dukungan dari berbagai elemen bangsa. Tidak hanya pemerintah dan lembaga terkait, seperti halnya penyelenggara pemilu, namun perlu adanya partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam berpolitik, termasuk para kontestan pemilu beserta tim pemenangan dan unsur pendukungnya.
Dalam kaitan ini, unsur terakhir di atas seakan ikut berlomba-lomba bagaimana bisa menarik simpati masyarakat guna memenangkan kontestan jagoannya masing-masing. Untuk itu, diperlukan strategi yang dinilai dapat mempopulerkan jagoannya tersebut di mata masyarakat. Ya, demokrasi diharapkan agar dijadikan sebagai wadah rakyat untuk membangun eforia kebahagiaan, termasuk unsur di dalamnya langsung, umum, bebas, dan rahasia, maupun penambahan jujur dan berkeadilan, sehingga nantinya muncul pemimpin yang dapat memajukan negeri ini sesuai dan selaras dengan tujuan nasionalnya.
Namun demikian, keasyikan rakyat dalam berdemokrasi tersebut kadang ternodai oleh cara-cara yang dipakai pendukung masing-masing pasangan calon. Mereka bukan hanya mempopulerkan jagoannya tersebut, tapi justru ikut andil dalam menjelek-jelekkan jagoan lain. Contoh yang nyata, ketika beberapa waktu lalu salah satu peserta pilpres 2014, Joko Widodo (kini presiden terpilih) diserang dengan berbagai bentuk propaganda, seperti sebagai keturunan etnis China, pendukung PKI, dan anti terhadap Islam. Meskipun belakangan isu tersebut diakui dan diklarifikasi sebagai bentuk fitnah politik oleh seseorang pendukung Prabowo Subianto, La Nyalla, namun isu tersebut telah berhembus luas ke permukaan udara tanah air yang dapat menjadi hembusan liar yang dimungkinkan kembali dapat mengancam demokrasi sebagai bentuk propaganda hitam.
Propaganda dan media massa memang tidak bisa terpisahkan, sebab melalui media massa inilah propaganda dapat terlaksana dan terdesiminasi melalui media audio, visual, ataupun audio visual. Propaganda sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu propagare yang berarti menyemaikan tunas suatu tanaman. Istilah propaganda identik dengan aktivitas komunikasi yang berupaya memanipulasi psikologis khalayak atau massa. Dalam aktivitas politik, propaganda memainkan peran yang sangat penting karena merupakan salah satu bentuk dari pendekatan persuasi politik, selain periklanan dan retorika. Bahwa pendekatan persuasi menempatkan media massa sebagai saluran yang utama dalam penggunaannya. Sehingga propaganda akan membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting "to tell what to think about." Menurut Anwar Arifin (Heryanto, 2015), di Indonesia, istilah propaganda ditafsirkan sebagai penyampaian pesan benar atau salah dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah suatu tindakan tertentu yang biasanya disertai dengan janji yang muluk-muluk. Para propagandis mengakui desas-desus atau rumor memiliki kekuatan destruktif. Desas-desus sering disamakan dan dianalogkan sebagai torpedo yang meluncur tanpa halangan dan kekuatannya menyebar ke mana-mana dengan sendirinya, karena itu tidak mudah untuk melakukan counter-action (aksi tandingan/klarifikasi) jika suatu desas-desus telah tersebar luas.
Dalam melakukan propaganda diperlukan teknik-teknik agar tujuan propaganda yang dilakukan dapat diterima oleh pihak yang dimaksud. Ada lima teknik propaganda yang biasa digunakan (Heryanto, 2015), antara lain:
- Name-calling. Memberi label buruk kepada gagasan, orang, objek, atau tujuan agar orang menolak sesuatu tanpa menguji kenyataannya, misalnya menuduh lawan pemilu sebagai penjahat, teroris, fundamentalis, koruptor, dan sebagainya. Propaganda dengan cara memberikan label buruk ini bukan sekali atau dua kali dilakukan, melainkan sering sekali digunakan dalam dunia politik.
- Glittering Generalities. Menggunakan kata yang baik untuk melukiskan sesuatu agar mendapatkan dukungan, tanpa menyelidiki ketepatan asosiasi tersebut. Label positif ini tidak alamiah, melainkan dikonstruksi seolah-olah baik. Teknik propaganda ini menyamakan sesuatu yang dipropagandakan dengan tujuan-tujuan mulia, luhur, dan biasanya selalu menggunakan pernyataan-pernyataan yang mengesankan kebajikan. Pelaku propaganda berusaha membangkitkan perasaan cinta, keikhlasan, dan perasaan terlibat langsung kepada hati masyarakat terhadap program atau kepentingan tertentu. Propaganda yang dilakukan dengan cara pengalihan pada objek lain (Cangara, 2007). Semisal larangan iklan rokok untuk media televisi, diganti dengan berbagai macam sponsor untuk kegiatan sosial, seperti seminar, membangun pos ronda, lomba olahraga.
