Mohon tunggu...
Aryo Harprayudi
Aryo Harprayudi Mohon Tunggu... -

Sedang manjalani studi S1 Universitas Gadjah Mada,Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dalam jurusan Manajemen an Kebijakan Publik.\r\nSedang aktif di organisasi BEM KM UGM sebagai Wakil Mentri Kajian Strategis dan sebagai Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Administrasi Negara (KMAN) UGM

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pelayanan Gratis untuk Masyarakat Miskin di Kota Tangerang

21 Januari 2012   05:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:37 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I.Pengantar

Otonomi yang lebih luas memberi pemerintah daerah kesempatanuntuk lebih dekat kepadamasyarakat, lebih bertanggungjawab dalam memanfaatkan seluruh sumberdaya (uang dan alam) yang pada hakekatnya adalah milik masyarakat. Pemerintah adalah pihak yang diamanahi untuk mengelola sumberdaya tersebut, dan bukan pemiliknya. Sumberdaya ini mestinya diorganisir secara serius untuk melayani kesehatan masyarakat secara berkelanjutan, tidak sekedar dimanfaatkan untuk komoditas politik sesaat (bandingkan Utama, 2004). “Indonesia Sehat 2025” yang dicanangkan oleh Departemen Kesehatan, untuk peningkatan, pemeliharaan, dan perlindungan kesehatan, perlu dijabarkan oleh para pemerintah daerah, karena kesehatan merupakan kunci penting bagi produktifitas penduduk.

Di bidang pendidikan, pemerintah daerah juga memegang peran penting sejak desentralisasi. TK hingga SLTA sekarang menjadi urusan daerah, hanya perguruan tinggi yang yang masih dipegang pusat (lihat Priyono, 2004). Kualitas pendidikan kita masih rendah: 58% dari seluruh pekerja kita berpendidikan SD dan hanya 4% yang berpendidikan perguruan tinggi. Rata-rata angka partisipasi pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggirelatif rendah (56% untuk SLTP, 32% SLTA, dan 12% perguruan tinggi).

Kesehatan dan pendidikan perlu dikelola dengan baik, antara lain untuk mempercepat berkurangnya kemiskinan, sehingga warga dapat menggunakan hak-hak sipilnya secara benar-benar bebas merdeka. Untuk itu beberapa upaya perlu dilakukan, seperti memperbaiki organisasi dan manajemen pelayanannya. Termasuk di dalamnya adalah memperbaiki kualitas manusia melalui manajemen kepegawaian yang serius dan membuka sebesar-besarnya kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam semua tahap pelayanan.

Kesehatan dan pendidikan harus dikelola secara profesional (lihat Sidi, 2001 ). Apa yang dikerjakan Pemkot Tangerang dalam kedua bidang ini?

II.Kebijakan Kesehatan

a)Latar belakang dan isi kebijakan

Orde Baru sejak 1970-an telah membentuk Puskesmas (pusat kesehatan masyarakat)  di setiap kecamatan, sehingga layanan kesehatan menjangkau seluruh warga. Belakangan dibentuk Posyandu (pos pelayanan terpadu) di setiap desa. Pada awal 1990-an pembangunan Puskesmas semakin meningkat, bidan disebar ke desa-desa dan mendidik kader kesehatan dari kalangan penduduk sendiri serta mendampingi kader dalam kegiatan rutin posyandu. Kaderisasi semacam ini meningkatkan peluang keberlanjutan program. Selaras dengan program ini adalah program pengendalian kehamilan yang disebut KB (keluarga berencana), sehingga tingkat  pertumbuhan penduduk Indonesia dapat ditekan ke angka 1,97% per tahun pada periode 1980-1990 (total pertumbuhan 31,7 juta) dan menurun lagi selama 1990-2000(Ananta, 2010).