- Card Stacking. Teknik propaganda yang memilih dengan teliti pernyataan yang akurat dan tidak akurat, logis dan tidak logis, dan sebagainya untuk membangun suatu kasus.
- Plain Folks. Teknik propaganda yang berupa imbauan bahwa pembicara berpihak kepada khalayaknya dalam usaha bersama yang kolaboratif. Bisa jadi pernyataannya secara faktual benar atau hanya dalam konteks politik citra. Sifat merakyat juga sering muncul dalam metode propaganda ini. Richard Nixon menggunakannya secara halus dan cerdik selama menjadi presiden, terutama dalam melawan tuduhan kasus Watergate di Amerika Serikat.
- Bandwagon. Usaha untuk meyakinkan khalayak agar gagasan besarnya bisa diterima dan banyak orang akan turut serta ke dalam gagasan tersebut. Konsep yang ditawarkan biasanya adalah konsep atau gagasan besar yang tidak akan tercapai tujuannya dalam jangka pendek.
- Testimonial. Berisi perkataan manusia yang dihormati atau dibenci bahwa ide, program atau produk dapat berdampak baik atau buruk bagi masyarakat. Teknik ini berguna untuk mengukuhkan dukungan, propaganda ini mewujud dalam bentuk kutipan kalimat yang menguntungkan posisinya.
Sementara itu, menurut Irawan Sukarno (2011), ada tiga tipe atau bentuk propaganda, antara lain:
- Propaganda putih, adalah propaganda yang menyebarkan informasi ideologi dengan menyebut sumbernya.
- Propaganda kelabu, adalah propaganda yang dilakukan oleh kelompok yang tidak jelas. Biasanya ditujukan untuk mengacaukan pikiran orang lain, seperti adu domba, intrik, dan gosip.
- Propaganda hitam, adalah propaganda yang menyebarkan informasi palsu untuk menjatuhkan moral lawan. Tidak mengenal etika dan cenderung berpikir sepihak.
Sedangkan, menurut Heryanto (2015), ada enam jenis propaganda, antara lain:
- Propaganda Sosial. Propaganda ini berlangsung secara berangsur-angsur, sifatnya merembes ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial, dan politik. Melalui propaganda ini orang disuntikkan dengan suatu ideologi. Propaganda ini menghasilkan sebuah konsepsi umum tentang masyarakat yang dengan setia dan patuh, kecuali beberapa orang yang dianggap sebagai deviants.
- Propaganda Politik. Propaganda ini beroperasi melalui imbauan-imbauan khas berjangka pendek, biasanya melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai, atau golongan berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis.
- Propaganda Agitasi. Propaganda ini berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanan yang besar bagi tujuan yang langsung, mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita. Propaganda agitasi biasanya membutuhkan sejumlah doktrin atau proses cuci otak guna mendapatkan loyalitas dari target atau sasaran propaganda.
- Propaganda Integrasi. Propaganda ini menggalang kesesuaian dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Orang-orang mengabdikan diri kepada tujuan-tujuan yang mungkin tidak akan terwujud dalam waktu bertahun-tahun.
- Propaganda Vertikal. Propaganda ini dilakukan oleh satu kepada banyak orang (one-to-many). Seseorang atau sekelompok propagandis yang menjalankan skema kegiatan sistematis berupaya memaksimalkan saluran-saluran yang dalam waktu cepat dan mudah menjangkau khalayak atau sasaran propaganda.
- Propaganda Horizontal. Propaganda ini berlangsung lebih banyak di antara keanggotaan kelompok ketimbang dari pemimpin kepada kelompok. Propaganda ini lebih banyak menggunakan komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi.
Menilik kasus yang sudah dihembuskan oleh La Nyalla ketika menjadi loyalis Prabowo Subiyanto, (kini menjadi pendukung Jokowi) tentunya publik mendapat pelajaran berharga tentang kedewasaan berpolitik. Dalam sebuah kampanye yang merupakan bagian tidak dapat dipisahkan dari demokrasi, tentunya diperbolehkan untuk mengeksploitasi kelebihan masing-masing calon peserta dan mengeliminasi kekurangannya. Bahkan, seperti teori di atas, para pendukung yang tergabung dalam tim suksesnya masing-masing dibolehkan untuk menggali kelemahan calon lain. Hanya saja yang tidak dibolehkan adalah memfitnah. Bagaimanapun juga fitnah tidak sesuai dengah realitas yang ada pada peserta, seperti yang menimpa pada Jokowi waktu itu.
Oleh sebab itu, dalam Pilpres 2019 segala bentuk fitnah dapat ditategorikan sebagai propaganda hitam akan bertentangan dengan regulasi maupun peraturan pemilu 2019 yang dapat dikenai sanksi hukum. Kita berharap agar pelaksanakan Pilpres 2019 berjalan dengan damai, demokratis, dan menjunjung pameo siap 'menang dan siap kalah', sehingga akan terbentuk pemimpin yang memiliki integrasi terhadap kemakmuran dan kemajuan bangsa serta negara tercinta.