Otonomi memberikan kesempatan yang luas bagi pemerintah daerah untuk mengeksplorasi kemampuan setempat, mulai dari komitmen pemimpin dan masyarakat untuk memperbaiki kesehatan --sistem dan manajemennya, dana, sarana dan prasarana.Di Banten tahun 2010 sebanyak 1,13% persen dari 829.195 balita terpantau menderita gizi buruk (Berita 8, 2011). Hal ini malah jauh lebih buruk dibandingkan tahun 2005, di mana hanya terdapat 0,38% balita bergizi buruk (1.120 kasus) di antara 291.634 balita (Tempo, 2006)! Kasus gizi buruk ini merata di hampir semua kota/kabupaten di Provinsi Banten (Fakhruddin, 2011). Karena itu Pemkot Tangerang, mengedepankan sikap akhlaqul karimah (perilaku atau budi pekerti yang terpuji/baik) sebagai salah satu slogannya (Kota Benteng, 2011), berusaha meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, yakni melalui penerbitan Kartu Multiguna dan pembangunan 1000 Posyandu.

Kartu Multiguna memberikan kelebihan dibanding Jamkesmas: pemegangnya mendapatkan layanankesehatangratis dirumah sakit, termasuklayanan pengurusan jenazah hingga pemakamannya (Syamsir, 2011). Melalui Kartu Multiguna ini penyaluran BLT juga menjadi lebih mudah.  Sementara itu dalam program 1000 Posyandu, Pemkot membangun atau merevitalisasi posyandu di seluruh RW di Tangerang, dimana di setiap RW dibuat satu-dua unit. Hal ini untuk semakin memudahkan masyarakat Tangerang mengakses layanan kesehatan, khususnya untuk menjamin kesehatan ibu dan balita.

b)Proses pelaksanaan

Setelah dilantik sebagai Walikota Tangerang pada 2008 Wahidin Halim menerbitkan Kartu Multiguna untuk membantu warga miskin berobat dan melakukan perawatan serta bersekolah secara gratis. Sebanyak 242.600 warga Kota Tangerang mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis melalui cara ini. Pemkot Tangerang berupaya melaksanakan kebijakan pemerintah pusat dalam pengurangan kemiskinan, peningkatan kesehatan dan pendidikan.

Cakupan pelayanan kesehatan mulai dari puskesmas hingga rumah sakit. Layanan yang diberikan adalah rawat jalan tingkat pertama (RJTP), rawat inap tingkat pertama (RITP), rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL), rawat inap tingkat lanjutan (RITL) hingga pelayanan gawat darurat. Untuk ini Pemkot Tangerang bekerjasama dengan sejumlah 22 rumah sakit di Kota Tangerang, seperti RSUD Tangerang, RS Bhakti Asih, RS Global Medika, RS Husada Insani dan RS Sari Asih Karawaci, juga dengan RSUPN Cipto Mangunkusuno dan RS Dharmais di Jakarta. Pasien pemegang kartu ditempatkan pada kamar kelas II dan III pada rumah sakit rujukan (Pemkot Tangerang, 2011).

Sementara itu di setiap posyandu disediakan fasilitas operasional, termasuk 10 orang kader kesehatan dan dokter. Setiap bulan selalu ada pelayanan kesehatan untuk bayi, ibu hamil dan lansia secara gratis. Posyandu juga dimanfaatkan untuk membagikan raskin maupun tabung gas. Kepada setiap posyandu diberikan insentif sebesar Rp. 6 juta/tahun, yang penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada para kader (Pemkot Tangerang, 2010).



c)Hasil dan dampak

Atas programnya tersebut, Pemkot memperoleh apresiasi dari beberapa kalangan, di antaranya Ibu Ani Yudhoyono ketika memberikan sambutan dalam peresmian 1000 Posyandu (Pemkot Tangerang, 2010). Selain itu Kota Tangerang masuk enam besar dalam penilaian program hidup bersih dan sehat (PHBS) tingkat nasional, setelah sebelumnya menjadi yang terbaik di Provinsi Banten, yang salah satu indikatornya adalah tingkat kesehatan bayi dan balita di (Tangerang News, 2011).

d)Hambatan dan kritik

Kelemahan dalam praktik program kesehatan bagi orang miskin di Kota Tangerang adalah, bahwa pemegang Kartu Multiguna seringkali dipungut iuran ketika akan memanfaatkan layanan kesehatan gratis di rumah sakit(pengakuan seorang ibu ketua PKK, tanggal 10 Mei 2011). Selain itu kadang-kadang mereka tidak memperoleh kamar ketika harus menginap. Terhadap persoalan ini Pemkot Tangerang sejak tahun 2011 ini telah menerapkan sistem online. Pemegang kartu dapat mengakses segala informasi tentang kesehatan, termasuk mengetahui kapasitas kamar yang ada di rumah sakit rujukan pada saat itu (real time). Hanya saja, tidak diketahui, sejauh mana warga pemegang kartu telah dapat memanfaatkan fasilitas online ini dengan baik --sementara Servon (2002) berpendapat, bahwa orang miskin umumnya mengalami ketertinggalan digital.

Sementara itu dari segi jumlah, beberapa kalangan menilai, bahwa semestinya lebih banyak orang yang diberi Kartu Multiguna. Saat ini pemegang kartu baru 366.087 orang, padahal jumlah warga miskin tercatat  510.000 orang atau 30% dari 1,7 jiwa. Jumlah kartu itu juga terkesan sedikit, jika dilihat bahwa APBD 2011menganggarkan dana bagi pemegang kartu Rp10 miliar (Media Indonesia, 2011).

III.Kebijakan pendidikan

a)Latar belakang dan isi kebijakan

Dalam bidang pendidikan visi Pemkot Tangerang adalah terwujudnya pendidikan yang merata dan bermutu dengan melibatkan semua stakeholders guna membentuk sumberdaya manusia yang unggul dan berakhlaqul karimah. Kebijakan Pemkot di bidang pendidikan adalah membebaskan biaya pendidikan bagi masyarakat yang tidak mampu, menyediakan sarana dan prasarana yang berkualitas, pendidik dan tenaga kependidikan yang professional, dan meningkatkan kesejahteraan guru (Pemkot Tangerang, 2011). Dinas Pendidikan Kota Tangerang menargetkan tahun 2016 mendatang seluruh guru dari SD hingga SLTA berpendidikan S1 –sebagaimana diwajibkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Gardu news, 2011). Anggaran Pemkot untuk bidang ini pada 2010 adalah Rp 471,53 milyar atau 31,9 % dari total APBD yang Rp 1,476 trilyun. Juga dibagikan insentif sebesar Rp  4,5 milyar untuk 3.000 guru ngaji --Rp 1,5 juta/tahununtuk tiap guru (Pemkot Tangerang , 2010).

b)Proses pelaksanaannya

Pemkot memberikan insentif kepada guru sebesar Rp. 450.000,- per bulan –tertinggi di Provinsi Banten. Pelatihan bagi guru untuk meningkatkan mutu pendidikan juga dilakukan oleh Pemkot Tangerang, seperti pelatihan untuk MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) Matematika SMA Kota Tangerang(Izaskia , 2010) dan seminar penelitian tindakan keras yang diselenggarakan bagi 1.000 guru (Warta Tangerang, 2011).

c)Hasil dan dampak

Di Kota Tangerang banyak gedung sekolah yang sudah bertingkat (Tangsel Raya, 2011, data jumlah dan persentasenya tidak tersedia). Pada  tahun 2011 Pemkot  membangun dan merenovasi 21 sekolah dengan anggaran Rp66 miliar (Ikatan Alumni Yuppentek, 2011). Sementara itu 70% gurunya telah bergelar S1, dan ada pula yang S2 (tidak tersedia angka pasti). Isi dan proses pembelajaran ditingkatkan mutunya melalui peningkatan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan (Warta Tangerang, 2011). Hasilnya jumlah tingkat kelulusan ujian mendekati 100%, yakni dari 99,72% pada 2010 dan 99,92% pada 2011 (dari jumlah peserta ujian 8.482 siswa SMA di 79 sekolah penyelenggara dan 12.632 siswa SMK di 88 sekolah) (Tangerang News , 2011).

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI H.Marzuki Alie memberikan apresiasi terhadap Walikota Tangerang H. Wahidin Halim atas komitmennya dalam membangun Kota Tangerang di berbagai bidang, khususnya bidang pendidikan sehingga mengalami kemajuan. Apresiasi juga diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Tempo, 2010).

Majunya pendidikan di Kota Tangerang membuat beberapa daerah di Indonesia meniru pelayanan pendidikannya. DPRD dan Dinas Pendidikan Kabupaten Tabalong, Kalimatan Selatan, pernah mengunjungi kota ini. Pemkab Serang juga berniat mempelajari pembangunan fisik sarana pendidikan di Tangerang(Banten online, 2007). Anggota Komisi A DPRD Kabupaten Belawan, Provinsi Riau jugadatang meninjau untuk mencontoh fasilitas dan sarana pendidikan (Tangerang News, 2011).

d)Hambatan dan kritik

Secara umum pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia, termasuk Pemkot Tangerang, belum sesuai UUD 1945 karena masih mahal (Garda Berita, 2011). Di Tangerang pendaftar SMPN 1 dipungut biaya pendaftaran sebesar Rp. 100.000,- (SMPN 1 Tangerang, 2008), padahal di daerah lain seperti di di Aceh tidak dikenal biaya adanya pendaftaran ini (Radar Aceh Online, 2007).

Kendati telah tersedia fasilitas pendidikan dari tingkat SD hingga SMU yang relatif memadai, warga masih sering mengeluhkan proses penerimaan siswa baru, di mana masih dipungut sumbangan pendidikan yang dirasa mahal oleh rakyat kecil (Radar Banten Online, 2006). Adanya pungutan ini barangkali memang diijinkan oleh Pemkot, sebagaimana banyak dijumpai di tempat lain. Karena itu istilah “sekolah gratis” kiranya tidaklah tepat. Yang terjadi sebenarnya adalah “sekolah murah”, tapi dikomunikasikan kepada masyarakat –mungkin sebagai janji pada pemilu walikota dulunya--  sebagai “sekolah gratis”.

IV.Penutup

Kesehatan dan pendidikan adalah dua bidang kehidupan yang pokok bagi terwujudnya masyarakat madani yang berkelanjutan. Dalam hal ini Pemkot Tangerang telah menggratiskan pelayanannya bagi warga miskin. Hanya saja seringkali masih ditemui adanya pungutan terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan yang semestinya gratis tersebut. Untuk itu Pemkot harus sering melakukan inspeksi di rumah sakit dan sekolah. Laporan yang berasal dari masyarakat perlu direspon secara memadai dan dilakukan tindak-lanjut yang semestinya.

Fenomena penggratisan biaya ini kiranya tidak hanya ditemui di Tangerang, melainkan di beberapa kabupaten/kota lain di Indonesia. Dan tampaknya semuanya terpulang kepada figur bupati atau walikotanya. Di Tangerang hal ini berlangsung di bawah Walikota Wahidin Halim (2008-2013). Dengan demikian political will, bagaimanapun, tetap menjadi kunci bagi maju-mundurnya suatu kota. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan.

Sebagai catatan akhir, penulis menyadari, bahwa kajian ini masih perlu diperdalam lebih lanjut. Pertanyaan-pertanyaan yang masih menarik untuk dijawab oleh para ilmuwan administrasi negara di antaranya adalah: Apakah kebijakan penggratisan ini bukan hanya merupakan teknik seorang bupati atau walikota untuk memenangkan pemilu? Apakah kebijakan ini dimungkinkan semata-mata karena daerah yang bersangkutan memang kaya? Tetapi, sebaliknya, mengapa tidak semua daerah yang kaya memberikan pelayanan yang serupa? Untuk daerah yang anggarannya tidak memadai, anggaran bidang apa yang dapat dikurangi agar dapat menggratiskan atau memurahkan layanan bagi masyarakat? **

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun